Perspektif

“Menyimak” Tangisan Gub Sherly Tjoanda

Oleh: Taufiq Fredrik Pasiak*

 

CERITA ini dimulai di sebuah laboratorium di Universitas Parma, Italia, tahun 1992. Giacomo Rizzolatti dan timnya sedang melakukan eksperimen sederhana pada monyet makaka. Mereka memasang elektroda di area F5 otak primata—bagian yang terlibat dalam perencanaan gerakan—untuk mempelajari bagaimana neuron motorik bekerja saat monyet mengambil makanan. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Suatu hari, salah satu peneliti mengambil kacang tanpa sengaja di depan monyet yang sedang diobservasi. Alat pengukur aktivitas otak tiba-tiba berbunyi—menunjukkan neuron motorik yang sama aktif di otak monyet, meskipun ia hanya menonton, tidak melakukan gerakan apapun. Temuan yang awalnya dianggap “kebocoran sistem” ini kemudian terbukti konsisten: _sel-sel saraf tertentu di otak tidak hanya aktif saat melakukan tindakan, tetapi juga saat menyaksikan tindakan serupa dilakukan oleh individu lain._

Penemuan yang kemudian dikenal sebagai “mirror neuron” ini menjadi salah satu terobosan terbesar dalam neurosains. Vilayanur Ramachandran (2008), neurosaintis terkemuka Amerika keturunan India, bahkan menyebutnya sebagai “Gandhi neurons” karena implikasinya untuk empati manusia. Dalam risetnya, Ramachandran menunjukkan bahwa sistem ini jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan. Mirror neuron tidak hanya merespons tindakan, tetapi juga emosi dan sensasi—menciptakan jembatan neurologis antara pengalaman kita dan pengalaman orang lain.

Yang lebih mengejutkan lagi, Ramachandran mendemonstrasikan bahwa jika bagian tubuh kita dibius—menghilangkan sinyal umpan balik sensorik yang biasanya memberitahu kita “ini bukan tubuhmu yang disentuh“—kita benar-benar bisa merasakan sentuhan yang dialami orang lain. Batas antara diri dan orang lain praktis menghilang. Inilah mengapa video close-up wajah politisi yang terlihat terluka atau terharu bisa menimbulkan gelombang empati kolektif yang sering kali tak proporsional dengan substansi pesannya.

Dalam konteks kampanye politik, penemuan Rizzolatti dan Ramachandran ini membuka dimensi baru tentang bagaimana otak kita “diretas” tanpa sadar. Strategi komunikasi politik modern tidak lagi hanya berdasarkan retorika, tapi pada pemahaman mendalam tentang kerja mirror neuron. Saat kamera zoom-in pada raut wajah kandidat yang intens, saat suara mereka bergetar dengan emosi yang “tepat”, saat mereka menunjukkan micro-expression yang terlihat spontan—semua itu dirancang untuk mengaktifkan sistem cermin di otak kita, menciptakan ikatan emosional yang melampaui penilaian rasional.

Mari ke Maluku Utara sejenak. Bayangkan: ketika seorang perempuan cantik tersedu di atas panggung, otak Anda tak sekadar menonton—ia ikut merasakan. Mirror neuron Anda menyala seolah-olah Anda sendiri yang sedang kehilangan. Itulah yang terjadi saat Sherly Tjoanda, Calon Gubernur Maluku Utara, berdiri di depan massa kampanye dan mengenang almarhum suaminya. Ia tak banyak bicara. Tapi saat suaranya pecah dan ia berkata, “Saya masih shock… tapi aku akan melanjutkan perjuangan,” tubuhnya lunglai sejenak, tangannya gemetar, dan air matanya jatuh.

Di sejumlah video yang tersebar di YouTube dan Instagram, momen itu direkam dari berbagai sudut: close-up wajah, zoom pada tangan yang bergetar, dan sorotan massa yang ikut diam terpaku. Ini jelas lebih dari sekadar tontonan, itu adalah instruksi emosional. Penonton tidak hanya menyaksikan; mereka ikut merasa kehilangan, ikut merasakan duka, ikut menyalakan empati. Ini bukan manipulasi murahan. Ini kalkulasi emosional yang sangat presisi.

Mirror neuron kita tidak bisa membedakan apakah kesedihan itu spontan atau telah dipersiapkan. Yang otak kita tahu: ada sinyal emosi yang harus ditiru. Dan begitu itu terjadi, preferensi politik bukan lagi soal visi, tapi resonansi personal. Saya bisa memahami kesedihannya, dan barangkali itu tulus. Namun, saya tidak bisa memastikan: apakah nuansa emosi kuat yang ditunjukkannya di beberapa titik kampanye muncul secara spontan, atau justru dirangkai dalam bingkai dramaturgi politik yang sangat efektif?

Ketika seseorang menangis sedih di atas panggung—katakanlah dalam momen kampanye politik—wajahnya bukan hanya menunjukkan emosi, tapi memancarkan sinyal biologis yang dapat dikenali dan ditiru. Dalam kerangka Facial Action Coding System (FACS) Paul Ekman, tangisan sedih biasanya diwakili oleh kombinasi sejumlah otot alias Action Units (AU) yang khas: AU1 (pengangkat alis bagian dalam), AU4 (penurun alis), AU6 (pengangkat pipi), AU15 (penarik sudut bibir ke bawah), dan kadang AU17 (penegang dagu). Otot-otot ini menciptakan ekspresi universal yang disebut “dukacita”—kerutan dahi, alis yang miring ke atas tengah, bibir tertarik ke bawah, dagu menegang.

Dalam beberapa video yang saya amati, terutama saat Sherly Tjoanda mengenang mendiang suaminya di hadapan massa, kombinasi AU ini muncul dengan jelas dan berulang: kerutan yang konsisten di dahi, getaran suara, bahkan jeda sunyi di tengah kalimat. Ekspresi ini tidak hanya bisa dilihat, tapi ditiru oleh otak penonton secara otomatis. Mirror neuron menyala, lalu mengaktivasi otot-otot wajah penonton dalam bentuk facial mimicry ringan: alis mengernyit, mata memanas, tenggorokan tercekat. Ini bukan drama—ini mekanisme biologis.

Menurut studi dari Mehrabian (1962), 93% dari dampak komunikasi berasal dari elemen non-verbal, yakni 38% dari nada suara, 55% dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Hanya 7% berasal dari isi kata-kata. Ketika seorang tokoh berkata “aku masih shock…” dengan suara pecah, tatapan kosong, dan wajah berlinang, publik tidak hanya mendengar kesedihan itu—mereka merasakannya dalam tubuh mereka sendiri. Dan saat rasa itu menular, posisi politik mulai dibentuk bukan oleh argumen, tapi oleh empati yang dibajak secara sistemik.

Apa yang ditampilkan Sherly Tjoanda bukan sekadar kesedihan personal. Itu adalah aktivasi kolektif. Dalam momen-momen emosional yang terekam dan disebarluaskan, ia berhasil menyalakan mirror neuron jutaan orang. Dan ketika sel-sel cermin itu menyala serentak—meniru ekspresi, menyalin rasa, merekam luka—ia membentuk lebih dari sekadar simpati. Ia membentuk perilaku politik. Warga yang tadinya pasif menjadi pembela. Yang apatis menjadi pengikut. Yang ragu menjadi yakin. Bukan karena argumen, bukan karena visi programatik, tapi karena rasa yang dipantulkan secara presisi.

Mirror neuron yang semula menjembatani empati berubah menjadi alat kendali neurologis. Ia tidak memaksa, tidak membentak, tidak mengancam. Ia hanya mengajak kita “ikut merasakan”—dan dari situ, menanam kesetiaan. Saat Sherly berkata “aku akan melanjutkan perjuangan,” banyak yang tidak tahu perjuangan macam apa yang ia maksud. Tapi karena mereka sudah merasa terhubung, mereka ikut memperjuangkannya. Pada titik ini, otak rakyat kehilangan sebagian otonominya. Kesadaran politik tak lagi dibentuk oleh pikiran, tapi oleh emosi yang ditiru dan diulang.

Mirror neuron, yang diciptakan untuk membangun empati, kini menjadi celah paling lembut bagi peretasan pikiran. Satu ekspresi sedih, satu air mata di waktu yang tepat, cukup untuk mengaktifkan respons otomatis dalam jutaan otak. Kita ikut merasakan, lalu ikut membela. Bukan karena memahami gagasan, tapi karena tertular rasa. Inilah emotional contagion—penularan emosi yang membuat simpati terasa seperti kebenaran.

Artikel ini tidak sedang menuduh bahwa tangisan Sherly Tjoanda di panggung politik adalah kepalsuan.

Tidak ada yang bisa menakar keaslian luka seseorang. Namun, yang perlu disadari: tampilan emosi di ruang publik, terutama saat dikemas dan disebarkan secara strategis, berpeluang besar meretas otak orang lain. Mirror neuron tidak tahu mana emosi yang jujur dan mana yang dikoreografikan. Ia hanya tahu: tiru. Dan di situlah titik paling berbahaya—saat rasa menggantikan nalar, dan loyalitas tumbuh dari empati yang disuntikkan.

Lalu bagaimana kita bisa bertahan? Latih jeda. Sepuluh detik cukup untuk memanggil kembali akal sehat. Sadari kapan rasa itu muncul, dan tanyakan: “Apakah ini benar-benar milikku?” Demokrasi hanya mungkin jika rakyat berpikir sendiri dan merasa dengan kesadarannya sendiri—bukan karena disentuh oleh strategi yang menyamar jadi ketulusan (PJ120125).

——

*Penulis merupakan Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta

cermat

Recent Posts

Jaksa Tahan Tiga Anggota Satpol PP Tersangka Kasus Penganiayaan Jurnalis di Ternate

Tim penyidik Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Ternate menyerahkan tiga anggota Satpol PP, yang…

10 menit ago

Ini Pesan Piet-Kasman untuk 97 CJH Halmahera Utara

Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…

2 jam ago

Duo Sayuri Lapor Sejumlah Pemilik Akun Penebar Rasisme ke Polda Malut

Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…

3 jam ago

Menteri ATR/BPN Lantik 31 Pejabat Struktural, Tegaskan Pentingnya Rotasi Berkala

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…

10 jam ago

Polres Halmahera Utara Kembali Bongkar Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Kecamatan Malifut

Polsek Malifut, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, kembali mengungkap praktik pengolahan emas ilegal yang berlokasi…

11 jam ago

Aliong Mus Minta Masyarakat Hargai Putusan MK Soal Hasil PSU Taliabu

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Pulau Taliabu, Maluku Utara resmi berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK)…

21 jam ago