Oleh: Galim Umabaihi
Rasa cemas mengiris hati Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate, Sabtu sore itu, 1 Februari 2025. Sebab, hujan deras mengguyur Ternate sejak siang hingga jelang malam tak kunjung redah. Padahal kegiatan kampanye dampak lingkungan Proyek Strategis Nasional (PSN) telah siap dilangsungkan di Pendopo Benteng Oranje.
Kecemasan itu muncul atas ketakutan para peserta yang diundang dalam kegiatan kampanye melalui pameran foto, nonton bareng, dan talkshow, tersebut tak bisa hadir. Namun, belum juga waktu magrib, Sahril Helmi muncul dari arah pintu utama. Sahril yang merupakan jurnalis kontributor Metro TV itu hadir membunuh separuh kecemasan tersebut. Dia hadir mewakili Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Maluku Utara.
Sahril datang dengan segudang informasi yang ia dapat selama meliput di lapangan. Tak heran, ketika acara talkshow dimulai, terlebih setelah narasumber memaparkan materi, Sahril juga orang pertama yang mengangkat tangan untuk menyampaikan pertanyaan. Saya yang menjadi moderator pada talkshow tersebut, langsung memberikan dia kesempatan sebagai penanya pertama.
Kepada anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, Muksin Amrin, yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi tersebut, Sahril minta untuk membatasi operasi perusahaan kelapa sawit di Gane, Halmahera Selatan. Dia juga minta menghentikan operasi perusahaan tambang di wilayah karst Bokimoruru, Halmahera Tengah.
Mafhum, Sahril menyampaikan fakta tersebut karena dia sendiri merupakan warga Gane, juga jurnalis yang sering meliput bencana alam dampak dari operasi perusahaan tambang di dua wilayah tersebut. Sahril melakoni jurnalis yang tak sekadar mengabarkan fakta, tapi juga memastikan keselamatan masyarakat.
Sahril, memang dikenal sebagai jurnalis yang getol menjelajahi fakta di lapangan untuk mendapatkan informasi yang kredibel ketimbang duduk di rumah menunggu rilis pemerintah atau lembaga negara. Terutama peristiwa-peristiwa bencana, Sahril selalu tampil di depan, mulai dari kota hingga pelosok Halmahera, selalu melakukan siaran langsung dari lapangan.
Saya mengenal Sahril lewat sejumlah liputan bencana yang disiarkan di televisi. Seperti liputan tenggelamnya KM. Cahaya Arafah di perairan Gane, letusan Gunung Ibu di Halmahera Barat, banjir di Weda Tengah dan Utara, Halmahera Tengah, dan banjir bandang di Rua, Kota Ternate. Bencana alam dan kecelakaan yang dialami oleh masyarakat, ia selalu hadir meliputnya.
Sahril benar-benar menjalani tugas jurnalistik, yang disebut oleh Jakob Oetama (dalam Sindhunata, 2019), sebagai pekerjaan kaki. Pekerjaan yang menganggap lapangan dan berjalan sebagai lahan.
Kegetolan dalam liputan itu, tak heran ketika dia satu-satunya jurnalis yang ikut Tim Gabungan Basarnas Ternate saat melakukan evakuasi nelayan yang mengalami mati mesin di perairan Gita, Oba, Tidore Kepulauan, pada Minggu, 2 Februari 2025.
Namun, kecelakaan justru menimpa dia dan sejumlah tim dalam insiden ledakan speed boat RIB 04 milik Basarnas. Kecelakaan tersebut mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, tujuh lainnya luka-luka. Sementara, Sahril sendiri dikabarkan hilang hingga kini belum ditemukan.
Sahril memang selalu ada dan memberitakan warga yang hilang, baik saat melaut maupun kecelakaan saat menyebrang sungai. Kini, kabar kehilangan itu datang atas nama dirinya saat berjuang mencari dua nelayan yang hilang ketika melaut.
Kerja-kerja Sahril ini, tak berlebihan jika kita menyebut bagian dari menjalani visi jurnalis jihad. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata jihad berarti usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan. Di sisi lain, (dalam Janet Steele, 2018) jihad berarti perang, tetapi juga bermakna perjuangan untuk membela keadilan dan kebenaran.
Pemimpin redaksi Indonesia Raya, Atmakusumah, mengatakan tujuan jurnalisme adalah meraih kebajikan. Dalam buku Muchtar Lubis, Wartawan Jihad (1992), mereka menyebut Indonesia Raya sebagai surat kabar jihad, yang berperan untuk mendapat keadilan, kebajikan, dan kemajuan.
Di era yang media online tumbuh bak jamur ini, praktek copy paste berita pun sukar dihindarkan. Media-media banyak dikelola oleh jurnalis yang tak berkompeten. Tak sedikit jurnalis yang hanya menunggu rilis, meng-copy paste berita ataupun mencopot postingan warga di media sosial tanpa mengkonfirmasi ke lapangan.
Padahal, di zaman ini, karena setiap orang bisa terlibat mengirim informasi di media sosial, kabar hoaks sukar dapat dikendalikan. Bahkan berita dan opini pun jadi susah dibedakan. Karena itu, kita butuh banyak jurnalis seperti Sahril, yang tak sekadar menunggu rilis tapi turun ke lapangan, menjejaki fakta untuk mengabarkan kebenaran kepada publik.
Kini, kita berduka, benar-benar kehilangan seorang sahabat juang di lapangan. Kita berdoa Sahril cepat ditemukan, lalu kembali hidupkan kameranya dan memotret fakta yang mulai diabaikan banyak jurnalis di lapangan. Kami menunggu-mu, Sahril!