Tips Mencela Pejabat Tanpa Kena Delik Hukum

*oleh: Muhammad Tabrani Mutalib

Ombudsman cermat, Muhammad Tabrani Mutalib. Foto: Istimewa

INDONESIA sebagai negara hukum melekat konsekuensi logis bahwa simpul kekuasaan negara harus dibagi baik secara horizontal kepada cabang kekuasaan lainnya antarlembaga negara maupun secara vertikal kepada pemerintah daerah melalui asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewin). Maksud dari pembagian itu agar kekuasaan tidak menumpuk di tangan presiden semata,  karena kekuasaan pemerintah harus dibagi dan dibatasi oleh hukum (Constitutional and limited Government), sebagaimana ungkapan latin yang menyebut inde datae leges ne fortiori omnia posset (hukum dibuat untuk membatasi kekuasaan para penguasa).

Filosofi dari pembatasan kekuasaan itu berakar dari fons et erigo konsep “Politik” itu sendiri. Asal-usul Politik menurut Aristoteles dalam karyanya berjudul “politic” ditulis sekitar 300 tahun SM artinya bernegara dan wadah tempat aktivitas bernegara atau politik berlangsung disebut “polis” sebagai wahana tindakan. Adapun subjek yang bisa terlibat proses politik dalam polis hanyalah laki-laki karena kebudayaan masa itu, hanya laki-lakilah yang dianggap punya logos (ilmu pengetahuan) yang dapat membicarakan hal-hal publik (kepentingan bersama). Sedangkan perempuan hanya dianggap memiliki fone (kemampuan berkomunikasi) tapi tidak punya logos (ilmu pengetahuan) sehingga tempatnya bukan di polis, melainkan di oikos (dapur). Pembagian antara peran laki-laki dan perempuan itu disebut Res Publika bagi peran laki-laki, dan Res Privata untuk peran perempuan. Dengan kata lain, perempuan dianggap masyarakat masa itu hanya bisa mengurus hal-hal privat semata, bukan persoalan publik (politik). Pada perkembangannya kemudian, di masa Romawi, konsep res publika dan res privata di Yunani awalnya hanya bermakna politis semata, berubah menjadi re publica dan menjadi dasar falsafah para ahli hukum Romawi guna menyusun dan membagi konsep hukum (lex) dalam dua ranah yaitu lex publica (hukum publik) dan lex privata (hukum privat). Pembagian hukum Romawi inilah yang digunakan sampai saat ini. Konsep res publica (yunani) menjadi re publica (romawi) itulah yang dipakai sebagai acuan filosofi bentuk pemerintahan Negara Indonesia yakni Republik Indonesia oleh para pendiri bangsa (the founding fathers). Maka sebagai negara hukum yang berbentuk republik, Presiden selaku pucuk kekuasaan tertinggi pemerintahan merupakan jabatan politik tertinggi dalam sebuah Negara Republik.

Etika Publik dan Hak Warga Negara

Adapun etika sendiri berasal dari kata eticus (Latin), etikos atau ethos (Yunani) yang berarti ilmu tentang adat atau kebiasaan. Unsur utama yang membentuk etika adalah moral yang lahir dari kebiasaan masyarakat. Istilah etika digunakan dalam filsafat pertama kali oleh Aristoteles untuk menjelaskan tentang moralitas. Atas dasar itu, etika sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu konsep tentang penilaian benar, salah, buruk, baik dan tanggungjawab manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Ranah etika terhadap kepentingan bersama disebut etika publik dan dalam ranah privasi disebut etika privat.

Baca Juga:  Opini: Taufik Madjid, Harapan Baru Masyarakat

Berkenaan dengan itu, hubungan antara warga negara dengan pemerintah maupun hubungan antarwarga negara di ruang-ruang publik hanya terikat pada etika publik, sedangkan etika privat hanya berlaku pada relasi yang bersifat privat semata seperti hubungan kekerabatan atau pertemanan. Olehnya itu, sopan santun hanya berlaku dalam etika privat, sedangkan dalam etika publik, sopan santun ialah wujud dari feodalisme yang merusak etika publik. Sebab kehendak baik yang bersifat tetap dalam politik tidak lain yaitu mewujudkan kebaikan bersama (virtue) seperti keadilan atau hal-hal yang bersifat umum atau publik lainnya, sehingga di situ tidak ada perasaan pribadi yang ikut nimbrung, karena yang menjadi obyek pembahasan politik adalah kepentingan publik.

Dalam kehidupan bernegara, hubungan yang berbasis pada etika publik ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan kedaulatan (sovereignty) berada ditangan publik (warga negara). Oleh sebab itu, Pemerintahan Republik berarti pemerintahan dari, oleh dan untuk kepentingan publik. Jabatan pemerintah baik di pusat maupun daerah tidak lain ialah jabatan yang dipilih oleh publik dan penyelenggaraan pemerintahan juga dibiayai oleh pajak publik sehingga publik punya hak penuh mengkritik, mencela bahkan menghina jabatan tersebut. Konsekuensi logis dari hal itu, maka konsep ‘pejabat’ sebagai penjabaran republik dalam hukum pemerintahan (besturrecht), diartikan sebagai fungsionaris organisasi kekuasaan atau negara yang lahir dari suatu abstraksi pemikiran filosofis. Karena itu, pejabat serta jabatan yang diwakilinya tidak lain ialah kata benda tidak bernyawa sehingga tidak memiliki kualitas ‘diri’ pribadi sebagaimana orang selaku subjek hukum (natuurlijk persoon). Maka pejabat tidak memiliki perasaan atau kesadaran sehingga tidak mungkin mengalami ketersinggungan pribadi. Hal ini berbeda dengan konsep martabat (dignity) orang sebagai manusia (natuurlijk persoon) dalam pergaulan ranah privat yang terikat dengan etika privat. Jika martabatnya dilecehkan, maka muncul perasaan terhina dari subjek pribadi orang tersebut.

Tips Mencela Tanpa Kena Delik

Dalam perkembangannya di Indonesia, pasal tentang delik penghinaan seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi warga negara yang sedang mengekspresikan kedaulatannya sebagai publik. Para pejabat baik di pusat maupun di daerah tak ayal menggunakan pasal-pasal hukum pidana (delik) sebagai instrumen untuk membatasi kebebasan dan ruang gerak warga negara untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Ancaman Pasal pencemaran nama baik atau penghinaan baik diatur dalam KUHP maupun UU diluar KUHP seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering dipakai sebagai ‘pentungan’ mendisiplinkan suara-suara sumbang warga negara yang dianggap mbalelo. Hal itu terlihat dari Laporan LSM SAFEnet yang mencatat tahun 2011 sampai dengan 2018, ada 393 orang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE. Mayoritas perkara-perkara tersebut berkaitan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) mengenai ujaran kebencian. Pasal-pasal itu kerap disalahgunakan aparat penegak hukum untuk membungkam kritik dan aksi damai warga negara.

Baca Juga:  Menyoal Peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Akibat maraknya kriminalisasi serta muncul pelbagai protes kalangan civil society mengenai penerapan hukum yang ‘ugal-ugalan’ menabrak hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi. Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan Keputusan Bersama antara Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi atas Pasal tertentu dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (SKB Pedoman Implementasi). Diterbitkannya SKB ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap warga negara dan menjadi acuan bagi penegak hukum di lingkungan Kemenkominfo, Kejaksaan, Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

Jika dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. SKB kemudian mengatur bahwa pengertian muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Pasal 310 KUHP merupakan delik menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum. Sedangkan Pasal 311 KUHP berkaitan dengan perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku. Adapun bukan sebuah delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan dan/atau kata-kata tidak pantas. Untuk perbuatan yang demikian dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana dimaksud Pasal 315 KUHP yang menurut penjelasan UU ITE tidak termasuk acuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Selain itu, juga bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, jika muatan atau konten adalah hasil penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

Adapun dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum, maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum penegak hukum menindaklanjuti pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik UU ITE. SKB juga menegaskan delik pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut (klackt delict) maka harus korban sendiri yang mengadukan kepada Penegak Hukum, kecuali dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian, maka walinya dapat bertindak sebagai pengadu. Sedangkan korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi korporasi, profesi atau jabatan. Disamping itu juga, fokus pemidanaan bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) dengan maksud menyebarkan informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum. Sebagai contoh, jika ada seorang warga menulis status dalam laman facebooknya dengan kata-kata “Walikota Tolol”, maka status tersebut tidak terpenuhi unsur delik pidana pencemaran nama baik atau penghinaan karena kontennya masuk kategori cacian, ejekan dan/atau kata-kata tidak pantas. Selain itu, ia juga menyebut subyek yang dituju yaitu jabatan Walikota. Sebagai jabatan, Walikota bukan korban yang berhak sebagai pelapor, kecuali yang disebut tolol itu ditujukan menyebut langsung nama pribadi orang yang menduduki jabatan Walikota dengan identitas spesifik. Celaan itu adalah hal yang wajar dalam ranah etika publik jika warga tersebut merasa Walikota tidak becus menyelenggarakan pelayanan publik hingga merugikan hak-hak publik.

Baca Juga:  Penunjukkan Pejabat Kepala Daerah Morotai dalam Pusaran Kepentingan

Atas dasar itulah, maka berikut tips bagi warga yang ingin menjalankan haknya sebagai warga negara untuk mencela Pejabat tanpa terkena delik, harus memperhatikan pedoman berikut: Pertama, subjek yang dialamatkan celaan harus disebut nama Institusinya, korporasi, profesi atau jabatan tertentu, jangan menyebut nama orang dengan identitas spesifik. Kedua, muatan atau konten status bisa saja cacian, ejekan dan/atau kata-kata tidak pantas, bisa juga penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan (fakta yang benar terjadi). Ketiga, jangan mengunggah konten celaan itu di grup terbuka (open group) seperti grup marketplace facebook, tapi di grup tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus atau institusi pendidikan. Keempat, isu yang dijadikan konten celaan harus hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan gosip, aib atau masalah privasi orang per orang. Demikian tips agar terhindar dari delik pidana pencemaran nama baik atau penghinaan terhadap pejabat, semoga dapat digunakan sebagai pedoman untuk mencela pejabat yang tak becus!


Muhammad Tabrani Mutalib merupakan praktisi hukum di Maluku Utara

Editor: Redaksi