Categories: News

Polres Halut Tetapkan Korban KDRT Jadi Tersangka, Praktisi Hukum: Tidak Presisi

Praktisi Hukum di Maluku Utara Muhammad Tabrani menyoroti tindakan Polres Halmahera Utara (Halut) yang menetapka korban KDRT sebagai tersangka. Tabrani menilai langkah ini menunjukkan polisi tidak presisi dalam menjalankan tugas.

Sebelumnya, Polres Halmahera Utara menetapkan Wulandari Anastasya Effendi yang merupakan korban KDRT sebagai tersangka usai dilaporkan balik oleh suaminya, Brigpol Ronal Zulfikri Effendi, pada 7 Mei 2025 lalu.

“Penetapan tersangka korban KDRT yang sedang disidangkan atas laporan balik terduga pelaku menunjukkan bahwa tidak presisi tindakan Polres Halut dalam menjalankan tugasnya, jelas ini bentuk ketidakprofesionalan dan keberpihakan polisi terhadap terduga pelaku yang juga anggota Polres Halut,” ucap Tabrani kepada cermat, Minggu, 01 Juni 2025.

Menurut Tabrani, setiap korban KDRT perlu diberikan perlindungan hukum sebagai upaya negara untuk menjamin keamanan, keadilan, dan pemulihan hak-hak korban, terutama perempuan dan anak, yang secara sosial dan struktural sering berada dalam posisi rentan.

Ia menyebut sejumlah hak istimewa kepada korban KDRT diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT, undang-undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan UU nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Kemudian, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang No 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Atas dasar itulah, kata Tabrani, Wulan sebagai korban KDRT pada hakikatnya memiliki hak atas rasa aman, bebas dari penyiksaan, dan hak untuk tidak diperlakukan secara tidak manusiawi sebagaimana diatur dalam pasal 28G UUD 1945 dan Pasal 3 dan 4 UU HAM.

“Jadi, negara itu berkewajiban melindungi korban bukan sekadar menghukum pelaku, apalagi sampai mengkriminalisasi korban, itu logika terbalik dari penyidik. Artinya, penyidik Polres Halut tidak mengggunakan perspektif hukum yang cukup terutama terhadap prinsip pemulihan menyeluruh dan keadilan gender dalam menangani kasus ini,” ujarnya.

Tabrani menjelaskan bahwa pasal 10 Undang-undang tentang KDRT mengatur sejumlah hak korban, seperti berhak untuk: (1) Mendapatkan perlindungan dari pihak berwenang, (2) Mendapatkan pelayanan kesehatan, (3) Mendapatkan penanganan secara khusus oleh aparat dan lembaga, (4) Mendapatkan pendampingan hukum dan konseling.

Selanjutnya di pasal 16 undang-undang yang sama, menegaskan polisi wajib memberikan perlindungan sementara kepada korban atas permintaan korban, keluarga, atau pihak lain, atau Pasal 21 sampai dengan pasal 22 mengatur hak korban untuk mendapatkan Perlindungan dari LPSK dan Pendampingan psikologis dan hukum selama proses peradilan.

Sementara, meskipun undang-undang TPKS lebih fokus pada kekerasan seksual, akan tetapi juga mengatur: (1) Restitusi dan kompensasi bagi korban. (2) Pendekatan berbasis korban (victim-centered approach), yaitu memastikan bahwa proses hukum tidak menambah trauma korban. (3) Pelibatan psikolog, pendamping, dan konselor selama proses hukum.

Semua ketentuan tersebut, menurut dia, bertujuan sebagai jaminan negara atas keselamatan fisik, psikis, dan hukum korban, dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia dan keadilan gender.

UU KDRT dan UU TPKS memperkuat kedudukan korban agar tidak menjadi korban berulang (re-viktimisasi) dan berdaya dalam menghadapi proses hukum.

“Dengan demikian, penyidik Polres Halut sebelum melakukan tindaklanjut atas laporan balik pelaku KDRT harus memperhatikan konteks peristiwa secara utuh, Apakah istri (korban) hanya membela diri? Atau Apakah ada kekerasan yang berulang dilakukan oleh suami (pelaku)? Atau Apakah kekerasan oleh istri terjadi spontan karena trauma? Karena pidana adalah membuktikan kebenaran materiil dari faktor-faktor peristiwa KDRT tersebut,” terangnya.

Akademisi Hukum Unkhair itu juga menilai, penanganan kasus KDRT oleh Tim Penyidik Polres Halmahera Utara terkesan menekan korban. Sebab itu, publik patut menduga bahwa laporan balik terduga pelaku yang juga anggota polisi aktif digunakan sebagai bentuk balas dendam atau tekanan balik.

“Saya menyarankan kepada penasihat hukum korban selain mengadukan ke Propam Polda Malut soal dugaan pelanggaran kode etik kepolisian, juga mengajukan permintaan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jika korban merasa terancam atau ada dugaan kriminalisasi dalam kasus ini,” tandasnya. 

cermat

Recent Posts

Warga Protes Kenaikan Tarif Jembatan Penghubung Antardesa di Taliabu

Kenaikan tarif pada jalur jembatan penghubung akses jalan antardesa di Pulau Taliabu, Maluku Utara, menyulut…

9 jam ago

Jangkau SD Inpres Sosol, NHM Laksanakan Program Edukasi Mitigasi Bencana dan PHBS

NHM Peduli kembali melaksanakan program Edukasi Kebencanaan dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan…

13 jam ago

Audit ISO 14001 dan 45001: NHM Tunjukkan Komitmen K3L dan Lingkungan Berkelanjutan

PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) telah berhasil melaksanakan Audit Surveillance ISO 14001:2015 dan ISO 45001:2018…

13 jam ago

Übermensch or The Last Man: Titik Persimpangan Kita di Era Digital

Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*   FRIEDRICH Nietzsche, filsuf Jerman abad ke-19, pernah melontarkan peringatan tajam…

14 jam ago

Dimas Drajad Minta Maaf Debutnya di Malut United Tercoreng Usai Kalah Lawan Persik

Dimas Drajad melakoni debutnya bersama Malut United FC saat menghadapi Persik Kediri pada pekan kelima…

1 hari ago

Jaksa Tahan Dirut PT TJM di Kasus Korupsi Anggaran Perusda

Kejaksaan Negeri (Kejari) Pulau Taliabu, Maluku Utara, resmi menahan Direktur Utama PT Taliabu Jaya Mandiri…

1 hari ago