Oleh: Syarifuddin Usman*
Scribo Ergo Sum
Aku menulis maka aku ada
“Karena menulis bagi saya adalah sebuah proses menemui kebahagiaan,” tulis Asghar Saleh –biasa saya menyapanya dengan Abang Gha- ketika memberi siloloa buku pertama yang diterbitkan atas kerjasama Gramasurya Yogyakarta dan NaroOti Publishing. Ungkapan kebahagiaan yang ditorehkan melalui tulisan itulah, kemudian terbitlah buku perdana Belajar, Kemerdekaan dan kemanusiaan; Esai-esai Transformasi Kehidupan.
Buku setebal 348 halaman ini berisi kumpulan tulisan Abang Gha penuh gizi, karena temanya beragam. Dari soal kekuasaan politik, pembangunan, spiritualitas, sepak bola, sejarah,bencana dan juga kemanusiaan. Selain berisi kritikan, tulisan-tulisan Abang Gha juga menonjok kepada siapapun dengan kemasan jahitan pikiran yang sublim. Tulisan-tulisannya menggambarkan bahwa Abang Gha memiliki keluasan pengetahuan yang harus diapresiasi. Buku ini gurih di baca dan sangat recommended untuk menambah asupan akal kita. Apalagi Prolognya di tulis oleh Prof Gufran A.Ibrahim dan Epilognya Dr.Syaiful Bahri Ruray,M.Si, maka tak ada lagi keraguan tentang isinya.
Terdiri dari 67 tulisan dan di bagi dalam 8 (delapan) Chapter, Abang Gha merefleksikan you are what you read. Kau adalah apa yang kau tulis. Orang yang menulis sudah pasti membaca, sementara orang yang membaca belum tentu menulis. Sehingga apa yang kita tulis merupakan cerminan dari karakter kita yang dibentuk oleh buku-buku yang kita baca.
Menulis membuat kita abadi. Karya kita akan menjadi prasasti dan monumen pengingat ketika telah tiada. Orang-orang bisa mengingat dan mengenang kita dari pikiran-pikiran yang sudah tertuang dalam bentuk tulisan.
Menulis itu mengada (mode of being). Artinya, menulis adalah cara bereksistensi. Antara menulis dengan mengada ada hubungan yang kuat. Mengutip Sindhunata, menulis itu menautkan kepenulisan (schreiben) dengan keberadaan diri (sein). Dalam taraf tertentu, seorang menulis dalam rangka membangun identitasnya. Dan Bang Gha yang menapak kepenulisannya dari seorang Jurnalis Radio KBR68H mengokohkan identitasnya sebagai penulis.
Menulis juga tidak lain adalah cara mengada. Baik dalam ruang privat (kedirian) maupun eksis di ruang publik (pengakuan). Dan menulis adalah cara mengada secara abadi. Persis yang dikatakan oleh Pramoedya, bahwa orang boleh pintar setinggi langit, tapi kalau tidak menulis ia akan hilang ditelan zaman. Menulis adalah bekerja pada keabadian.
Kekuatan tulisan tak bisa dianggap remeh. Sejarah telah banyak memberikan pelajaran, bahwa banyak rezim otoritarian berhasil terjungkal karena tulisan.
Abang Gha yang penulis kenal, memang seorang “gila” baca dan seorang pembelajar. Ketika masih sama-sama menjadi jurnalis, abang Gha, juga Alm Rusli Jalil, (termasuk penulis) selalu terpukau dengan catatan pinggirnya (Caping) Goenawan Muhammad (GM). Ketika membeli Majalah TEMPO, maka halaman pertama yang di baca adalah halaman terakhir, halaman yang berisi catatan Pinggir. Tak dimungkiri, kalau Catatan Pinggirnya Goenawan Muhammad, adalah barometer esai yang sangat digandrungi termasuk Abang Gha, Alm Rusli Djalil dan juga saya.
Ada beberapa judul dalam buku ini yang mengadopsi versi Catatan Pinggir seperti La Tahzan, Nukila, Inul, Uchie, Tauge dan Titik. Judul-judul yang ringkas namun memiliki daya tonjok dan menohok.
Meski sederhana, tulisan-tulisan Abang Gha menginspirasi dan telah membangun personal brandingnya tersendiri. Scribo Ergo Sum, Aku menulis maka aku ada ! kata bijak yang saya adopsi dari filsuf Rene Descartes, yang kesohor dengan Cogito Ergo Sum.
Verba Valent Schripta manent, apa yang terucap akan lenyap bersama angin dan apa yang tertulis akan terkenang abadi. Selamat atas terbitnya buku perdana Abang Gha yang menyemarakkan peradaban literasi di Maluku Utara, meskipun soal ini, para penulis dan karyanya kerap tak pernah dihargai dengan layak dan pantas oleh penentu kebijakan di daerah ini. []
Penulis adalah Pembelajar