Krisis Pangan, Nyatakah?

Penulis: Rahmat R. Souwakil

(Tanggapan untuk sahabat saya, Sarfan Tidore)

Di akhir 2022, tepatnya 15 November 2022, Departemen Ekonomi dan Urusan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan bahwa jumlah jiwa yang menghuni bumi mencapai 8 miliar. Jumlah jiwa sebanyak 8 miliar ini diperoleh kurang lebih 11 Tahun. Sebab pada 2017 jumlah jiwa yang menghuni bumi sebanyak 7 miliar jiwa.

Peningkatan jumlah penduduk yang besar dialami dalam tempo yang relatif singkat ini memberikan harapan sekaligus tantangan. Harapnya bahwa pola penanganan kesehatan dan pangan ditangani dengan baik sehingga bisa dengan cepat menambah angka kelahiran yang otomatis memberikan nilai tambah pada jumlah penduduk di bumi.

Tantangannya adalah dengan meningkatnya populasi di bumi membawa konsekuensi beban pada bumi, baik dalam bentuk perubahan iklim dan maupun lapangan pekerjaan untuk penduduk di bumi. 

Namun dengan meningkatnya angka harapan hidup menjadi 72,98 tahun berdasarkan data PBB pada 2022, dibandingkan dengan angka harapan hidup yang berkisar 70,10 sampai dengan 69,91 tahun, menjadi tanda bahwa manusia berhasil mengatasi tantangan di bumi terutama krisis pangan dan kesehatan yang menjadi penyebab kematian. Sebagaimana ditakutkan oleh sahabat saya, Sarfan Tidore dalam tulisannya media ini dengan judul “Menakar Ancaman Krisis Pangan dan Ekologi” (Cermat.co.id, 15/05/2023).

Dari 8 miliar jiwa di bumi, Indonesia menjadi negara yang menempati urutan keempat sebagai negara dengan populasi terbanyak 280, 139, 383 jiwa. China masih menjadi negara dengan jumlah penduduk terbanyak.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat, tentu menyimpan banyak persoalan yang harus diatasi agar tak menimbulkan ketimpangan sosial yang pada akhirnya menjadi sumber konflik yang bisa menjadi bencana. Ketakutan akan tercipta konflik itu ada. Namun ketakutan terhadap kelaparan … penuhi kebutuhan perut…” seperti ditakutkan oleh sahabat saya patut dipertanyakan.  Nyatanya penduduk republik ini mengalami masalah terkait dengan “isi perut yang banyak” alias obesitas. Walaupun semua kasus obesitas tak hanya menyangkut pangan, tapi juga soal genetik.

Baca Juga:  Pariwisata dan Budaya Berbasis Ekologi

Obesitas menjadi salah penyakit yang mematikan di abad 21 ini. Bahkan dewasa sulit sekali menemukan orang yang terkapar sekarat karena kekurangan atau tidak terpenuhi kebutuhan perutnya. Menurut Yoval Noah Harari dalam Homo Deus… Bahwa “di sebagian besar belahan planet ini, sekalipun seseorang kehilangan pekerjaan dan semua harta miliknya, dia tak mungkin mati karena kelaparan… Badan-badan pemerintah dan NGO mungkin saja tidak menyelamatkannya dari kemiskinan, tetapi mereka akan memberi kalori harian yang cukup untuk bertahan”  (Yuva Noah Harari, 2018: 5). Agar memutus ketergantungan terhadap badan-badan pemerintah menangani “isi perut” maka pemerintah harus bisa memberikan pelayanan, pendidikan dan lapangan kerja.

Terkait dengan kebutuhan perut sebagaimana ditakutkan sahabat saya akibat dampak krisis Pangan. Berdasarkan hasil investigasi Kompas “ditemukan bahwa 47,9 juta orang atau 17,6 persen dari total populasi Indonesia (270 juta jiwa) yang mengkonsumsi gula berlebih. Artinya, ada satu dari enam orang Indonesia yang pola makannya meningkatkan risiko obesitas dan diabetes”  (Kompas, 13/04/3023). 

Data ini bisa memberikan proyeksi bahwa dewasa ini banyak kasus kematian lebih banyak disebabkan kelebihan isi perut daripada kekurangan isi perut. Nyatanya “pada 2010 jika kelaparan digabungkan dengan gizi buruk bisa membunuh sekitar satu juta orang, sedangkan obesitas membunuh tiga juta orang” (Harari, 2018). Akses akan pangan dewasa ini mudah ditemui. Pangan lokal kasbi, jagung, sagu dan lainnya dengan mudah diperoleh baik dalam bentuk aslinya maupun sudah diolah menjadi produk lain yang bisa dikonsumsi.

Totalitarianisme   Terbalik

Pada 21 Mei nanti usia reformasi genap 25 tahun. Dan korupsi tersebar secara merata di kota dan di desa. Amanat reformasi untuk bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme jauh panggang dari api. Bahkan menurut Menkopolhukam Mahfud MD, korupsi terjadi di mana-mana. “Sekarang saudara menoleh ke mana saja ada korupsi  kok. Nengok ke hutan, ada korupsi di hutan. Nengok ke udara, ke pesawat udara, ada korupsi di Garuda. Asuransi ada korupsi di asuransi. Ke koperasi, ada korupsi di  koperasi.  Semuanya ada korupsi.” 

Baca Juga:  Pembangunan di Maluku Utara Masih Minim Kualitas

Dengan maraknya korupsi yang merata setelah reformasi, maka menjadi penghambat pembangunan. Dan imbasnya adalah meningkatnya angka pengangguran yang harus dialami anak muda yang menurut data BPS akan mencapai 60 persen pada 2024. Jika lapangan pekerjaan sulit diakses karena praktek korupsi, maka anak muda akan menjadi generasi yang paling brutal karena gelisa dan takut sebab kebutuhannya tidak bisa dipenuhi.

Tak hanya korupsi, reformasi kini melahirkan apa yang dikatakan Sheldon S. Wolin sebagai Totalitarianisme terbalik (Inverted totalitarianism) “Totalitarianisme terbalik (Inverted totalitarianism)   sebagai sistem di mana korporasi menguasai, mengendalikan, bahkan merusak dan menumbangkan sistem demokrasi dengan menjadikan ekonomi sebagai penentu segalanya” (Jimly Asshiddiqie, 2022: 133). 

Gejala totalitarianisme terbalik (Inverted totalitarianism) semakin menggila di era reformasi. Sebab hampir semua pejabat memboyong keluarga untuk bisa menikmati kekuasaan lewat pemilu. Walaupun prosesnya melalui pemilu tetapi menjadi awal dari totalitarianisme. 

Sebab kita keluarga pejabat yang memboyong keluarga untuk kontestasi pemilu maka tidak bisa terhindar dari konflik kepentingan pejabat. Walaupun diakui bahwa hubungan erat antara politik dan ekonomi terjalin sejak lama. Namun bukan berarti ekonomi (baca: uang-kuasa) bisa menggilas politik dan nurani. Jika membiarkan politik dan nurani digilas oleh ekonomi maka krisis pangan yang ditakutkan sahabat saya ada benarnya. 

Tahun depan 2024 akan adanya pemilu untuk terjadinya rotasi kekuasaan lewat pemilu. Pemenang pemilu ditentukan lewat berapa banyak suara yang dicapai lewat proses merebutkan dan meributkan suara masyarakat. Kekhawatiran sahabat saya terkait  krisis pangan dan ekologi, bisa diatasi adalah memilih pemimpin yang bisa memberi kemudahan, pengetahuan dan keterampilan agar proses pengolahan pangan bisa digunakan dengan bantuan teknologi tanpa mengurangi kadar vitamin sekaligus memberikan akses yang luas dan mudah kepada petani agar bisa mengakses teknologi tersebut.

Baca Juga:  Membangun Desa, Membangun Indonesia

Tak hanya pada petani, pemimpin pasca 2024, jika bisa ‘melantaikan ‘ harga bahan bakar minyak untuk mempermudah transportasi. Sebab dengan harga bahan bakar yang ‘melantai ‘ dan tak ‘meroket ‘ maka memberikan kemudahan pada masyarakat untuk membeli hasil pertanian dengan harga yang bisa terjangkau. Sebab biaya transportasi juga ‘melantai’.  

Krisis ekologi dan tantangan kemajuan teknologi terutama artificial intelligence (AI), dan kontrol penguasa terhadap kebebasan berekspresi serta totalitarianisme terbalik menjadi krisis yang nyata untuk segera diatasi pada momentum pemilu 2024, lewat memilih pemimpin yang bisa memberikan kepastian dan jaminan untuk mengatasi dampak buruk dari teknologi tanpa harus menaruh sinisme terhadap teknologi modern. Sebab kemajuan teknologi tak bisa lagi direm oleh kita, termasuk ketika teknologi merombak proses bertani secara tradisional digantikan dengan bertani secara modern dengan bantuan pestisida.

Seperti dikemukakan Harari (2018) bahwa “sebelumnya sumber kekayaan adalah aset seperti tambang, emas, ladang gandum, dan sumur minyak. Kini sumber utama kekayaan adalah pengetahuan”. Dengan terpilihnya pemimpin yang punya pengetahuan yang baik -benar soal tata kelola negara nan kaya, majemuk dan berpenduduk terbanyak keempat di bumi ini maka segala krisis bisa teratasi tanpa harus takut lapar. Tabea.®️

———–

Rahmat R. Souwakil, Serambi Senior PILAS Institute, Tinggal di Maluku