Advocatus Diaboli

Ketua YLPAI Muhammad Tabrani. Foto: Istimewa

Oleh Muhammad Tabrani Mutalib Pengajar Universitas Khairun

 

PEMBELA IBLIS, padanan kata yang terdengar angker dan terkesan mengerikan dari istilah latin ‘advocatus diaboli’ di dalam khazanah bahasa Indonesia. Advocatus diaboli atau dalam literatur bahasa Inggris disebut the devil’s advocate sering kali juga dialihbahasakan sebagai pengacara setan atau iblis. Meskipun pengertian secara harfiahnya tidak enak didengar dan membuat orang mengerutkan dahi ketika membacanya. Namun sesungguhnya maknanya tidak semenyeramkan etimologi istilah tersebut.

Bukan berarti seseorang yang menjalankan peran sebagai advocatus diaboli berarti sebagai wakil atau pembela iblis apabila bersekutu dengan iblis seperti di film-film atau novel, tidak sama sekali! Justru di dalam sejarah hukum eropa, orang yang berperan sebagai devil’s advocate merupakan peran yang baik dalam maknanya yang sebaliknya.

Pengacara Iblis vs Pengacara Tuhan

Dalam tradisi Gereja Katolik Roma, terdapat suatu prosesi suci yang disebut ‘kanonisasi’ yaitu suatu proses yang melibatkan pembuktian bahwa seorang katolik entah itu pastor atau cardinal serta siapa saja yang sudah meninggal menjadi kandidat orang suci (santo/santa) secara otoritatif. Atau dengan kata lain, ia telah menjalani kehidupannya dengan kebajikan heroik (heroic virtues) sehingga ia layak dinobatkan sebagai santo atau santa. Dalam kekristenan, baik katolik Roma maupun Ortodoks Timur, gelar ini mula-mula diberikan kepada para martir yang gugur dalam menjalankan misi penginjilannya. Legenda kesalehan di tengah penderitaan dan siksaan sampai kematiannya dianggap sebagai pengakuan iman mereka terhadap kristus.

Kanonisasi meliput proses dari pelayan tuhan kemudian dilakukan venerabilis oleh seorang Uskup dan setelah itu diusulkan untuk beatifikasi (pengakuan) oleh Paus melalui sidang kongregasi penggelaran kudus (congregation de causis sanctorum), sebelum mendapat gelar santo/santa. Dalam tahapan tersebut, terdapat suatu proses scrutinisasi mendalam yang dilakukan oleh dua posisi yang saling berlawanan. Di satu pihak disebut advocatus dei atau pengacara Tuhan dan di pihak lain disebut advocatus diaboli atau pengacara iblis. Atau dalam Black’s Law Dictionary disebut the devil’s advocate is the advocate who argues against the canonization of a saint.

Seseorang yang ditunjuk otoritas gereja untuk menjadi advocatus dei atau promotor penyebab bertugas membangun argumen yang mendukung kanonisasi dengan memaparkan bukti-bukti kebajikan heroik kandidat yang layak menjadi orang suci. Selama penyelidikan suatu sebab, tugas ini sesungguhnya bertindak sebagai promotor of justice. Sedangkan advocatus diaboli justru berperan sebaliknya, sebagai promotor fidei (dosa) untuk mengambil posisi skeptis terhadap segala sesuatu mengenai kandidat ‘orang suci’, entah itu aspek karakternya, mencari celah dalam bukti, serta menyusun argumen untuk membantah argumen pengacara Tuhan. Atau dengan kata lain, peran itu berdiri secara diametral dengan sudut pandang tertentu untuk menentang kanonisasi (penyucian) seorang kandidat. Ia berusaha melihat kejelekan seorang kandidat sebagai bagian dari proses pencarian obyektivitas. Tujuannya tidak lain, untuk mengoreksi jangan sampai proses penobatan tersebut didasarkan atas bukti-bukti yang tidak valid.

Baca Juga:  Sail Tidore Perekat Bangsa-Bangsa

Perdebatan antara kedua peran tersebut, tidak berarti mempersoalkan sudut pandang masing-masing secara ‘ngotot-ngototan’, tetapi menenpatkan posisi alternatif dari norma yang diterima. Keduanya berusaha semaksimal mungkin mengeksplorasi pemikiran lebih lanjut menggunakan penalaran yang valid terhadap argumen pro-kontra masing-masing yang tidak disetujui dihubungkan dengan subyek atau kandidat yang ada dan membuktikan pendapat mereka sendiri valid dapat diterima dalam sidang kongregasi.

Peran Pengacara Iblis dan Fair Trial

Dalam momen yang lain, cara ini juga tak jarang digunakan sebagai ‘tehnik diskusi’ agar peserta diskusi tetap dalam perspektif sehingga perdebatannya konstruktif. Metode debat antara advocatus dei dengan advocatus diaboli inilah yang menjadi cikal bakal metode perdebatan atau tukar pikiran moderen. Meskipun dalam sejarahnya, metode ini sudah ada dalam tradisi intelektual di Yunani. Bahkan bermain peran advokat setan dan advokat tuhan ini dalam literatur hukum klasik dikenal sebagai bentuk metode Socrates.

Baca Juga: Jurnalisme Prabayar di Tahun Politik

Peran advocatus dei dalam alam praktik penegakan hukum kekinian wabil khusus dalam hukum pidana bisa disematkan dengan fungsi jaksa penuntut umum. Sedangkan advocatus diaboli sebagai penasihat hukum terdakwa. Tugas penuntut umum sebagai advocatus dei bukanlah untuk hukum orang, tapi menghadirkan alat-alat bukti di persidangan, kalau seorang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana, dituntutlah untuk dijatuhi hukuman setimpal oleh pengadil. Tapi kalau tidak terbukti, penuntut umum yang diberikan kewenangan oleh negara harus bersikap “gentlemen” mengakuinya.

Jangan malah secara ngotot-ngototan menambahkan uraian fakta menurut seleranya sendiri, padahal tidak pernah terungkap dalam pemeriksaan persidangan. seperti pepatah Inggris, everyone can do mistake (semua orang dapat saja melakukan kesalahan) tanpa terkecuali penuntut umum, meskipun perannya selaku promotor of justice. Sebaliknya begitu juga halnya peran penasihat hukum bukanlah mati-matian membela yang bertujuan menang-menangan dalam suatu perkara, melainkan menegakan kepastian hukum yang adil dengan cara membela “kepentingan hukum” seorang terdakwa dalam proses penegakkan hukum yang jujur (fair trial) agar jangan sampai terlanggarnya harkat dan martabat manusianya sebagaimana telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Baca Juga:  Juara Sejati: Pemenang Tanpa Tropi, Segudang Prestasi

Sebab, dalam penegakan hukum dibutuhkan suatu kejujuran, keikhlasan, sikap gentlement mengakui kekeliruan dari semua komponen catur wangsa wabil khusus penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim. karena untuk memastikan kepastian hukum yang adil, dibutuhkan juga sikap arif dan bijaksana serta menuntut pertimbangan hukum (legal reasoning) yang cukup, terukur, tepat dan logis, karena forum penegakan hukum merupakan laboratorium nalar (the laboratory of logic). Atas dasar itu, pada hakikatnya tugas penegak hukum bukanlah untuk menghukum orang, tetapi sebagai alat negara yang menjalankan fungsi mewakili negara menegakan hukum dan memulihkan ketertiban dan ketentraman publik (rust en orde) dengan adil sebagaimana perintah Allah dalam Surat Ar-Rahman ayat 7-9 berbunyi “…dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keadilan, agar kamu tidak merusak keadilan itu, dan tegakkanlah keadilan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keadilan itu.” Maka peran apapun yang dijalankan siapapun, kita wajib memenuhi perintah Yang Maha Kuasa tersebut. Sekian*