Oleh: Sarfan Tidore*
Jalan Melati, adalah sebuah kompleks di sebuah Kota kecil—Kota bersejarah. “Kota Hantu”, begitu orang-orang kekinian menyebutnya. Kompleks Jalan Melati ini terdapat satu buah rumah yang telah berusia senja. Sebut saja “rumah hantu”. Cat dinding rumah ini berwarna biru muda yang telah lapuk termakan usia. Begitupun dengan atap rumahnya, kala hujan merintih lantainya pun basa kuyup. Karena atap sengnya pun sudah termakan usia dan bocor sana-sini.
Rumah “hantu” ini terdapat satu buah ruang kecil segi empat. Beberapa meja agak memanjang dan kursi tersusun berjejeran. Kadang rapi, kadang berantakan dan puntung rokok dihambur mengotori lantai semen—ruang ini jauh dari kata bersih. Ada juga tempat duduk panjang terbuat dari papan kayu yang panjangnya berkisar tiga meter. Ruang kecil persegi empat ini, bila derai tangis langit turun, seisinya akan basah kuyup.
Uniknya, meskipun begitu, orang-orangnya relatif betah—tak ada keluh-kesah. Sulit dipahami dan dijelaskan alasan-alasan perasaan mendalam mereka. Ada banyak lirikan mata yang tak habis-habisnya mencuri pandang pada mereka. Terasa ada kenyamanan paling nyaman yang tak bisa didefinisikan oleh kata. Tapi, dari sekian mata itu, mulut mereka bilang, ada satu kelompok yang kata-kata mereka membuat “Hantu” pun gelisah. Seperti kata Marcus, kata adalah senjata.
Penggemar rumah “hantu” itu dari berbagai usia, berbagai profesi, etnis dan agama. Di antara mereka ada yang sekedar datang ngopi dan memainkan gadget handphone tanpa hiraukan orang-orang di sekitarnya—mereka ini disebut phubbing, demikian sebutan orang-orang yang selalu memperhatikannya. Ada yang fokus pada gadget handphone dan laptop sambil bersenda-gurau. Ada pula yang mendiskusikan soal demokrasi, politik praktis dan wacana ini serasa tak pernah kering, tetapi, habis ditelan waktu saat mereka beranjak pergi meninggalkan rumah “hantu.”
Di tengah-tengah riuh-gempita itu, ada satu kelompok yang mempercakapkan soal meta-realitas sosial-budaya, ekonomi, ekologi dan diskursus kekinian lainnya, sembari menyeruput kopi. Kelompok ini selalu dilirik, disoroti oleh orang-orang yang betul-betul memaknai hakekat kehidupan. Mengapa tidak! Ada saling sikut, benturan dan rakitan ide, gagasan mengalir menembus tembok rumah “hantu” itu. Mereka mengukir kata. Mereka adalah Kelompok Kata, demikian orang-orang menyebutnya. Kekuatan kata yang mereka ukir, mampu menembus labirin para hipokrit.
Kata seorang sahabat, mereka adalah paniki (kelelawar). Mereka membalikkan pola hidup, siang adalah malam dan malam adalah siang. Itulah mereka. Kita tahu, fungsi paniki adalah tabur biji-bijian dalam merawat hijaunya jagat hutan. Begitu juga sebaliknya, paniki menjadi sumber phatogen mematikan bagi umat manusia. Sama halnya dengan kata yang diukir oleh Kelompok Kata.
Adalah rumah manusia tumbuh berkembang, rumah pengetahuan, rumah peradaban. Demikian fungsi positif kata yang dipahat Kelompok Kata. Sebaliknya, pahatan kata itupun kerap dianggap phatogen oleh para bandit, jagoan, raja lokal, oligarki, hipokrit. Mereka (hipokrit) merasa labirin istananya terancam runtuh oleh kekuatan kata yang diproduksi oleh Kelompok Kata.
Bagi orang-orang yang gelap benak, selalu anggap kata adalah bualan semata. Tapi, di mata Yang Lain (bangsa Hellas), pandangan semacam itu adalah kegagalan paling gagal oleh anak zaman. Berbeda dengan Kelompok Kata, di ruang bangunan tua itu, mereka duduk tak kenal waktu, mereproduksi kata, sembari menyeruput kopi dengan kencang agar mempengaruhi rasa kopi yang dinikmatinya, lalu menarik rokok dan melepaskan kepulan asapnya di udara. Suasana hening, sunyi, tapi, kata-kata yang mereka tabur serasa terbawa angin menyusuri semesta dunia, mendobrak istana oligarki dan mengulitinya.
Berpasang-pasang mata yang diam-diam intens memperhatikan Kelompok Kata, mereka merasa ada hal cukup aneh, tapi, sungguh unik dan menakjubkan. Suatu hal yang dibenak banyak orang dianggap negatif, buruk laku, tetapi, bagi mereka adalah suatu hal logis. Sebab, hal yang dianggap negatif justru menginspirasi dan mereka membubuhkannya pada pelukan akal sehat—mengakalsehatkan yang negatif.
Aktivitas yang dilakukan Kelompok Kata, rasanya menguliti alam pikir orang-orang dogmatik dan jarang kita temukan hal yang mereka lakukan pada kelompok lain. Suatu terobosan baru oleh generasi yang berupaya menyemai sebuah tradisi yang berasal dari bangsa Hellas. Bahwa setiap percakapan kata tak hanya melibatkan seruput kopi, tarikan asap tembakau, tapi juga, tegukan arak dan papyrus yang menjadi teman mesra kala drama kehidupan datang menggoda.
Tradisi Hellas ini coba disemai, karena ada kerinduan paling rindu tentang kata. Bukan kata retoris. Kata yang dipahat, diukir dan dinarasikan adalah dalam wujud budaya material. Di sana ada kisah-kisah heroik, ada drama, ada tragedy, ada memori kolektif bersarang pada kata—kata sebagai budaya literatur. Kata yang dipahat adalah rahim peradaban.
Dalam benak Kelompok Kata, rahim peradaban tentu akan bersarang kuat dan berkembang-biak bila kita bermesraan dengan seruput kopi, tegukan arak, sebatang rokok dan lembaran papyrus. Atau dengan lain perkataan, papyrus, rokok, kopi dan arak adalah teman terbaik kala realitas hidup hari-hari mulai redup. Meskipun tanpa kata, tetapi, empat elemen itu merupakan roh yang mendorong kemampuan kata dalam menembus labirin dan dapat meretas peradaban.
Jejaknya dapat ditelusuri di kafe-kafe yang menjadi pusat tumbuh-kembangnya peradaban Eropa. Revolusi perancis misalnya, percakapan tentang kata Revolusi lahir di ruang-ruang kafe berukuran kecil sederhana. Setiap kata yang diproduksi selalu melibatkan tembakau, kopi, arak dan papyrus.
Empat elemen itu hadirkan ribuan nyawa, spirit, roh pada kata Revolusi, yang dari ruang kafe kemudian menyebar dan menggemparkan dunia. Adalah makna kata yang diproduksi Kelompok Kata, tercatat sebagai tragedy, sejarah dan literatur dunia.
Meskipun Kelompok Kata ini tidak berbuat hal buruk, menyalahi norma sosial, yang ketika meneguk arak, kopi, rokok sembari meneguk kata di tengah sunyi, tetapi selalu dianggap buruk oleh orang pada umumnya. Adalah suatu tantangan teramat sangat berat bagi Kelompok Kata, karena sudah menjadi stereotipe. Oleh karena kota “Hantu” ini, fanatisme masyarakat terhadap arak sulit diterobos dan tak ada kompromi.
Namun, jika ditelisik lebih ke dalam—bahkan perangkat peraturan di kota “Hantu” inipun terlihat aneh. Arak hasil produksi orang-orang lokal dilarang dan sita oleh para “Hantu” berpakaian coklat. Sementara arak-arak hasil produksi pabrik raksasa bebas diperjual-belikan di mana-mana. Sungguh ironis.
Tradisi yang coba retaskan Kelompok Kata ini bisa saja sebagian orang akan menaruh benci, dan sebagian orang akan mencintai laku perbuatan mereka. Satu hal yang pasti adalah, kebenaran paling benar ada di luar kehendak manusia dan asalkan kita tidak melukai personality manusia. Erick Fromm menulis, agar cinta itu tumbuh, seseorang harus aktif bertindak, harus menunjukkan cintanya.
Dan yang dilakukan oleh Kelompok Kata adalah wujud nyata dari tindakan menumbuhkan rasa cinta. Rasa cinta terhadap kata yang fungsinya menguliti “Hantu” raksasa yang sedang tidur setelah memakan besi, pasir, batu, semen, dan isi hutan. Perilaku “Hantu” raksasa itu yang coba dibaca oleh Kelompok Kata melalui kata. Seperti ditulis Paulo Friere, membaca kata membaca dunia. Jadi gunakanlah kata yang berakar kuat pada akal sehat, pemikiran, ide, gagasan, karena dari sanalah peradaban tumbuh dan berkembang.
Sehingga bagi Kelompok Kata, suatu penilaian yang bersumber dari mata dan lidah bisa saja akan menjadi sebilah pisau. Prinsipnya adalah, apapun penilaian orang pada umumnya, mereka tidak akan mengubah wajah yang telah dibentuknya. Baik atau buruknya penilaian orang, bagi Kelompok Kata sama-sama menguntungkan. William Shakespeare berkata, jika kau mencintainya, mereka akan selalu ada di hatimu, dan jika kau membencinya, mereka akan selalu ada di pikiranmu.
Laku perbuatan Kelompok Kata ini merupakan langkah berani dalam mengakalsehatkan stigma buruk. Bahwa suatu hal yang dianggap buruk tidak selamanya akan buruk. Ada sisi baiknya yang secara fungsional bermanfaat dan tidak terpikirkan oleh akal sehat kita. Rumah “hantu” itu, adalah saksi bisu di mana papyrus, kopi, arak dan rokok menemani Kelompok Kata dalam menciptakan kata.
Di bawa lampu remang-remang, di ruang serba lapuk itu, mereka menyebut, kata disebut pikiran bila dapat melawan arus, gelombang, badai dan dapat dikonstruk menjadi artefak. Jadi meskipun tidak didengar, dimaknai, akan tetapi, teruslah berKATA, hingga alam pun merasa takluk dihadapan kata.
—-
*Penulis merupakan Owner Komune Kafe di Ternate.