Perspektif

Übermensch or The Last Man: Titik Persimpangan Kita di Era Digital

Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*

 

FRIEDRICH Nietzsche, filsuf Jerman abad ke-19, pernah melontarkan peringatan tajam tentang hadirnya der letzte Mensch atau the last man (manusia terakhir). Ia digambarkan sebagai sosok yang puas hidup nyaman, tak lagi berani berimajinasi, dan takut pada risiko.

Lebih dari seabad sejak Nietzsche menulis novel filsafat Also sprach Zarathustra: Ein Buch Buch für Alle und Keinen atau Thus Spake Zarathustra (bahasa Inggris), bayangan itu terasa nyata di tengah kehidupan modern. Di era digital hari ini, kita mungkin sedang menyaksikan lahirnya generasi the last man (manusia terakhir) baru versi online dengan likes, views, dan notifikasi sebagai candunya.

Media sosial menjadikan hidup kita panggung besar tempat semua orang berlomba menampilkan versi terbaik dirinya. Budaya viral menanamkan pesan samar: keberhasilan diukur dari jumlah pengikut, popularitas, dan kemampuan memamerkan gaya hidup.

Nietzsche akan tersenyum sinis melihat manusia modern yang mengejar validasi digital layaknya kawanan yang seragam. Ia menyebut moralitas massa sebagai herd morality, di mana individu kehilangan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri (otentik). Dalam dunia influencer, kebahagiaan tampak hanya seperti filter: mulus di layar, rapuh di baliknya. Kita pun bisa bertanya: bukankah ini ciri “manusia terakhir”? Merasa puas dengan simbol-simbol semu, tidak lagi mencipta nilai baru, melainkan menyalin tren yang sedang laku.

Penjara Baru dan Godaan Kehidupan Tanpa Risiko

Di sisi lain, hidup kita juga dipenuhi dengan tren self-improvement: membaca buku motivasi, mengikuti kursus produktivitas, hingga berburu seminar pengembangan diri. Seakan-akan hidup yang baik hanya soal mengatur jadwal lebih rapi atau menambah keterampilan baru.

Tentu, mengembangkan diri adalah baik. Tetapi Nietzsche mungkin akan mengkritik: apakah semua itu sungguh membuat kita lebih otentik, atau sekadar cara lain untuk menyesuaikan diri dengan standar pasar tenaga kerja? Bukankah kita akhirnya hanya menjadi roda gigi yang lebih efisien dalam modus produksi, bukan pencipta nilai yang merdeka?

Manusia terakhir modern bisa saja rajin ikut kelas self-improvement, tapi tetap takut keluar jalur, takut gagal, takut mencipta. Ia sibuk memperbaiki diri hanya agar lebih cocok dengan norma pasar, bukan untuk menemukan makna hidupnya sendiri.

Kehadiran kecerdasan buatan (AI) juga memberi cermin menarik. Banyak hal kini bisa diselesaikan lebih cepat: menulis, membuat desain, bahkan menemukan contoh ide. Semua jadi instan, mudah, dan minim risiko.

Namun Nietzsche mungkin akan bertanya: apakah hidup yang semakin nyaman ini benar-benar membebaskan kita, atau justru mengurung kita dalam kebosanan baru? Jika semua hal bisa dikerjakan mesin, di mana lagi ruang bagi manusia untuk berjuang, gagal, lalu bangkit kembali?

Ketika manusia lebih memilih kenyamanan instan dibandingkan tantangan, kita semakin dekat dengan nasib sebagai the last man (manusia terakhir) yang hanya ingin hidup aman, sehat, dan panjang umur, tapi kehilangan semangat untuk melampaui dirinya.

Nietzsche tidak hanya memberi peringatan, ia juga menawarkan visi alternatif: Übermensch atau “manusia unggul”. Ia adalah manusia yang berani mencipta nilai sendiri, melampaui dirinya, dan menegaskan hidup apa adanya.

Bagaimana kita menerjemahkannya hari ini? yang pertama, berani menanggung risiko: di dunia serba instan, keberanian mencoba hal baru meski berpotensi gagal adalah langkah revolusioner. Kedua, menolak hidup berdasarkan validasi massa: cara ini berarti tidak membiarkan algoritma media sosial menentukan harga diri kita.

Ketiga, menjalani hidup kreatif: kreativitas bukan monopoli seniman; siapa pun bisa hidup kreatif: guru, petani, pekerja kantoran. Dan terkahir, menghayati amor fati: amor (cinta), fati (nasib/takdir) atau mencintai takdir, sebab dalam konteks modern, ini berarti menerima kenyataan hidup yang penuh ketidakpastian, lalu menjadikannya bagian dari pertumbuhan diri.

Pilihan Kita di Persimpangan

Di era digital ini, kita berada di persimpangan antara menjadi “manusia terakhir” atau mendekati semangat Übermensch. Jalan pertama penuh kenyamanan: hidup dalam algoritma, puas dengan validasi semu, sibuk menyesuaikan diri dengan norma pasar. Jalan kedua lebih sulit: berani gagal, berani berbeda, berani mencipta. Nietzsche tidak sedang memberi resep instan. Ia hanya menantang: apakah kita mau hidup sekadar sebagai kawanan yang nyaman, atau sebagai pencipta makna?

Mungkin inilah pertanyaan paling relevan untuk generasi sekarang. Apakah kita mau menjadi manusia terakhir yang bersembunyi di balik layar ponsel, atau berani mengambil risiko untuk hidup secara otentik? Karena, seperti kata Nietzsche, “manusia adalah sesuatu yang harus diatasi.” dan tugas itu pada akhirnya, bukan milik filsafat, melainkan keberanian kita sendiri.

Pilihan ada di tangan kita: mau larut jadi manusia terakhir yang nyaman tapi hambar, atau menempuh jalan terjal menjadi manusia yang berani mencipta. Kenyamanan memang menggoda, tapi keberanianlah yang membuat hidup berarti.

—–

*Penulis merupakan praktisi hukum dan pengajar di Universitas Khairun Ternate

cermat

Recent Posts

Jangkau SD Inpres Sosol, NHM Laksanakan Program Edukasi Mitigasi Bencana dan PHBS

NHM Peduli kembali melaksanakan program Edukasi Kebencanaan dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan…

3 jam ago

Audit ISO 14001 dan 45001: NHM Tunjukkan Komitmen K3L dan Lingkungan Berkelanjutan

PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) telah berhasil melaksanakan Audit Surveillance ISO 14001:2015 dan ISO 45001:2018…

3 jam ago

Dimas Drajad Minta Maaf Debutnya di Malut United Tercoreng Usai Kalah Lawan Persik

Dimas Drajad melakoni debutnya bersama Malut United FC saat menghadapi Persik Kediri pada pekan kelima…

21 jam ago

Jaksa Tahan Dirut PT TJM di Kasus Korupsi Anggaran Perusda

Kejaksaan Negeri (Kejari) Pulau Taliabu, Maluku Utara, resmi menahan Direktur Utama PT Taliabu Jaya Mandiri…

21 jam ago

Jumat Berkah, Jembatan Penghubung Desa-desa di Taliabu Ini Digratiskan Pemiliknya

Yeni K Gabriel, pemilik jembatan yang menghubungkan sejumlah desa di Pulau Taliabu, Maluku Utara, menggratiskan…

21 jam ago

Graal Suarakan Keluhan Warga ke Pemerintah Pusat

“Bagaimana strategi Kementerian Perhubungan untuk membangun transportasi di daerah kepulauan? Maluku Utara adalah daerah kepulauan.…

23 jam ago