Perspektif

Relevansi Reposisi Ibu Kota “Imajiner” Sofifi ke Kota Tidore Kepulauan

Oleh:
Gunawan A. Tauda
Akademisi Universitas Khairun

Usulan Sultan Tidore agar ibu kota Provinsi Maluku Utara disesuaikan dari ‘Sofifi’ ke Kota Tidore Kepulauan merupakan sebuah gagasan visioner yang patut dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah daerah maupun pusat. Usulan tersebut memiliki alasan historis, geografis, politis, dan administratif yang kuat serta realistis. Dari perspektif historis, beserta Ternate, Kota Tidore memiliki rekam jejak panjang sebagai pusat pemerintahan dan peradaban di kawasan timur Nusantara.

Kesultanan Tidore merupakan salah satu entitas politik tertua di Indonesia yang memiliki pengaruh luas, termasuk atas wilayah-wilayah di Halmahera, Papua, hingga Kepulauan Raja Ampat. Mengembalikan posisi Tidore sebagai pusat administratif merupakan bentuk penghargaan terhadap warisan sejarah dan kontribusi peradaban lokal yang telah menjadi bagian penting dari identitas nasional. Bahkan, Soa Sio Tidore pernah berkedudukan sebagai ibu kota provinsi Perjuangan Irian Barat pada tahun 1956, dengan Sultan Tidore ke-35, Zainal Abidin Syah sebagai Gubernurnya.

Dari sisi geografis dan infrastruktur, Kelurahan ‘Sofifi’ di Kecamatan Oba Utara saat ini memang berada dalam wilayah teritorial Kota Tidore Kepulauan. Kota “Tidore” lebih representatif sebagai pusat pemerintahan provinsi. Berbeda dengan Sofifi yang saat ini masih menghadapi berbagai keterbatasan infrastruktur dasar, aksesibilitas, dan layanan publik.

Secara administratif dan fungsional, penempatan ibu kota ke Tidore Kepulauan akan memperkuat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan provinsi, dan terutama memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan ibu kota provinsi Maluku Utara. Tentunya, bila hal ini direalisasi, perlu dilakukan sejumlah penyesuaian, terutama pembangunan Kantor Wali Kota baru di Oba Utara/Oba, agar kepentingan masyarakat setempat dapat diakomodasi secara optimal, dan memperpendek rentang kendali pemerintahan di Daratan Oba.

Selain itu, realitas saat ini menunjukkan bahwa banyak kegiatan pemerintahan dan pertemuan penting masih dilakukan di Kota Ternate karena keterbatasan fasilitas di Sofifi. Hal ini menunjukkan belum terwujudnya keselarasan antara status Sofifi sebagai pusat pemerintahan dengan kapasitas aktualnya. Kota Tidore Kepulauan, sebagai kota otonom, lebih siap menjalankan fungsi pemerintahan provinsi secara penuh, dan sebagai bagian dari penghargaan sejarah, penggunaan diksi ‘Tidore’ memang lebih layak dan sesuai dibandingkan dengan ‘Sofifi’, yang sama sekali tidak memiliki signifikansi sejarah.

Dari aspek kebudayaan dan jati diri lokal, Tidore menawarkan sebuah narasi kolektif yang kokoh sebagai simbol persatuan dan kejayaan Maluku Utara. Penempatan ibu kota ke Tidore Kepulauan bukan sekadar relokasi administratif, tetapi langkah strategis untuk mengonsolidasikan identitas daerah dan memperkuat daya tarik simbolik Maluku Utara di tingkat nasional dan internasional, yang realitasnya tidak dapat dilakukan oleh entitas Sofifi.

Terakhir, dari aspek hukum ketatanegaraan, sejak pengundangan UU 46/1999 (UU Maluku Utara) pada 4 Oktober 1999 silam, kurang lebih 25 tahun lamanya, Pemerintah belum mampu menuntaskan permasalahan pengaturan ibukota Provinsi Maluku Utara yang berkepastian hukum. Permasalahan mendasarnya pengaturan dalam Pasal 9 ayat (1) & Penjelasan UU 46/1999, yang menentukan: “Ibukota Propinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi [sebagian wilayah di Kec. Oba Kab. Halteng].” Penggunaan entitas Sofifi dalam Pasal tersebut merujuk pada satuan wilayah teritorial, bukan satuan pemerintahan daerah (kota).

Dengan mempertimbangkan realitas perkembangan kontemporer daerah, beralasan untuk dinyatakan bahwa saat ini Sofifi belum memenuhi syarat, terutama pada aspek keterpenuhan syarat administratif dan politik yang diperlukan sebagai calon daerah otonom baru, serta menimbulkan ketidakpastian hukum untuk diposisikan sebagai ibu kota. Karenanya, status quo Sofifi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) UU Maluku Utara beserta Penjelasan-nya perlu direkonstruksi.

Diperkuat dengan argumentasi bahwa Kota Tidore Kepulauan de facto merupakan pusat pemerintahan, perlu ditegaskan bahwa untuk mengurai benang kusut permasalahan ibu kota “imajiner” Provinsi Maluku Utara yang selama ini belum terurai, solusi konkritnya adalah memaknai Kota Tidore Kepulauan sebagai pusat pemerintahan Maluku Utara.

Karena itu, pengaturan dimaksud perlu direkonstruksi menjadi: “Ibukota Propinsi Maluku Utara berkedudukan di Kota Tidore Kepulauan,” pada rancangan Undang-Undang Provinsi Maluku Utara yang baru. Oleh karena itu, usulan Jo’Ou bukan hanya layak didukung, tetapi juga relevan untuk segera dikaji secara objektif dan teknokratik oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara bersama DPRD dan Kementerian Dalam Negeri. Penempatan ibu kota ke Tidore Kepulauan akan menjadi keputusan monumental yang tidak hanya mencerminkan keadilan sejarah, tetapi juga menjawab kebutuhan praktis dan strategis untuk membangun Maluku Utara ke depan secara lebih terarah dan berkeadaban.

cermat

Recent Posts

Pemda Bahas Pembangunan Morotai Lima Tahun Mendatang di Musrenbang RPJMD

Pemerintah Daerah Pulau Morotai, Maluku Utara, resmi menggelar Musrenbang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)…

4 jam ago

Kementerian ATR/BPN Raih Penghargaan Popular Government Institution 2025 dari The Iconomics

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menerima penghargaan Popular Government Institution 2025 dari…

6 jam ago

Ketika Antam Tinggalkan Kerusakan Tanpa Kontribusi Berarti di Halmahera Timur

Setelah lebih dari 20 tahun beroperasi di Halmahera Timur, Maluku Utara, PT Aneka Tambang (Antam)…

8 jam ago

Ghifari Bopeng Kena Somasi PT Apollu Nusa Konstruksi soal Utang 1,3 Miliar

PT Apollu Nusa Konstruksi melayangkan surat tagihan dan somasi kepada PT Hapsari Nusantara Gemilang untuk…

19 jam ago

Jejak Harmonis Alam dan Tambang Emas Gosowong

Setiap 10 Agustus, Indonesia memperingati Hari Konservasi Alam Nasional sebagai momen refleksi pentingnya menjaga kelestarian…

21 jam ago

Kongsi Gigs dan Suara Perlawanan dari Right Chambers untuk 11 Warga Adat Sangaji

Kongsi Gigs: Music, Football, Culture di Ternate, Maluku Utara, bukan sekadar acara manggung. Acara ini…

22 jam ago