Juara Sejati: Pemenang Tanpa Tropi, Segudang Prestasi

Zainuddin M. Arie. Foto: Faris Bobero/cermat

Oleh: Zainuddin M. Arie*

 

Pukul 02.06 pagi.  Saya terbangun. Dalam gelap kamar, saya coba meraih telepon genggam yang tergeletak dekat bantal. Suatu cara jelek menempatkan telepon genggam dekat kepala saat tidur. Saya abai. Tombol on saya tekan, menyala. Saya memeriksa pesan, di layar berpendar sejumlah pesan. Ada foto teras ramah. Teras TAB yang biasa dipakai anak-anak TAB “baku dapa”. Tertulis di foto, “ayah, Joya su di muka”.

Astaga! Saya baru sadar, telah tertidur saat menunggu Joya. Saya bahkan tak sempat mengganti pakaian tidur karena akan menerima tamu.

Joya datang atas panggilan saya, pukul 19.00 tadi, setelah membaca pesan, bahwa dia beruntung pada lomba antar fakultas di kampus Gambesi tadi siang.  Dia memang telah menjuarai Peksiminas pada tanggal 23 April 2024 yang diselenggarakan oleh kampus Unkhair Ternate, untuk menjaring mahasiswa bertalenta sebagai persiapan menuju ke jenjang lomba lebih tinggi.

Joya yang tahun lalu menjuarai lomba menulis puisi di tingkat fakultasnya, kali ini menjajal kemampuannya dalam lomba membaca puisi, membacakan puisi “Elegi” karya Toeti Heraty. Dan hasilnya, trophy dan sertifikat kemenangan sebagai juara I diraihnya.

Seperti biasa, saya bersyukur, bahagia serta gembira. Tapi saya tak hendak memujinya. Bukanlah kebiasaan saya memuji anak-anak TAB binaan saya. Sebagai gantinya saya lebih suka menguatkan mereka agar tak lupa banyak bersyukur, tak tiba-tiba sombong, tetap berlatih dan setia pada TAB serta tak lekas berpuas pada tahapnya saat ini. Bagi kami di TAB, juara sejati adalah mereka yang kalah atau bahkan menang tetapi selalu dan terus berlatih dan rendah hati. Bagi saya, “kesahajaan adalah trophy juara sejati”.

Malam kemaren (22/04/2024), di teras TAB, tanpa pemberitahuan sebelumnya, seorang anggota TAB, bersilaturrahmi jelang maghrib. Saya hampir lupa, kemudian saya baru ingat, dia  SoeGieyanto, pemeran pertama, menyampaikan “Suba Jou” sebagai salam pembuka dalam “Ngoko Kudiho Talalu Susa” (Fort Oranje, November 2023).  SoeGie datang bersama Diva, gadis asal Bitung, Suluwesi Utara, mahasiswa arsitek,  yang punya hobi dan biasa berkarya dalam bidang seni rupa. Kami berbincang seputar inspirasi obyek lukis berlatar budaya Maluku Utara. Seperti biasa, saya memberi beberapa alternatif yang mungkin akan dipilih Diva dan akan digarap Diva pada lomba lukis di kampus besok.  Kami mendiskusikannya dalam bincang ringan.

Beberapa saat kemudian, sebuah motor bebek berhenti di depan rumah. Rupanya Joya yang datang. Hujan malam itu tak   menghalanginya datang ke rumah dan bergabung di teras TAB, tempat biasanya mereka ngumpul.  Gadis manis asal Tikong pulau Taliabu ini datang ke rumah saya, mengantarkan ole-ole dari kampung setelah berlibur.  Kehadiran Joya membersamai kami melengkapi perbincangan kami sekitar seni rupa dan sastra.

Baca Juga:  Maluku Utara Dipaksa (Hilirisasi) Bahagia

Lebih dua jam kami berbincang, kadang serius, kadang pula canda yang menyegarkan suasana gerimis malam itu. Setelah dirasa cukup, SoeGie  dan Diva pun pamit, mereka harus balik ke selatan kota.  Saya pikir pertemuan malam ini pun bubar, ternyata meleset.  Kelihatannya masih ada bagian berikutnya.  Saya belum tahu apakah yang akan memperpanjang cerita dan peristiwa teras TAB malam ini.

Ternayata Joya Anggraini tetap bertahan. Rupanya tokoh dalam lingkungan mahasiswa prodi PG Paud ini membutuhkan waktu “berdua” dengan saya.  Dia tetap duduk di kursi bambu yang mulai miring, terus membaca pusinya,  untuk berlatih lebih serius tanpa orang lain. Dia membacakan puisinya dan saya berusaha mendengarkan.  Kurang mengena dalam amatan dan dengaran saya. Dia harus mengulang beberapa kali, dengan perbaikan-perbaikan.

Tempo yang mestinya lebih terkontrol, penggunaan speech dan speed yang cenderung kurang jelas dan agak melaju, membuktikan kenyataan bahwa Joya kurang sabaran dalam penguasaan tempo.  Memang pembaca tak jarang dikuasai oleh panjang atau pendeknya naskah. Dan celakanya, pembaca ditekan oleh naskah hingga tak mampu mempermainkan tempo demi kepentingan pembacaan.  Intonasi pada tiap baris terdengar sama, bahkan tiap kuplet berintonasi tak beda. Kurang variasi. Tak ada improvisasi yang mengagetkan atau memukau.

Pada penggalan kata dalam baris dan antar baris dan setelah baris, kadang tak menunjukkan keutuhan karena diucapkan dengan lagu menurun yang seharusnya menaik agar memberi kesan bersambung antara kata pada baris sebelumya dengan baris berikutnya. Ini salah satu titik kritis dalam merangkum pemaknaan yang kebanyakan dibaca atau  dilakukan oleh banyak pembaca yang tak disadari. Vokal yang digunakan Joya masih seperti dia sedang bercakap dengan teman-temannya. Tak ada kesan membaca karya sastra (puisi).  Sementara itu sulit mendapatkan mimik yang selaras dengan kata. Masih datar dan seolah Joya tak berada dalam suasana pembacaan puisi.

Saya lalu memintanya melakukan beberapa cara praktis, antara lain melakukan teknik menghitung mundur antara judul dan nama pengarang ke  baris pertama isi puisi.   Saya memintanya menggunakan waktu tujuh detik. Saya harus menghitungnya demikian agar Joya bisa lebih rileks dan tenang sebelum memulai kata pertama pada baris pertama.  Selain itu beberapa teknik lain saya coba terapkan.

Mungkin didukung oleh kesendirian karena hanya kami berdua dan suasana malam yang juga dingin memengaruhi moodnya, sehingga cewek Tikong puteri seorang nelayan ini mulai lebih tenang, memberi tatapan berbeda  (walau lapar terbersit tak dapat disembunyikannya), dan sedikit demi sedikt mengubah tekniknya.

Baca Juga:  Bocah, Kambing dan Sampah di Pantai Sasa

Pada bagian konlik, saya memberi tekanan agar pembacaannya lebih tajam pada kalimat “Siapakah pengusaha yang telah mengubah anak-anak kami menjadi bensin”, diberi tekanan lebih dengan improvisasi gerak.   Usai membacakan dua puisi, akhirnya saya memintanya mencukupkan pembacaan walau baru sedikit “menjadi”.

Saya berpesan agar dia menjauhi canda yang dapat menghilangkan mood, mesti menjauhi sedikit keramaian yang bikin lena, merawat ketenangan yang diperoleh malam ini.  Selain itu ada jimat yang saya berikan di ujung gerimis malam itu: “normalisasi, meditasi, konsentrasi”  agar bisa menembak secara akurat.  Gunakan “eye contak”  membangun dialog  (yang sebenarnya terbangun secara monolog).

Saya memintanya agar tetap menyimpan dan menjaga semua soft attitude yang sudah dia lakukan/dipraktikkan,  dialaminya, dalam latih singkat malam ini.   Dan beberapa saat setelah cooling down, pemeran cukup garang dalam teater yang berpasangan dengan Winto itu pun pamit. Joya, yang malam sebelum berlomba pada besoknya harus berlatih sambil merasakan lapar.  Dan ternyata usahanya tak sia-sia.

*****

Setelah maghrib saya tergerak melihat ke layar ponsel.   Disana ada foto trophy, bertuliskan Juara I dengan huruf –huruf besar. Di bawahnya, ada kalimat pendek dengan kata-kata “Assalamu alaikum ayah, Joya dapat Juara 1”  dengan gambar (emoji) “suba” dan wajah bulat berbunga tiga hati merah.  Itu saja.  Yang saya tahu, Joya bersaing dengan delapan belas utusan prodi/fakultas di kampus Unkhair Ternate dan dia adalah pendaftar terakhir.   Saya tak mau menonton, karena kahwatir Joya  tak bisa berbuat banyak bila mengetahui saya ikut menilainya. Tentu akan sangat sulit baginya.

Ini adalah juara kesekian kali yang diraih anak-anak TAB, tentu disamping tak juara pula tentunya. Kehadiran para peraih juara dalam lingkungan TAB tak terlalu mengagetkan, karena memang sudah berulang terjadi.  Bahkan pihak lain yang bukan anak TAB, yang datang berlatih di TAB pun sempat meraih juara.  Saya lupa tahun berapa, tapi pernah, mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Inggeris yang datang berlatih hanya beberapa kali di TAB, mereka berhasil menjuarai Lomba Teater di kampusnya. Padahal menurut penilaian tim pelatih TAB, mereka belum mencapai standar perlombaan.  Di Ambon beberapa tahun lalu, Fajria Abdullah dan Belladona pun pernah menggenggam kejuaraan pada perlombaan antar mahasiswa perguruan tinggi swasta dalam lingkungan Kopertis se-Maluku dan Maluku Utara.

Tak hanya seorang Anggraini La Joya, sebelumnya Winto, Ali dan tentu saja masih ada nama-nama lain yg memeroleh nama terhormat sebagai juara dari suatu ajang (lomba). Di samping itu mereka yang ikut menyertai berbagai kegiatan maupun lomba biasanya memeroleh penghormatan layak, sebagai pemain, pelakon atau pembaca (puisi/karya sastra)

Baca Juga:  Kaleidoskop 2023: Dua Musim cermat dan Konsisten Mengabarkan

Saya tak hendak membicarakan sekadar kejuaraan seperti itu. Bagi Saya yang paling penting (dan sering dilupakan) adalah latihan (setia, sabar, kooperatif, inisiatif, konsisten), memersiapkan diri, berkeyakinan kuat dan mental of fighting  lalu last but not least ihlas dan syukur.

Kenyataan yang (terlalu) sering saya hadapi adalah terlalu cepatnya seseorang yang mau menjadi juara dan melupakan latihan. Artinya pelomba atau sebut saja anak-anak TAB yang sangat bernafsu jadi juara, padahal ogah berlatih.  Berlatih terlalu sedikit dan tak serius tapi maunya cepat-cepat jadi juara. Hehehe gak lucu. Mereka terpana pada hasil dan melupakan proses. Padahal proses itulah faktor teramat penting yang harus dijalani.

Sebagai salah seorang yang digembleng langsung oleh Ayah Arie, ketua umum HIMA Paud Unkhair ini punya pengalaman dan kesyukurannya mengenal TAB. “Alhamdulillah TAB merupakan satu wadah yang sangat luar biasa, iya karena TAB-lah membuat saya mendapatkan beberapa pengalaman yang sebelumnya tidak saya dapatkan, mendapatkan ilmu, serta didalamnya terdapat segudang pembelajaran”. demikian gadis kelahiran Wanci 16 September 2002 ini menuturkan hal tersebut.

“Tidak hanya itu, selepas dari latihan, terkadang saya juga selalu mengunjungi ayah piara, sekaligus pembina Teater Anak Bangsa Zainuddin M Arie. Di rumah beliau sering mendengar beberapa nasehat, serta meminta untuk menjelaskan beberapa teknik agar bisa berubah dari karakter yang berbeda” Joya menambahkan.

Lihat lah anak-anak TAB yang malas berlatih, mudah down, banyak alasan, dan segala ciri daya juang rendah tapi maunya cepat-cepat capai puncak.   Terhadap kenyataan ini, mahasiswi calon guru Paud ini berpesan,  kepada generasi TAB selanjutnya agar tetap berlatih, konsisten, dan jangan pernah malu, setiap manusia punya potensi, hanya saja jika kita berdiam, semua hal tidak akan tercapai, DIAM bukan SOLUSI. dan jika bertemu di satu tempat yang berbeda agar saling menyapa, dan saling merangkul kembali.

Bila ditilik masih banyak orang (anak TAB) yang sudah giat berlatih tapi belum beruntung. Tapi mereka tetap setia pada proses latihan. Inilah konsistensi, dan inilah SANG JUARA SEJATI bukan juara istan yang beruntung pada suatu moment.  Juara “sejenis” tidak berlomba melawan orang lain, karena juara konsistensi itu berlomba melawan dirinya sendiri. Ia teguh menundukkan kemalasan diri, ia mampu memenej keterampilan dan kemauannya sendiri menjadi keterampilan dan kemauan yang berhasil dan berguna, sehingga kemenangan melekat pada dirinya, bukan berasal dari pemberian pihak luar atau pihak lain. Ayo, anak-anak TAB jadilah juara sejati tanpa trophy. Juara sepanjang hayat.   (Pukul 03.09, Rabu, 24/04/2024).


*Penulis adalah sastrawan, bermukim di Ternate