Pasar, Sedekah, dan Fungsi Masjid

Kampung Ramadhan Tomajiko (Bagian II)

Momen Bulan Suci 1444 Hijriah sudah hampir selesai. Semenjak hari ketiga puasa, Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Nurul Aminin memfasilitasi aktivitas jual-beli di Tomajiko melalui kegiatan Pasar Ramadhan. Pasar dibuat sederhana dengan memanfaatkan pekarangan rumah warga di halaman bekas gedung Tempat Pengajian Qur’an (TPQ), tepat di kompleks Guae Tapaya, jalan Abdul Basir, RT 01, Kelurahan Tomajiko, Pulau Hiri. 

Kami memasang tenda ukuran 6×4 sebanyak 2 unit di sisi timur, dan 1 buah terpal dengan tiang penyangga dari bambu dan pohon Gambir di sisi barat berukuran 6×4. Lapak bagian timur mendagangkan pelbagai menu takjil dan sayuran matang, sedangkan bagian barat menjual-belikan sayuran mentah dan buah-buahan.

Begitu meresmikan kegiatan bertemakan “Ramadhan Ma Parada” pada Ramadhan hari ketiga lalu, Camat Pulau Hiri, Irwan Bakar, mengaku agenda yang diinisiasi pengurus BKM di bulan suci ini merupakan pertama kalinya terjadi di Pulau Hiri (cermat, 2023). 

Mantan Lurah Togolobe ini menanggapi  selain bernilai ibadah silaturahmi antar warga Hiri, pembukaan pasar juga berguna secara ekonomis. Jadi ada pertukaran sosial sekaligus perputaran ekonomi di lingkungan masyarakat Pulau Hiri. Satu langkah alasan mengapa lokasi pasar di RT 01, karena hanya di lokasi inilah akses jaringan internet sedikit lebih mudah dari lokasi RT lainnya di Tomajiko. 

Kekhawatiran yang Masuk Akal

Mempertimbangkan jaringan internet adalah bagian dari memudahkan pengurus BKM dan ibu-ibu memasarkan jualan. Awalnya ada sebagian orang pesimis di desa Tomajiko ini kalau dibuat pasar Ramadhan nanti siapa yang datang belanja? 

Kekhawatiran semacam ini memang masuk akal karena beberapa hal kontekstual menurut saya. Pertama, aktivitas semacam ini di bulan Ramadhan bukanlah pemandangan umum di Pulau Hiri. Selama ini, orang Hiri tidak terbiasa menciptakan “momen pasar  Ramadhan” yang ada pertukaran sosial dan ekonomi.

Dalam pengalaman sosiologis, orang Hiri lebih familiar berbuka puasa dengan takjil yang dibuat sendiri di rumah bersama keluarga. Kedua, letak geografis Kelurahan Tomajiko yang jauh dari “pusat interaksi” di Hiri semacam pelabuhan utama membuat satu kekhawatiran sendiri. Ketiga, yaitu rata-rata pendapatan orang Hiri masih di bawah “ukuran kesejahteraan”. 

Bagi warga di kampung tetangga yang tidak punya kendaraan, mereka harus bayar sewa ojek dua kali. Ini jadi pertimbangan lainnya, karena sewa transport bisa lebih besar dari kebutuhan belanja takjil. Kekhawatiran awal yang sangat masuk akal. Namun, di atas semua itu, perlu diketahui, pasar telah aktif sejak hari ketiga Ramadhan hingga sekarang. Dan, menariknya, yang berbelanja ternyata banyak dari desa-desa tetangga (Dorari Isa, Tafraka, Faudu, Togolobe, dan Mado). 

Kekhawatiran awal akan dagangan tidak terjual sudah jadi “mitos”. Fakta lapangan menunjukkan orang Hiri datang mengunjungi setiap harinya dan jualan ibu-ibu bisa terbeli. Masya Allah. Kalau ada kue takjil belum laku di lokasi sementara matahari sudah mulai miring ke barat, ibu-ibu akan mendagangkan jualan mereka ke kampung tetangga menggunakan sepeda motor. Dari hasil amatan, setiap kue yang didagangkan ke kampung tetangga selalu tidak meninggalkan sisa. 

Mengapa begitu? Ada sebagian warga kampung tetangga mengaku ingin sekali ke lokasi, hanya saja mereka pertimbangan biaya transport tadi (istilahnya tidak punya kendaraan). Di Soa Mado, misalnya, kalau uangnya Rp 50.000, berarti mereka hanya bisa belanja Rp 20.000, karena Rp 30.000 terpakai sewa ojek. Jika uang mereka Rp 30.000, berarti takjil tak bisa dibeli. Jadi kalau ibu-ibu di lokasi pasar  mendagangkan ke kampung tetangga, itu memberi kemudahan mereka untuk berbelanja takjil tanpa ongkos transportasi. 

“Melampaui” Ekonomi, Memperkuat Logika Sosial

Terdapat 15 orang ibu-ibu menempati lapak timur berisi jualan takjil maupun sayuran matang, sedangkan sekitar 6 orang biasanya menyediakan sayuran mentah di lapak sebelahnya lagi. Sejak awal, pengurus BKM berencana harus bisa membantu ibu-ibu Tomajiko di bulan Ramadhan, oleh karena itu, pasar jadi solusinya. 

Ketika ada ibu-ibu ingin memberikan semacam “retribusi” setiap hari 5 ribu/lapak dikali 15 orang untuk diberikan ke pengurus BKM, secara sadar maupun atas kesepakatan bersama, kami menolak. Melalui pasar ini, BKM tidak mau membebani ibu-ibu berapa pun itu. Menurut kami, tugas ibu-ibu adalah menjual, mengais rezki sebisa mungkin. Urusan retribusi dan sebagainya adalah tanggungjawab BKM. 

Baca Juga:  Pasca Sail, Tidore Dapat Apa?

Keuntungan ibu-ibu setiap hari dari yang paling tinggi hingga rendah kurang lebih Rp 150.000-50.000, tergantung banyak bahan dan kue yang dibuat. Fluktuatif. Untuk ukuran Tomajiko dan Pulau Hiri, pendapatan setiap hari dengan jumlah tersebut di bulan Ramadhan sudah termasuk besar dan tidak semua orang melakukannya. 

Bagi saya, ini capaian kolektif dalam satu kerja sama pemuda, pemerintah kelurahan dan BKM. Jika diambil rerata pemasukan kotor setiap hari Rp 80.000 dikali 15, berarti terjadi perputaran uang senilai Rp 1.200.000 setiap hari. Sekarang sudah 23 hari berjalan, maka dapat disimpulkan telah terjadi masuk-keluar uang kurang lebih Rp 27.600.000 di tempat kecil dan sangat sederhana itu, di luar hitungan biaya transportasi. Saya lihat ini luar biasa tak terpikirkan sebelumnya.

Sebagai ketua BKM, saya mengajak kita semua melampaui “yang ekonomis” maupun melampaui “yang geografis.” Kita butuh memandang ini melalui teropong “Ar-Rahman dan Ar-Rahim.” Dalam arti, Ramadhan adalah bulan suci, bulan keberkahan, bulan “berbagi.” Semua berdasarkan keyakinan dan usaha. Karena rezeki bisa datang dari mana saja tak mengenal orang dan tempat. Islam mengajarkan seorang muslim tidak boleh semata menada doa tanpa dibarengi dengan usaha. Pada yang demikian seorang beragama Islam bisa terjerumus dalam kubangan “taqlid buta.” 

Dalam konteks demikian, suatu usaha selain mendatangkan pundi ekonomi, juga menjadi nilai ibadah secara sosial maupun agama. Dalam keyakinan Islam, tidak semua  hal harus dilihat secara ekonomis, sekalipun ini urusan pasar. 

Ibu Mimi Arsad, janda dua anak,  mengaku mereka punya langkah alternatif pengembangan usaha dengan membuat arisan setiap hari di pasar. Dari 15 orang, setiap mereka keluarkan Rp 20.000 per hari, jadinya menerima Rp 300.000 secara berurutan setiap hari. Ibu Mimi jualan kue Pelita di Pasar Ramadhan Tomajiko. Dari jualannya itu, dirinya mengatakan kepada saya bisa “tambah-tambah” kebutuhan anak-anaknya di bulan keberkahan ini.  

Sedangkan Ibu Bajaria Ibrahim, janda yang sekarang ini menafkahi dua anak dari saudaranya (perempuan) yang sudah meninggal dunia, merasa sangat bersyukur karena “hatinya susah” begitu memasuki Ramadhan, uang simpanannya tersisa hanya Rp75.000 (Keterangan dari adiknya kepada saya, 2023). Berkat dirinya jualan kue Asida di Pasar Ramadhan, dapat mendatangkan rezeki membantu kebutuhan dua anaknya itu, terutama biaya untuk belikan mereka baju lebaran. Ibu Mimi, Ibu Bajaria dan ibu-ibu lainnya menempati pasar Ramadhan penuh syukur. 

 Saya membaca kenyataan di atas adalah sesuatu yang melampaui ekonomi, dan tugas BKM sebagai institusi sosial-keagamaan adalah terus berusaha memberi langkah kemudahan kepada masyarakat. Allah SWT sudah ingatkan dalam Al-Qur’an, “Dan maha mendatangkan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka” (QS. Ath-Thalaaq, 65:3). Sekali lagi, Ramadhan adalah bulan keberkahan. Saya meyakini adanya campur tangan Rahman dan Rahim.

Di lain cerita, Ibu Cina (akrab disapa “Ma Cina”), seorang janda yang meracik dabu-dabu dengan bahan dasar dari buah pala (Dabu-Dabu Gosora). Jualan ini termasuk paling laris. Setiap hari, pesanannya sudah masuk lebih awal sebelum kuliner ini disediakan di meja pasar. Ibu Cina telah menunjukkan ide kreatif mengolah cita rasa rempah menjadi “kuliner khas” di Pulau Hiri, hasil pengetahuan temurun (local knowledge) dari ayahnya dari Soa Dorari Isa. 

Pasar Ramadhan membuka kran Usaha Kecil Menengah (UKM) di tingkat kelurahan (Tomajiko) dan ini butuh pengembangan lebih jauh pasca lebaran. Maka di dalam konsep pembangunan kota, Slogan “Ternate Kota Rempah” butuh ditelisik lebih jauh dalam wujud seperti apa? 

Destinasi wisata kuliner di Pulau Hiri, misalnya, perlu jadi catatan penting pemerintah Kota Ternate yang hingga saat ini belum jelas apa program pengembangannya. Ma Cina telah memberi sinyal itu kepada kita semua. 

Barangkali setelah Ramadhan Kareem ini, kita bisa berfikir dan bekerja bersama, mengembangkan solidaritas sosial dan UKM sebagai wujud nyata pembangunan pariwisata berdasarkan nilai sosial-budaya yang berlaku di seluruh kelurahan di Pulau Hiri. 

Baca Juga:  Negara Boneka dan Pemimpin Masa Depan

Metode arisan ibu-ibu di pasar Ramadhan selain punya daya tawar ekonomi, saya lihat mereka tengah memperkuat logika sosial, membangun trust (kepercayaan) untuk hidup sebagai kelompok sosial. Dalam kajian sosio-antropologi, potensi ini punya daya memikat lebih besar dari sekadar “berkompetisi” di pasar mengejar rupiah. 

Sedekah dan Fungsi Masjid

Pengurus BKM Nurul Aminin belajar menerapkan ide gerakan sosial-ekonomi melalui masjid. Selama ini kita banyak melihat kerja-kerja masjid sekadar menjaga salat lima waktu dan membangun/memperbaiki masjid dalam wujud bangunan fisiknya. Infaq dan sedekah semata digunakan ke soal-soal fasilitas masjid. 

Kita harus jujur, fungsi masjid sebagai “sumber kesejahteraan/kemakmuran masyarakat” tidak jadi discourse di kalangan umat. Ini bukan hanya di Pulau Hiri, tetapi berlaku semua wilayah Maluku Utara. Kecenderungan pengelolaan anggaran Masjid ke arah pemberdayaan masyarakat atau pengembangan sumber daya manusia masih belum ramai dilakukan. Kita bahkan masih terlihat sangat kaku/kukade mengaktualisasi program ini di Masjid.

Padahal, sejak awal mula sejarah perkembangan Islam, masjid merupakan pusat peradaban umat. Masjid jadi “ruang publik” yang mempercakapkan banyak kepentingan sosial keumatan seperti masalah ekonomi, “politik” dan agama. Fondasi pemikiran dan perubahan gerakan Islam justru lahir dari ruang Masjid. 

Sekarang, fungsi sosial-ekonomi-politik seperti dahulu sudah hilang. Menempatkan masjid sebagai jalan perjuangan sama halnya merealisasikan fungsi politik dari agama untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi banyak orang. Ini yang belum nampak dalam gerakan sosial-keagamaan di Kota Ternate dan Maluku Utara secara umum. 

Pertanyaannya, siapa yang berhak mengelola (anggaran) suatu masjid? Dalam soal ini, saya sebagai pengurus BKM berterima kasih kepada seluruh masyarakat Tomajiko, terutama para tetua kampung dan tokoh-tokoh adat, agama dan pemerintah kelurahan, karena sejak 2021 lalu, telah mempercayakan anak-anak muda (ngofa ngare) mengelola anggaran masjid dan musala. 

Atas kerja sama kolektif, kami telah memulai terapkan program sedekah “orang sakit”, sudah berjalan kurang lebih dua tahun. Jika ada warga Tomajiko yang masuk Rumah Sakit atau meninggal, BKM Nurul Aminin wajib mengambil sebagian sedekah Masjid untuk diberikan kepada keluarga bersangkutan. 

Memang harus kami akui, program awal BKM itu belum besar nilainya (secara ekonomi), karena setiap sedekah (orang sakit/orang meninggal) disesuaikan dengan kemampuan anggaran masuk BKM yang tersedia di bendahara. 

Namun, kami harus memulai dari yang kecil dengan harapan menjadi “agenda besar” di kemudian hari. Jumlah jamaah dan jumlah infaq dan sedekah ke Masjid Nurul Aminin juga tidak seperti yang diterima seperti Masjid Almunawwar untuk ukuran Maluku Utara, yang setiap sekali Jumat bisa mencapai Rp 30.000.000. 

Di Masjid Nurul Aminin, penerimaan infaq dan sedekah masih bersifat nafsih-nafsih. Artinya, kami belum mengatur jamaah Masjid di dalam kampung ini menjadi para Muzakki (pembayar zakat/sumbangan) secara institusional atas nama BKM Nurul Aminin di setiap bulan berjalan. 

Dapat dimaklumi, di satu sisi karakteristik penduduknya homogen dan mata pencaharian “pendukung” warga di Tomajiko masih bisa dihitung jari. Di sisi lainnya Tomajiko merupakan desa kecil yang letaknya jauh dari situasi keramaian sebagaimana masjid seperti Al-Munawwar dengan aktivitas jamaah yang jauh lebih heterogen. Oleh karena itu, pemasukan anggaran Masjid Nurul Aminin sebetulnya tak boleh dibandingkan dengan Al-Munawwar. 

Dalam ceramah Nuzul Qur’an pada 07 April di Masjid Nurul Aminin bertema “Al-Qur’an dan Dolo Bololo sebagai Basis Kehidupan Sosial Budaya”, Dr. Kasman Hi. Ahmad, M.Pd, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Maluku Utara, mengatakan kalau pengelolaan Al-Munawwar bisa membantu orang itu sangat wajar, mengingat infaq dan sedekah yang masuk lebih cepat dengan jumlah yang besar. 

Tetapi membangun gerakan sosial dan kesadaran dari “bawah”, murni lahir dari gerakan pemuda menjadi satu hal khusus, penting untuk dilihat, dikembangkan menjadi prototipe gerakan sosial di tingkatan desa/kelurahan melalui sedekah. Asalkan tetap dalam koridor bahwa setiap kebaikan yang direncanakan, dilaksanakan karena keterpanggilan keadilan dan kesadaran teologis semata karena Allah SWT. 

Lembaga Filantropi: Belajar dari Djogokaryan

Secara konseptual, BKM perlu diterjemahkan menjadi lembaga Filantropi, dengan sistem penerimaan dan pemanfaatan Sedekah dan infaq menjadi “jaring pengaman sosial (social safety nets).” Mekanisme ini ditujukkan untuk kaum mustad’afin, anak yatim/piatu dan janda-janda, termasuk para musafir. 

Baca Juga:  Siaran Terakhir Ichan Loulembah

Suatu rencana yang sesegera harus diatur, dijadikan semacam sistem sosial di setiap masjid di Kota Ternate, termasuk Pulau Hiri. Kita perlu belajar dari Masjid Djogokaryan di Yogyakarta. Saya lihat Masjid Djogokaryan paling profesional di Indonesia dalam mengelola sedekah dan infaq. Dua fungsi masjid betul-betul diterapkan di sana, yaitu mengajak ummat sholat dan tetap menunaikan zakat. 

Program ini mengikuti perintah Allah dalam Surah At-Taubah: 18, yang artinya;

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (Tasirq.com).

Yang dimaksud “zakat” dalam konteks ini adalah hasil sedekah dan infaq dipergunakan demi kemaslahatan bersama. Contohnya merehabilitasi rumah warga, membiayai orang sakit, beasiswa pendidikan anak-anak kurang mampu, masjid ada penginapan khususnya, menaikkan orang haji, serta pengurus Masjid ciptakan “ATM Beras” untuk warga Djogokaryan. Yang terakhir ini diatur sebagian besar warga dikasih kartu ATM, begitu dimasukkan ke mesin, bukan uang yang keluar, tetapi beras sesuai ukurannya. 

Setelah mengambil beras, tersedia juga abon dari daging sapi. Jadi warga miskin tidak hanya mendapat beras, tetapi sekaligus abon daging sebagai lauknya (Baca: Masjid Djogokaryan). Sampai sekarang, saya bisa menyebut pengunjung terbanyak perhelatan Kampung Ramadhan di Indonesia adalah di Yogyakarta, dan itu di Djogokaryan. Setiap hari, Masjid sediakan 3000 porsi makanan buka puasa bersama secara gratis.

Paling tidak, spirit para Badan Takmir Masjid Djogokaryan itu dijadikan inspirasi khususnya BKM/DKM yang ada di Maluku Utara, karena Djogokaryan telah membuktikan kepada dunia bahwa masjid adalah sumber kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Sesuatu yang masih sangat sulit ditemukan di Maluku Utara sebagai basis gerakan sosial. Banyak masjid megah, tetapi angka kemiskinan warga masih melangit. Artinya, masjid dan BKM belum didesain ke dalam kekuatan kolektif menjadi lembaga Filantropi di tingkatan desa/kelurahan.

Di Tomajiko, selain kami membuka pasar Ramadhan, pengurus BKM Nurul Aminin telah menerima “sedekah” secara nafsih-nafsih untuk anak yatim/piatu dan janda-janda. Sejumlah hamba Allah telah mengirimkan sedekah dengan ikhlas. Total sedekah diterima Rp 3.400.000. 

Jumlah janda di Tomajiko sebanyak 31 orang, sedangkan anak yatim sebanyak 30 orang. Kami membeli “minuman lebaran” untuk dibagikan merata kepada yang berhak. Dari jumlah tersebut, kami salurkan per 1 orang janda/anak yatim menerima 3 buah minuman botol besar. 

Begini cara penyalurannya; kalau dalam satu rumah terdapat lebih dari dua orang penerima hak sedekah? Maka banyaknya minuman tidak lagi kami tambahkan. Tetap dibagi dengan jumlah normal (3 botol besar). Tetapi bila dalam satu rumah terdapat 1 atau 2 orang penerima hak saja, maka kami menambahkan 2 botol besar minuman. 

Jadi, rumah yang hanya 1 orang saja itu mendapat 5 botol, sedangkan rumah dengan 2 orang penerima sedekah mendapat 8 botol. Kalau ada empat orang penerima sedekah dalam serumah, maka diberikanlah 12 botol besar minuman karena kesepakatan normal 1 orang 3 botol. Alhamdulillah. 

Secara ekonomi, sedekah ini terbilang kecil. Namun, secara agama, saya merasa ada “keberkahan” yang kami terima di bulan ini secara kolektif. Pasar mendatangkan rezeki, sedekah menumbuhkan kebahagiaan. Anak-anak menyampaikan rasa syukur, ibu-ibu janda menyampaikan rasa syukur. Semoga yang sudah bersedekah mendapat balasan yang jauh lebih besar dari Allah SWT. 

Sebagai penutup, perlu disampaikan bahwa saya dan pengurus BKM tengah belajar dan berusaha menjadikan lembaga ini ke dalam gerakan sosial Filantropi. Oleh karena itu, kami meminta dukungan, saran dan masukan dari pembaca. Harapan kami, berkah Ramadhan Ma Parada meliputi kita semua dan suatu hari nanti, setiap BKM di mana saja bisa berperan membantu pengembangan masyarakat di kelurahan/desa masing-masing di Maluku Utara. Salam Hangat dan Cinta. Mohon maaf lahir dan batin. 

——

Wawan Ilyas, Ketua Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Nurul Aminin, Kel-Tomajiko, Pulau Hiri