Oleh: Budhy Nurgianto
Journalist I Penikmat Sejarah
Pada tahun 1968, John Giorno seorang penyair Amerika Serikat meluncurkan sebuah hotline Dial-A-Poem di New York, untuk mengirimkan rekaman puisi ke jutaan penelepon di seluruh kota, secara instan dan gratis. Kala itu hotline Dial-A-Poem itu menjadi kolase karya praktisi yang bisa menyatukan kontributor dan pendengar dalam menyalurkan karya puisi.
Dalam kata-kata Giorno, “Puisi tidak boleh dan tidak dapat dibatasi pada kata-kata tercetak.” Selama bertahun-tahun, Giorno lalu bisa menambahkan rekaman puisi yang disampaikan oleh berbagai tokoh dari jaringan interdisipliner yang mencakup artis, musisi, dan aktivis politik, jurnalis dan budayawan.
Pada Juli 2023, Budi Janglaha, Irfan Achmad dan beberapa kawan seniman, dan Jurnalis- yang saya kenal baik-menginisiasi sebuah gerakan mengumpulkan puisi berceritakan tentang pulau Moti di Ternate. Mereka lalu mempublikasi hasil kiriman puisi dari berbagai kalangan itu di sosial media dengan sedikit sentuhan grafis. Hasilnya, dalam waktu tiga pekan, 178 puisi terkumpul. Gerakan kampanye “Moti1322”, yakni sebuah inovasi seni dan budaya untuk mengenalkan kembali kedigdayaan Moti dan menanamkan semangat kembali pulang kemudian mereka gaung-gaungkan.
Ini kali pertama saya melihat ada gerakan mengumpulkan karya puisi dan kampanye budaya di Maluku Utara yang direspon antusias banyak orang. Aksi Budi Janglaha dan teman-temannya itu mengingatkan pada aksi John Giorno yang mengirimkan rekaman puisi ke jutaan penelepon di seluruh kota New York, atau aksi Percy Bysshe Shelley, penyair Inggris yang mengajak banyak penyair untuk membuat puisi mengkritik Kongres Wina pada 1814.
Secara historis, berdiskusi tentang Moti, bukanlah materi baru. Nama Moti sudah melegenda sesuai periode waktu. Moti sudah sangat dikenal dan nyaris semua warga Maluku Utara mengetahui Pulau kecil yang berjejer rapi dengan pulau Ternate, Tidore, Mare dan Makeang itu.
Moti memiliki catatan penting dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Maluku Utara terutama perannya melahirkan perjanjian “Moti Staten Verbond’ yakni perjanjian yang menyatukan empat kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan dalam suatu persekutuan setelah berabad-abad sebelumnya mereka berbeda pandangan dan berkonflik. Pulau Moti adalah tempat menyatukan pandangan itu. “Moti Staten Verbond’ menjadi perjanjian yang dipandang memiliki nilai kuat lantaran menyeragamkan pandangan tentang struktur pemerintahan kerajaan, sikap saling menghormati, tidak memonopoli perdagangan dan membendung ekspansi asing untuk kepentingan warga.
Dari aspek jaringan perdagangan masa lalu, Pulau kecil ini juga ikut menjadi menyangga produksi rempah-rempah seperti pala dan cengkih serta salah satu penopang ekonomi VOC kala itu. Para kolonial ini, menempatkan Pulau Moti sebagai salah satu basis pertahanan maritim mereka. Satu benteng pun dibangun di sisi timur laut Pulau itu. Digunakan sebagai pos pemantau di wilayah arah utara dan timur Pulau Makeang. Benteng yang diberi nama “Nassau” lalu dijaga satu garnisun berisikan 80 tentara terlatih.
Pentingnya posisi Moti kala itu pun, hingga membuat seorang Gubernur Maluku, Jacques Lefebvre sampai memerintahkan Geen Huigen Schaepenham untuk menghancurkan benteng Nassau dan meminta menebang semua pohon pala dan cengkih di Moti sebelum tentara Spanyol tiba.
Dengan demikian, Moti adalah tentang kejayaan dan peradaban. Mempelajari masa lalu tentang Moti akan memungkinkan memahami masa kini dan masa depan Ternate, sehingga mendorong lebih berpikir kritis tentang Moti sama halnya menguatkan peradaban Maluku Utara. Lalu narasi-narasi puisi tentang Moti yang terkumpul itu, diyakini tidak hanya sekedar bercerita tentang kedigdayaan dan kenangan, namun bisa menjadi sarana penguat rasa cinta pada pulau kecil itu.
Puisi tentang Moti merupakan ungkapan perasaan dan gagasan banyak kalangan yang diharapkan dapat ditangkap dan dipahami oleh pengambil kebijakan di Ternate, bahwa Moti butuh perubahan. Narasi puisi adalah langkah awal untuk menghidupkan imajinasi kesejahteraan dan perbaikan pembangunan, dan dapat mendorong pulau yang dulu lengang menjadi maju dan sejahtera. Tidak lagi menganggap Moti sebagai berdenyut dalam nadi yang lambat. Tanah yang dingin dan lembab, sehingga kerap terabaikan. Membangun Moti sama halnya mengurangi ketimpangan, kemiskinan dan meningkatkan pendapatan. Sederhananya, bait-bait kata dalam puisi adalah harapan perubahan dan jawaban terbaik jika Moti adalah tentang kita. (***)
Sekretaris Daerah Pulau Taliabu, Maluku Utara, Salim Ganiru berkesempatan menjadi narasumber utama dalam program talkshow…
Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Maluku Utara resmi melakukan kunjungan ke Polda dalam…
Wakil Bupati Halamhera Utara (Halut), Kasman Hi Ahmad, melakukan inspeksi mendadak ke Kantor Perusahaan Daerah…
Pemerintah Daerah (Pemda) Pulau Morotai, Maluku Utara, resmi menggelar pelepasan Jemaah Calon Haji (JCH) tahun…
Kebijakan parkir tepi jalan di pusat perkotaan Ternate, Maluku Utara menuai kritik. Penataan parkir tersebut…
Polisi memastikan terdapat banyak pihak yang akan menjadi tersangka dalam kasus aktivitas pertambangan emas ilegal…