Perspektif

Tak Ada Arif setelah Hari Itu

Oleh: Katamsi Ginano*

 

ADA dua Arif yang saya akrabi sebagai karib dalam lebih 20 tahun terakhir.

Yang pertama adalah Arif Budimanta. Sosok sederhana (kesukaannya mengenakan kemeja putih yang selalu diseterika rapih) dengan latar yang agak kompleks. Lulus Ilmu Tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB), ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), lalu gelar doktor dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI.

Sekolah tampaknya menjadi minat yang tak henti dia kejar. Setelah doktor di UI, Arif masih mengganjar dirinya dengan belajar keuangan di University of Chicago, kemudian Senior Executive Program di Harvard Business School.

Saya terkagum-kagum dan iri melihat rekam-jejak pendidikannya. Juga bersyukur, karena setiap kali ada literatur ekonomi terbaru yang dia temukan, Arif mengirimkan pesan, ”Si, elu mesti baca nih. Bagus.”

Di luar ghirah bersekolah, karir Arif tak kurang kompleks. Dia dikenal sebagai penggiat kemasyarakatan (dia adalah salah satu pendiri Institute for Civil Society Development/ICSD), ekonom, politikus, dan dosen. Tapaknya merentang panjang, (sekedar menyebutkan beberapa di antaranya) dari anggota DPR RI; Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN); staf khusus Presiden untuk bidang ekonomi, direktur hingga komisaris bank BUMN; dan terakhir Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata (MEBP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Orang banyak dan ekonomi menjadi pergulatan yang terus-menerus dia tekuni. Arif percaya praktik ekonomi yang benar seharusnya membawa keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Dia bahkan menuangkan ide dan pikirin keadilan ekonomi itu menjadi buku Pancasilanomics: Jalan Keadilan dan Kemakmuran (IPB, 2019).

Dengan rekam jejak seperti itu, bagi saya dan sejumlah kawan yang secara informal berhimpun dalam kelompok kecil yang (informal pula) mendaulat Bursah Zarnubi sebagai “Abang Besar” dan Tatat Rahmita Utami sebagai “godmother”, Arif adalah kawan yang ringan, santun, dan sungguh asik. Apalagi di luar semua keahlian sekolah dan praksisnya, Arif adalah salah satu pakar dalam menemukan menu masakan Padang, Melayu, mie, dan bakso terbaik.

Jengkol buatan istrinya, Pradha Sony, adalah salah satu yang terbaik, yang suka dia bagikan kerap di saat-saat saya sedang merindukan makanan dasyat ini.

Menghadiri makan siang di kediamannya di Rawamangun (rumah tua sederhana, padahal dia mampu pindah ke kawasan paling elit di Jabodetabek), adalah kegembiraan petualangan aneka sajian melelehkan liur.

Arif kedua adalah Arif Satria, mantan Rektor IPB (yang telah berubah jadi IPB University) yang baru saja ditunjuk Presiden sebagai Kepala badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Perkara sekolah, Arif Satria setali tiga uang dengan Arif Budimanta. Bedanya, Arif Satria lebih dulu beroleh gelar profesor.

Beda yang lain, sekalipun sama-sama santun dan asik, Arif Satria (yang pintar main gitar dan menyanyi–bahkan sudah punya album sendiri) lebih serius dan sibuk. Dia kerap melewatkan atau terlambat tiba saat ada kumpul-kumpul.

Percakapan dengan Arif Budimanta bisa merentang dari perkara kepentingan bangsa dan negara hingga film terbaru dan gosip selebriti. Dengan Arif Satria, info dan ilmu berbeda yang harus ditimba. Dia menjadi referensi utama, buat saya, dalam perkara mengurus sesuatu yang rumit; pula memantik inspirasi dan inovasi. Termasuk bagaimana mangga dan sayuran yang saya tanam bebas dari hama.

Di tangan Arif Satria IPB kontemporer menjadi salah satu lembaga pendidikan dengan kinerja wangi tidak hanya di Indonesia.

***

Dua momen secara pribadi menautkan dua Arif itu dengan saya, sekaligus membuka sisi paling alamiah dan manusia Arif Budimanta. Dan dua-duanya adalah saat pelantikan Arif Satria sebagai Rektor IPB.

Ketika Arif Satria dilantik sebagai Rektor IPB di periode pertama (2017-2022), saya hadir berbatik. Wajah pertama yang saya temui saat masuk ruangan adalah Arif Budimanta dan Pradha Sony. Arif dengan pakaian kasual, duduk di barisan paling belakang. Padahal, saat itu dia sedang mengemban sejumlah jabatan mentereng, termasuk Wakil Ketua KEIN.

Saya sempat mencandai, seharusnya dia duduk di jejeran depan. Dia menjawab pendek, ”Apalah kita ini, Si,” sambil melirik batik yang saya kenakan dan tertawa. ”Tumben elu berbatik.”

Sepanjang karir saya di luar dunia sekolah, batik dan–terutama–jas adalah dua jenis pakaian yang mati-matian saya hindari. Rasanya terlalu formal dan sakral untuk saya. Mantan atasan saya saat bekerja di raksasa tambang dunia, Newmont Mining, Almarhum Richard Bruce Ness selalu dengan tawa berkomentar, “Your wearing a clown suit,” setiap kali melihat saya terpaksa harus mengenakan jas.

Arif tahu saya tidak nyaman berpakaian formal. Saat dia di DPR RI dan kami sering ngopi bersama di Kawasan SCBD, dia hafal saya biasanya mengenakan kemeja putih atau kemeja tactical sebagai busana kantor.

Momen kedua adalah pelantikan periode kedua (2023-2028) Arif Satria sebagai Rektor IPB. Saya sengaja duduk di barisan belakang karena menunggu Arif Budimanta yang sebelumnya mengirim pesan akan terlambat tiba. Seremoni pelantikan telah dimulai ketika pesan lainnya masuk, ”Gua di depan nih.”

Saya keluar, menyambut dia (seingat saya Arif Budimanta mengenakan kemeja putih dan celana coklat) dan akhirnya kami memutuskan tidak masuk ruangan. Dia mengajak saya keliling. Menemui staf dan karyawan, juga beberapa dosen, yang menyambut dia sangat akrab. Tur singkat kami diakhir dengan reriungan di salah satu sudut gedung, bercakap-cakap dengan sejumlah orang. Mendengarkan nostalgia Arif Budimanta saat menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa IPB.

Dari dua momen itu, di mana dan kemana pun Arif Budimanta pergi, dia adalah sosok yang selalu apa adanya. Dia honest sebagai kawan dan tidak pernah merasa tinggi di saat seharusnya dia layak mendapatkan tempat lebih dari keinginan apa adanya.

Yang tak terbantahkan, dia selalu memberikan penghormatan pada perkawanan (istrinya mengatakan, saya adalah “bestie”-nya Arif). Suatu siang ketika dia masih menjabat sebagai Staf Khusus Presiden untuk Bidang Ekonomi, saya menelepon Arif. Tidak ada hubungan dengan pekerjaannya.

Setelah beberapa deringan, telepon diangkat dan terdengar bisikan, ”Gua lagi sama Pak Presiden. Nanti gua telepon kalau sudah selesai.” Sorenya Arif menelepon dan kami membahas isu yang ingin saya tanyakan.

Satu hari kemudian, di media saya melihat foto Arif Budimanta sedang mendampingi Presiden turun lapangan. Waktunya, saat saya menelepon dia.

***

Minggu subuh, 7 September 2025, saya bangun dengan agak malas.

Saya baru saja resign dari pekerjaannya terakhir dan sedang bersemangat memanjakan diri dengan sesedikit mungkin menyentuh telepon genggam di akhir pekan. Itu sebabnya setelah pukul 22.00 WIB telepon genggam saya dalam posisi silent mode.

Setelah pukul 08.00 pagi barulah saya melihat layar telepon dan terkaget-kaget. Kabar yang saya baca seperti geledek. Arif Budimanta berpulang ke hadirat-Nya lewat tengah malam; tadi malam saat saya terlelap.

Saya memerlukan waktu lebih dari setengah jam untuk mengembalikan seluruh pikiran ke kepala. Itupun setelah istri saya menegur karena melihat saya bermenit-menit terbengong-bengong seperti ayam kena teluh.

Arif yang satu hari sebelumnya masih bertukar pesan WhatsApps dengan riang-gembira, mendadak pergi?

Dia pergi sebagaimana karib yang lain, Ichan Loulembah. Mereka sama-sama mendadak pamit di hari Minggu. Saya, dan (saya yakin) kami sekelompok kecil yang bertahun-tahun menjadi sahabat dan keluarga, tidak akan pernah mampu menggambarkan seperti apa tepatnya rasa kehilangan itu. Bahkan kalimat berusia ratusan tahun dari Cicero, “To lose a friend is the greatest of all losses” masih terlampau ringan mengekspresikan kehilangan itu.

***

Senin, 1 Desember 2025, Tatat Rahmita Utami mengirim pesan, mengingatkan Minggu, 14 Desember 2025, takziah 100 hari berpulangnya Arif Budimanta dilaksanakan di tempat yang selalu disukai Almarhum hingga akhir hayatnya: Rawamangun. Saya membaca pesan itu dengan kesedihan yang datang bergelombang.

Hari-hari setelah mengantar Arif Budimanta ke peristirahatan terakhirnya di TPU Layur Rawamangun, setiap kali membaca berita ekonomi yang menimbulkan tanya, saya selalu hampir mengetikkan pesan ke nomor teleponnya. Kepada dialah saya suka mendiskusikan perkembangan ekonomi yang biasanya memantik tanda tanya di kepala saya.

Setelah 100 hari saya masih terus menyadarkan diri, bahwa setelah hari di TPU Layur, Arif Budimanta memang tak ada lagi. Dia tinggal ide-ide dan pikiran yang bisa saya jenguk setiap saat. Selalu dengan kehilangan dan kerinduan terhadap seorang sahabat, anggota keluarga yang selama bertahun-tahun hadir dan menorehkan sejarah.

Saya akan hadir di Rawamangun, bersama istri, tiga puteranya, dan orang banyak yang tak henti mengenang dan merindukan. Tidak untuk mengurai sedih. Hati adalah bendung yang mampu menahan semua airmata. Saya datang untuk merayakan 57 tahun kehidupan seorang sahabat dan kerabat.

Dia tak akan ada, tapi bagi saya (dan mungkin kelompok kecil kami) sesungguhnya dia tak pernah pergi.

redaksi

Recent Posts

Mengenal Tradisi ‘Oke Sou’, Simbol Kedewasaan Perempuan Ternate

Kota Ternate memiliki beragam tradisi unik yang menarik untuk ditelisik, salah satunya adalah tradisi oke sou…

1 jam ago

Mantan Bupati Halmahera Utara Dua Periode, Hein Namotemo, Tutup Usia

Mantan Bupati Halmahera Utara dua periode, Ir. Hein Namotemo, meninggal dunia pada Jumat, 5 Desember…

6 jam ago

Polda Maluku Utara Amankan 600 Liter BBM Subsidi dari Ternate Tujuan Halteng

Polda Maluku Utara berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 600 liter BBM subsidi jenis minyak tanah yang…

9 jam ago

Karyawan NHM Hidupkan Kepedulian Natal lewat Aksi Sosial bagi Warga Halmahera Utara

Menyambut perayaan Natal sekaligus mendukung upaya nasional dalam memperkuat kesejahteraan sosial, Komunitas Kristen Persekutuan Oikumene…

9 jam ago

Maluku Utara Diimbau Waspada Gelombang Tinggi

Sejumlah wilayah perairan di Maluku Utara diimbau mewaspadai potensi gelombang tinggi mulai 5 sampai dengan…

11 jam ago

Dua Bumdes di Morotai Dapat Dukungan Kelembagaan dari Kementerian Transmigrasi

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transigrasi melalui Direktorat Pengembangan Kelmbagaan Ekonomi resmi menandatangani kontrak…

1 hari ago