*Oleh Sunarti Ardiman
Politik identitas senantiasa menggunakan identitas agama, ideologi, ras, etnis dan budaya sebagai alat serta mobilisasi kepentingan politik. Dalam hal ini, opini masyarakat dimanipulasi untuk menjadi wadah sentiment-sentimen tersebut.
Beberapa bulan lagi menjelang pemilu 2024 masyarakat perlu mewaspadai manipulasi opini publik melalui politik identitas. Pola yang dilakukan umumnya dengan menyebarkan berita rumor hingga ujaran kebencian. Hal ini berdampak pada perkembangan diskusi yang tidak produktif serta potensi menyebabkan disharmoni dan kekerasan.
Dampaknya, dari diskusi yang berkembang di masyarakat menjelang pemilu menjadi tidak produktif, masyarakat terpaku dengan masalah politik identitas dan menyampingkan diskusi-diskusi yang subtansial yang lebih penting seperti ekonomi, korupsi, masalah pajak hingga kerusakan alam. Identitas yang diputar untuk menyerang politisi ini lazimnya berdampak pada kekerasan, disharmoni, perpecahan dan konflik. Hal ini pun menutup ruang publik dari diskusi.
Umumnya, politik identitas muncul ketika pascadeklarasi para kandidat calon capawapres dan wapres ataupun para calon legislatif. Pada Pemilu 2019, politik identitas marak dan masyarakat terpolarisasi berdasarkan kubu pendukung, sementara menjelang pemilu 2024 polanya juga cukup berbeda.
Peneliti pusat studi agama dan demokrasi (PUSAD) Universitas Paramadina, Husni Mubarak, menjelaskan bahwa poltik identitas bisa berkembng pada rumor, ujaran kebencian, hingga hasutan kebencian. Bentuk-bentuk ini berpotensi mengarah pada dehumanisasi yang melegitimasi seseorang melukukan tindak kekerasan. Kalau ada indikasi dehumanisasi atau kondisi tidak memanusiakan kelompok lain berdasarkan identitas, harus ditindak, apalagi selama pemilu, identitas seperti rumput yang muda terbakar, artinya, muda sekali dimanfaatkan untuk menyerang orang lain, salah satu adalah ujaran kebencian.
Karena itu menurut Husni, negara perlu bertindak tegas kepada orang-orang yang melakukan ujaran kebencian, dalam beberapa kasus pelaku yang melakukan ujaran kebencian merasa memiliki imunitas dan melakukan berkali kali karena tidak ditindak. Selain itu, kontrak narasi dan narasi alternatif agar narasi berkembang di masyarakat tidak melulu mengenai ujaran kebencian, masyarakat perlu kritis dan skeptis karena ujaran hasutan kebencian selalu dimulai dengan logika yang keliru.
Presiden Joko Widodo mengingatkan stabilitas politik dan keamanan menjelang Pemilu 2024. Ia meminta para kepala daerah agar menjaga situasi tetap kondusif dan masyarakat kita tidak menjadi korban politik, utamanya poltik identitas. Artinya, hal tersebut seakan menegaskan bahwa tahun ini hingga 2024 kontestan politik pilpres akan berhadapan dengan ancaman yang bisa disebut ‘Tsunami Politik’.
Kanker politik identitas ini seperti korupsi yang harus dihambat agar tidak merambat dan bersarang di jantung demokrasi, terlebih presiden sudah menegaskan berulang agar para capres dan cawapres tidak memakai politik identitas dalam kontestasi pilpres setelah Lemhamnas menyerahkan hasil kajian isu rawan Pemilu 2024 ke presiden.
Hasil kajian tersebut antara lain terkait ujaran kebencian dan politik identitas, Bawaslu juga meluncurkan indeks kerawanan pemilu 2024, salah satunya petakan ancaman bahaya polarisasi politik, Kaporli juga sudah membentuk satgas nusantara untuk menghalau pelbagai ancaman polarisasi poltik yang mengorupsi di tahun 2024.
Sebagai negara yang demokrasinya terpadang selama ini, mestinya bangsa ini perlu selangkah lebih maju dari negara lain untuk memitigasi diobralnya politik identitas oleh para politisi atau parpol dalam menghadapi potentsi politik identitas, sebagai agen dan lokomatif demokrasi, ada partai tertentu yang kerap indiferen dan menjadi resipien keuntungan destruksi dari politik identitas karena bisa membonsai popularitas dan elektabilitas rival politik maupun kandidat lawan.
Parpol di Indonesia juga masih berrgantung pada ketokohan individu sebagai magnet elektoral, ironisnya ketokohan tersebut dibangun di atas jejaring kepemimpinan patronistik dan pragmatisme yang di antaranya mengunaka propanganda populisme tanpa etika dan moral untuk merawat elektoral politik partai maupun individu.
Tak heran, praktik politik identitas yang memiliki garis ketersinggungn dengan entitas parpol tak pernah diungkap dan diadili, padahal merosotnya kualitas demokrasi saat ini dipicu oleh lemahnya fungsi edukasi parpol dalam menanamkan fatsun, spirit dan tanggungjawab politik.
Itu sebabnya, Gusdur menyatakan bahwa partai harus menjadi wadah bersatunya kepentingan setiap warga negara Indonesia tanpa melihat perbedaan agama, suku, ras, golongan semua dalam konteks untuk mengkaderkan dan menghasilkan pemimpin politik dan bangsa yang berkualitas dan demokratis (Musa, 2018).
Karena itu selain regulasi pemilu diperkuat untuk memitigasi politik identitas, penting bagi parpol elit setrumnya untuk mempromosikan politik berbasis akal sehat dan narasi yang konstruktif berbasis gagasan. Spirit itu yang bisa diaktualisasikan di kalangan elit parpol peserta pemilu dalam wujud fakta politik gagasan partai politik, intinya semua elite parpol harus bersepakat agar menjauhkan diri dari narasi dan konsumsi politik sentimen berbasis identitas yang destruktif, termasuk hoaks, provokasi, untuk mengapitalisasi elektoralnya.
Parpol harus menjadi agen yang melebur di berbagai perbedaan identitas bangsa dalam semangat demokrasi, inklusif, keseteraan, keadilan dan toleransi serta kemanusiaan, semua itu untuk menjaga dan memproteksi Indonesia dari monster poltik identitas.