Perspektif

Prof. Djidin: Sang Pencerah itu Telah Purna Bakti

Oleh: Wajo A.R.*

 

TULISAN ringan ini bukan sekadar ungkapan perpisahan, melainkan cerminan atas rasa kehilangan dan penghormatan yang mendalam terhadap seorang ilmuwan, pendidik, dan ulama yang pernah mengisi kehampaan pengetahuan dan keteladanan saya (mungkin juga orang lain) di ruang belajar maupun dalam interaksi keseharian.

Adalah Prof. Dr. M. Djidin, M.Ag., Guru Besar Ilmu Tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, yang per tanggal 1 Juli 2025 memasuki masa purna bakti. Ia pensiun setelah mengabdi selama 33 tahun 3 bulan di lembaga IAIN Ternate, sekaligus menjadi bagian tak terpisahkan dari ruh perjalanan lembaga ini. Juga seorang guru yang hadirnya menjadi edukatif, inspirasi, motivasi serta penyuluh dan tauladan, bagi para pengembara ilmu pengetahuan.

Jejak Karir dan Pengabdian

Tahun 1992 lalu, Prof. Djidin datang dari Kota Makassar di Bumi Moloko Kie Raha berkat tugas negara sebagai Dosen IAIN Alauddin di Ternate (sekarang IAIN Ternate). Meski harus berpisah jauh dengan kerabat dekat, namun semangat pengabdiannya untuk umat dan bangsa, memantik jejak dan menapaki jalan panjang di Ternate hingga meraih gelar tertinggi akademiknya. Ia menjadi profesor dalam bidang keilmuan Tafsir (al-Qur’an), dengan kepangkatan tertinggi Pembina Utama IV/e, sebuah raihan mengagungkan, tepat satu bulan sebelum pensiun, sekaligus menjadi catatan istimewa yang sarat inspirasi.

Dalam Pidato Perpisahan (valedictory) Purna Bakti yang disampaikan di hadapan sivitas Akademika Fakultas Ushuludin, Adab dan Dakwah IAIN Ternate, tertanggal 25 Juni 2025 lalu, Prof. Djidin menuturkan, “Dalam proses menapaki jenjang karir, saya menyadari bahwa gelar akademik adalah amanah ilmiah. Meraihnya bukan semata demi suatu prestise pribadi, tetapi untuk memberi kontribusi lebih besar bagi lembaga dan masyarakat”.

Di atas prinsip inilah, Prof Djidin menjalani rutinitasnya sebagai akademisi, dengan jalan menerjemahkan nilai dan spirit tri dharma perguruan tinggi dalam jejak karir dan pengabdiannya di Maluku Utara.

Perjalanan karier Prof. Djidin yang dimulai dari bangku kuliah di IAIN Alauddin Makassar, dan sempat menjadi dosen Bahasa Inggris, menunjukkan bahwa beliau adalah sosok multidisipliner yang fleksibel.

Pengalaman internasionalnya, seperti riset disertasi di Universitas Al-Azhar dan Cairo University, hingga rihlah ilmiah ke Universitas Ummul Qura Makkah, menunjukkan kualitas intelektual yang berskala global.
Yang lebih mengesankan, Prof. Djidin menapaki karier akademiknya bukan dengan keistimewaan akses, tetapi melalui kerja keras dan strategi yang jitu. Meminjam ungkapan beliau, “Perjalanan karir saya sebagai dosen bukanlah jalan bebas hambatan, melainkan jejak panjang yang dilalui penuh tekad, pengorbanan dan dedikasi untuk terus berkembang, baik secara akademik maupun administratif.

Tentang profesinya sebagai dosen, Prof. Djidin dengan kerendahan hati mengungkapkan; “Menjadi dosen bukan sekadar profesi, ia adalah panggilan intelektual dan moral. Kita dititipkan amanah untuk membentuk akal dan membina jiwa.”

Teladan dan Motivator

Dalam keseharian bersama pendidik dan tenaga kependidikan di IAIN Ternate, Prof. Djidin dikenal luas sebagai pribadi yang humble, mudah diajak berdiskusi, dan tidak pernah pelit berbagi motivasi. Ia bukan hanya dikenal sebagai ahli tafsir, tetapi juga sebagai pembelajar sejati, penulis produktif, dan pembina ruhani yang konsisten menanamkan nilai-nilai moderasi Islam di tengah masyarakat majemuk Maluku Utara.

Ia menjadi penggerak pengabdian masyarakat di berbagai daerah di Maluku Utara, melalui perjalanan dakwah yang menantang. Dakwahnya yang menyejukkan, dan sentuhannya pada masyarakat selalu bersahaja namun berdampak. Kata-katanya tidak menggurui, tetapi mencerahkan. Seperti pepatah Plato, (1997); “Orang bijak berbicara karena mereka memiliki sesuatu untuk dikatakan; orang bodoh berbicara karena mereka memaksakan sesuatu untuk dikatakan”.

Prof. Djidin adalah tipikal akademisi yang tidak hanya mengandalkan kecakapan metodologis melalui sejumlah karya-karya ilmiahnya yang kontributif, tetapi juga kekuatan moral dan spiritual. Beliau adalah pengingat bahwa dalam setiap perubahan, yang paling penting bukan hanya struktur dan sistem, tetapi karakter.

Mengutip Syed Naquib al-Attas, pendidikan sejati adalah “ta’dib”, yakni penanaman adab sebelum pengetahuan. Dan dalam diri Prof. Djidin, kita melihat adab itu hidup melalui cara beliau menghargai waktu dan peluang, dalam cara menyapa sejawat, dan dalam cara berbagi ilmu dengan tulus tanpa pamrih.

Menepi Saat dibutuhkan

Purna bakti Prof. Djidin sungguh suatu kehilangan yang berarti kelembagaan IAIN Ternate. Bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara moral dan spiritual. Betapa tidak, menepinya karir beliau di tengah menggeloranya semangat transformasi kelembagaan IAIN Ternate menuju jenjang universitas, melalui penataan fondasi keilmuan, memperkuat daya saing dan SDM, serta perluasan jaringan. Dalam masa ketika perguruan tinggi keagamaan ini menghadapi tantangan globalisasi, distrupsi teknologi, dan tekanan administratif yang terus dinamis.

Namun demikian, sebagaimana matahari yang tahu kapan tenggelam untuk memberi ruang pada bulan bersinar, Prof. Djidin memilih menepi dalam nyata, dan berjanji akan bertemu dalam karya. Suatu pernyataan menyentuh dari beliau, “Saya mungkin tidak lagi duduk di ruang dosen atau menghadiri rapat-rapat kampus, tetapi Insya Allah saya akan tetap menulis, berdakwah, terus belajar, dan terus berusaha memberi manfaat melalui cara yang berbeda.”

Sebuah ungkapan penuh makna yang menunjukkan bahwa semangat belajar dan mengajar tidak mengenal pensiun. Dan bagi kami, sivitas akademika, purna bakti Prof. Djidin, ibarat pelita yang padam di ruang belajar, walau sinarnya telah lebih dahulu menembus banyak hati, menyulut semangat, dan menanamkan makna pengabdian yang tidak lekang oleh waktu.

Warisan Ilmiah dan Spiritualitas yang Hidup

Warisan terbesar Prof. Djidin bukan pada Guru Besar yang diraih, melainkan pada nilai-nilai yang ia wariskan. Ia tidak hanya mewariskan teks, tetapi konteks; tidak sekadar teori, tetapi teladan. Dalam bahasa John Dewey (2024), “Education is not preparation for life; education is life itself” (pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri). Dan Prof. Djidin telah menjalani pendidikan itu sebagai kehidupan yang utuh dan bermakna.

Sebagai dosen muda, saya pribadi merasa kehilangan seorang guru yang selama ini menjadi inspirasi, bukan hanya dalam hal akademik, tetapi juga dalam menjaga integritas, kesederhanaan, dan etika.

Saya pribadi terkesan dengan tiga pesan kecil beliau, dalam mengakhiri pidato perpisahannya, yaitu pertama, menjadi dosen bukan sekadar profesi, ia adalah panggilan intelektual dan moral. Kita dititipkan amanah untuk membentuk akal dan membina jiwa.

Kedua, menjadi dosen berarti hadir bukan hanya di depan kelas. Tetapi juga dalam kehidupan mahasiswa. Ilmu yang kita bagikan hari ini, dapat menjadi lentera bagi mereka setelah mereka meninggalkan kampus. Ketiga, perjalanan akademik bisa dipercepat, jika kita jeli melihat peluang. Jalan menuju Guru Besar bisa diraih dengan strategi yang tepat dan niat yang kuat.

Ungkapan ini menjadi hikmah (i’tibar) bagi setiap kita yang hidup dan tumbuh dalam profesi sebagai dosen, untuk mencintai dan bersungguh-sungguh menjalaninya. Kalimat ini mengandung nilai luhur, bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan proses membentuk kesadaran dan akhlak generasi bangsa. Sebuah nilai yang beliau tanamkan, tidak hanya pada dunia akademis, tetapi juga membentuk budaya kerja yang berorientasi pada kolaborasi, etika, dan keteladanan.

Menyulam Ingatan, Menjaga Warisan

Dalam pendidikan yang dinamis, kita kerap lupa bahwa lembaga pendidikan tinggi bertahan bukan hanya karena kurikulum dan gedung megah, tetapi karena jiwa-jiwa besar di dalamnya.

Prof. Djidin adalah salah satu jiwa itu. Seorang penjaga makna dalam era distrupsi yang mengemuka. Beliau tidak hanya menafsirkan isi dan makna Al-Qur’an, tapi juga memanifestasikannya dalam kehidupan nyata. Sebagaimana ungkapan Imam Malik, “Ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang diletakkan Allah dalam hati.” Dan cahaya itu telah menyinari banyak generasi mahasiswa, dosen, dan masyarakat yang disentuh oleh ketulusan.

Akhir kata, terima kasih Prof. Djidin, atas semua yang telah ditorehkan. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kesehatan, umur panjang, dan keberkahan hidup. IAIN Ternate akan terus tumbuh, tetapi jejakmu akan tetap dikenang sebagai bagian dari ritme perjalanan lembaga ini.

——

*Penulis merupakan dosen di IAIN Ternate 

cermat

Recent Posts

Resmikan Kampung Adat Wangongira di Halut, Kapolda Maluku Utara Dukung Kearifan Lokal

Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol. Drs. Waris Agono, meresmikan Kampung Adat di Desa Wangongira, Kecamatan…

16 jam ago

Upaya Kapolda Maluku Utara Buat Kampung Adat Wangongira, Halmahera Utara

Upaya Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku Utara, IRJEN POL. Drs. Waris Agono, M.Si untuk menjadikan…

1 hari ago

Tak Berizin, Jetty Perusahaan Tambang di Haltim Ancam Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut pembangunan terminal khusus atau jetty milik PT Sambaki Tambang…

1 hari ago

Kapolda Maluku Utara Kunjungi Polres Halut, Tekankan Profesionalisme dan Integritas Anggota

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku Utara, Irjen Pol. Waris Agono, melaksanakan kunjungan kerja ke Polres…

2 hari ago

Pili Torang Pe Orang

Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]*   Inti buku Relasi Kwasa, Politik Identitas, dan Modal…

2 hari ago

Polairud Imbau Warga di Taliabu Waspada Cuaca Ekstrem

Polisi Perairan dan Udara (Polairud) di Pulau Taliabu memberi imbauan waspada untuk masyarakat imbas cuaca…

2 hari ago