Perspektif

Pulau Galo-Galo dan Ancaman Perubahan Iklim

Indonsesia terdiri atas lebih dari 13.000 pulau dan sebagian besarnya merupakan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau itu, kini menjadi ancaman serius perubahan iklim. Dampak paling ditakuti adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut. Sudah banyak bukti menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak pada daratan pulau—akibat peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi.

Kepala Sub Direktorat Perubahan Iklim Badan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Sudhiani Pratiwi menjelaskan, perubahan iklim tak hanya berdampak pada kehidupan biota laut beserta perairannya. Namun juga, berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat kawasan pesisir. Dalam hitungan 15 tahun ke depan, dampak tersebut akan mengakibatkan terjadinya kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang tak dapat diprediksi. Pada kurun waktu tersebut—Indonesia Timur diprediksi akan menjadi wilayah terparah yang kena dampaknya. (mongabay.co.id).

Ancaman paling serius perubahan iklim terhadap keberlangsungan pulau-pulau kecil telah menjadi perhatian berbagai pihak. UNEP (United Nation Environment Programe; Badan Lingkungan Hidup Dunia) mengangkatnya menjadi tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2014. Tema tersebut berbunyi, “Raise your voice, not the sea level” yang disesuaikan di Indonesia menjadi “Satukan langkah, Lindungi Ekosistem Pesisir dari Dampak Perubahan Iklim”.

Tetapi, selama ini perhatian masih berkutat pada sebatas diskursus komitmen penurunan emisi dan statistik karbon tanpa tindakan nyata pengendalian risiko. Padahal yang dibutuhkan adalah tindakan strategi pengendaliannya. Sebab, perubahan iklim kian makin melibas kehidupan masyarakat pulau kecil, yakni seperti ancaman krisis pangan, ekonomi, ekologis dan tenggelamnya daratan pulau kecil.

Pulau-Galo-Galo Dalam Gempuran Perubahan Iklim

Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan,2019 menyebutkan, Desa Galo-Galo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai yang terpisah daratan oleh perairan dari Daruba, pusat kota. Transportasi yang digunakan penduduk adalah speed boat, ketinting dan fiber (body). Luas wilayah pulau Galo-Galo 15.000 km2. Jumlah penduduk berdasarkan gender: laki-laki 287 dan perempuan 329 jiwa.

Masyarakat pulau Galo-Galo rata-rata berprofesi sebagai nelayan di antaranya nelayan tangkap ikan dan budi daya rumput laut. Berdasarkan data Baseline Survey Perhimpunan Lingkar Arus Studi (PILAS) pada tahun 2012, desa Galo-Galo dikenal akan pembuatan ikan asin—tetapi sebenarnya tidak terlalu menunjang perekonomian mereka. Sebab, harga yang relatif murah dan akses pasar masih begitu terbatas.

Sedangkan budi daya rumput laut yang digeluti masyarakat sering mengalami gagal panen akibat terserang penyakit yang disebut penduduk sebagai penyakit putih (Ice-ice). Penyakit ice-ice (putih) ini disaat menyerang rumput laut terlihat pada bagian thallus terjadi perubahan warna menjadi pucat atau putih. Karena disaat terserang penyakit tidak ditangani atau dibiarkan begitu saja oleh masyarakat sehingga rumput laut mengalami pembusukan.

Faktor penyebab tumbuhnya penyakit ice-ice (putih) pada budi daya rumput laut adalah kondisi lingkungan yang kurang mendukung diantaranya suhu, salinitas, kecerahan dan juga arus air (Fitriani, 2015). Ketidakseimbangan lingkungan sehingga bakteri pathogen memanfaatkan keadaan tersebut untuk berinang dan berkembang biak.

Warga tempatan menuturkan, “Padahal jauh sebelumnya, pada tahun 2000-an jarang sekali rumput laut terserang penyakit putih (ice-ice) dan hasil panen pun maksimal. Berkisar tahun 2008 penyakit tersebut perlahan menyerang budi daya rumut laut, dan hal ini seiring terjadinya gelombang cuaca tidak menentu—hujan dan panas terjadi dalam waktu pendek. Mereka tak tahu bagaimana cara penanganan dan membiarkannya akhirnya terjadi gagal panen dalam setiap kali panen,” ungkap salah satu nelayan di Galo-galo, pada medio 2012.

Begitu pun nelayan tangkap ikan, pada tahun itu (2008), hasil tangkapan nelayan pun mengalami penurunan drastis. Pengetahuan lokal (local wisdom) atau dalam istilah antropologis disebut pengetahuan tempatan yang berfungsi untuk mendeteksi tempat-tempat ikan, pola cuaca, migrasi ikan dan musim ikan pada bulan-bulan tertentu tak lagi berfungsi baik akibat gelombang cuaca tak menentu. Seperti curah hujan yang tinggi, panas, dan badai dalam waktu relatif pendek. Hal ini sudah barang tentu akan sangat berpengaruh terhadap hasil tangkap nelayan, memicu kerentanan ekonomi dan kemiskinan masyarakat pulau.

“Cuaca tidak pasti. Seharusnya sudah musim ikan. Ini pengaruh cuaca kami harus batal melaut—jika dipaksakan akan meningkatkan risiko keselamatan. Beberapa titik lokasi berkumpulnya ikan pun berubah. Ini bikin pengetahuan local kehilangan fungsi dalam mendeteksi musim,” ungkap salah satu nelayan Desa Galo-Galo.

hal tersebut menunjukkan dampak perubahan iklim terus mengancam pendapatan nelayan, ekosistem pantai dan daratan pulau Galo-Galo serta fungsinya ekologis.

Amatan di lapangan, tanaman pandan laut pun berada diujung kepunahan akibat naiknya permukaan air laut. Dalam publikasi Germination technique of pandanus tectorius (Park.) seeds yang ditulis Ikhsan Matondang dan Sri Endang Rahayu, diterbitkan di Jurnal Budapest International Research in Exact Sciences, dijelaskan bahwa pandan laut memiliki banyak fungsi dan manfaat. Tanaman ini memiliki prospek cerah untuk dikembangkan di masa depan jika dilestarikan.

Catatan observasi saya, di desa Galo-Galo ( tahun 2012) daun pandan laut dimanfaatkan oleh masyarakat tempatan yakni dianyam menjadi tikar. Selain untuk keperluan rumah tangga, hasil produksi tikar pandan diperjual-belikan untuk memenuhi kebutuhan subsisten sejak tahun 1980-an hingga 2004. Mereka menjualnya di pasar Daruba hingga Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara.

Dalam catatan observasi itu pun ditemukan, “Sejak tahun 2008 hingga 2010 habitat pandan laut makin terancam habis akibat abrasi pantai mencapai hingga 20 meter. Pembuatan tikar oleh penduduk tempatan akhirnya ditinggalkan seiring hilangnya habitat pandan, dan dampak lebih jauhnya—adalah kemerosotan pendapatan rumah tangga sebab hilangnya produksi tikar pandan”.

***

Longsor tepi pantai di daratan pulau Galo-Galo akibat pengikisan permukaan pulau setinggi kurang lebih 2 meter. Dampak perubahan iklim kian terus menggempur daratan pulau Galo-Galo sepanjang tahun. Sehingga Anthony Giddens, mengatakan, pemanasan global telah merombak tatanan hidup masyarakat—terutama masyarakat penghuni pulau-pulau kecil.

Fakta tersebut dari sisi ekologis, sudah sejak lama disinggung oleh salah satu pemikir brilian asal Jerman, Karl Marx bahwa, keterasingan masyarakat dari kerja (pembuat tikar pandan) adalah kaitannya dengan keterasingan masyarakat dari alam (kepunahan pandan). Keterasingan (pemisahan) ini adalah dampak dari keretakan metabolik alam (krisis iklim) akibat aktivitas industri skala besar berupa pembakaran bahan bakar fosil, pelepasan karbon di udara dan pembabatan hutan secara masif. Menjadi ancaman serius kehidupan masyarakat pulau.

Strategi Adaptasi Perubahan Iklim

Gambaran kehidupan masyarakat pulau Galo-Galo, memperlihatkan fakta kenaikan permukaan laut, berkurangya wilayah daratan pulau dan rusaknya kawasan ekosistem. Menipisnya daya dukung lingkungan sangat rentan penduduk jatuh dalam kubangan kemiskinan dan berpotensi terjadinya migrasi penduduk pulau kecil. Kenyataan ini terkonfirmasi lewat penduduk Galo-Galo bahwa, “terdapat 6 kepala keluarga telah memilih pindah di beberapa desa di daratan besar pulau Morotai.

Perubahan iklim memberikan pesan akan hilangnya eksistensi orang pulau yang hidup di pulau kecil. Sudah disinggung di atas, tercatat dalam waktu 10 tahun (2003-2012) permukaan air laut naik bekisar 20 meter. Maka berdasarkan hitungan statistik, dalam rentang waktu 49 tahun (2003-2052) dipastikan 100 meter daratan pulau Galo-Galo akan tenggelam bila tidak ada upaya strategi adaptasi perubahan iklim. Data coastal.climatecentral.org bahwa, seperdelapan dari pulau saat ini 29 km persegi akan tenggelam di tahun 2050. (Dikutip pada website Walhi).

Para ilmuan di Inggris menyatakan bahwa, sebanyak 28 triliun ton lapisan es di bumi telah hilang dalam waktu 30 tahun terakhir. Jika ini terus terjadi maka permukaan laut akan naik secara global dan masyarakat yang hidup di pesisir terancam banjir rob—kehilangan harta benda dan peningkatan risiko keselamatan. Sedangkan pulau-pulau kecil bisa tenggelam.

Sementara perubahan iklim terus mengalami peningkatan setiap tahun. Disebabkan, persaingan pemenuhan bahan bakar fosil masyarakat dunia pun tak kalah tinggi, hutan tropis penyerap karbondioksida makin terkuras akibat kebakaran dan masif pembabatan hutan oleh industri pertambangan. Di sisi lain, negara-negara adikuasa menolak untuk mengurangi emisi karbon dan diprediksi bisa dikatakan permukaan laut akan naik dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Adalah akibat mencairnya es di kutub utara dan selatan.

Sekelumit fakta tersebut, menunjukkan, perlu adanya upaya pilihan strategi adaptasi perubahan iklim. Mudiyarso (2005), menjelaskan adaptasi perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan. Konsep adaptasi pun, adalah salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal (Muliyadi, 2007).

Dengan demikian, penerapan program terencana yang integratif dan penguatan sumber daya manusia serta memfungsikan kearifan lokal masyarakat penghuni pulau kecil—adalah instrumen penting pilihan strategi pengendalian perubahan iklim. Sehingga masyarakat tidak terasing (terpisah) dari ruang hidup—baik ekonomi, sosial-budaya dan daya dukung ekologinya, atau tenggelamnya daratan pulau-pulau kecil.


Penulis: Sarfan Tidore

cermat

Recent Posts

Admin Status Ternate Terancam Dijemput Paksa Setelah Dua Kali Mangkir dari Panggilan Jaksa

Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate berpotensi menjemput paksa terdakwa kasus penyebaran berita bohong (hoaks) dan pencemaran…

7 jam ago

Polda Malut Segera Tingkatkan Kasus Dugaan Penyimpangan Distribusi MinyaKita ke Penyidikan

Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku Utara dalam waktu dekat akan menggelar…

8 jam ago

Jaksa Tahan Tiga Anggota Satpol PP Tersangka Kasus Penganiayaan Jurnalis di Ternate

Tim penyidik Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Ternate menyerahkan tiga anggota Satpol PP, yang…

9 jam ago

Ini Pesan Piet-Kasman untuk 97 CJH Halmahera Utara

Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…

11 jam ago

Duo Sayuri Lapor Sejumlah Pemilik Akun Penebar Rasisme ke Polda Malut

Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…

12 jam ago

Menteri ATR/BPN Lantik 31 Pejabat Struktural, Tegaskan Pentingnya Rotasi Berkala

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…

19 jam ago