Oleh: Dwilma Magistra Padoma
KESEHATAN mental telah menjadi isu yang makin mendapat perhatian global seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesejahteraan psikologis. Dalam hal ini, remaja merupakan kelompok usia yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan mental karena berada dalam fase perkembangan yang kompleks. Perubahan biologis, psikologis, dan sosial yang terjadi secara bersamaan seringkali menimbulkan tekanan yang sulit diatasi.
Situasi ini diperparah oleh ekspektasi akademik, konflik keluarga, permasalahan pertemanan, serta pengaruh media sosial. Akumulasi tekanan tersebut dapat berdampak negatif pada stabilitas emosional remaja (Rahmawaty, F. et al. 2022). Salah satu manifestasi dari gangguan psikologis yang sering ditemukan pada remaja adalah perilaku menyakiti diri sendiri atau self-harm.
Self-harm didefinisikan sebagai tindakan menyakiti tubuh sendiri secara sengaja, tanpa niat untuk bunuh diri, sebagai cara untuk mengatasi tekanan emosional. Perilaku ini mencakup tindakan seperti menyayat kulit, membakar diri, memukul diri sendiri, atau bentuk-bentuk lain yang merusak fisik. Meskipun secara medis bukan bentuk percobaan bunuh diri, self-harm seringkali berhubungan erat dengan perasaan putus asa dan keinginan untuk meredakan penderitaan batin (Tarigan, T., & Apsari, N. C. 2021).
Banyak remaja melakukannya secara diam-diam dan menganggapnya sebagai pelampiasan atas tekanan yang tidak mampu mereka ungkapkan secara verbal. Tingginya angka kejadian self-harm di kalangan remaja menunjukkan bahwa perilaku ini bukan sekadar tren atau bentuk ekspresi diri yang keliru. Sebaliknya, self-harm merupakan indikator krisis psikologis yang menuntut intervensi yang cepat dan tepat (Yubastian, G. A., & Ariana, A. D. 2023).
Penelitian Aprilia dan rekan-rekan (2024) menunjukkan bahwa self-harm dipengaruhi oleh kombinasi faktor psikologis, sosial, dan lingkungan. Depresi, kecemasan, trauma masa kecil, serta kurangnya dukungan sosial sering menjadi pemicu utama perilaku menyakiti diri sendiri. Selain itu, budaya diam dalam keluarga, kurangnya edukasi mengenai kesehatan mental, dan stigma terhadap penderita gangguan jiwa turut memperparah kondisi.
Dalam era digital, akses terhadap konten yang menormalisasi self-harm di media sosial juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Ketika remaja tidak memiliki saluran yang sehat untuk mengekspresikan emosi, mereka cenderung mencari pelarian yang justru membahayakan diri sendiri. Hal ini menandakan pentingnya penguatan sistem pendukung psikologis bagi remaja, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Intervensi dini yang berbasis pendekatan empatik dan edukatif menjadi langkah krusial untuk mencegah eskalasi masalah.
Di Indonesia, fenomena self-harm pada remaja belum mendapat perhatian yang memadai baik dalam kebijakan kesehatan maupun pendidikan.
Masih minimnya data nasional yang komprehensif tentang kasus self-harm menunjukkan rendahnya kesadaran terhadap urgensi isu ini. Padahal, keberadaan perilaku ini di tengah masyarakat merupakan cerminan dari kesenjangan sistemik dalam penanganan kesehatan mental remaja (Karimah, K. 2021).
Oleh karena itu, penelitian dan kajian mendalam mengenai self-harm menjadi kebutuhan mendesak untuk membuka ruang dialog yang lebih terbuka dan ilmiah. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji perilaku self-harm pada remaja dengan menyoroti faktor penyebab, dampak psikologis, serta pentingnya intervensi preventif. Dengan pemahaman yang lebih utuh, diharapkan masyarakat dapat lebih tanggap dan mendukung terciptanya lingkungan yang sehat secara emosional bagi generasi muda.
PEMBAHASAN
Perilaku self-harm pada remaja merupakan manifestasi dari ketidakmampuan dalam mengelola tekanan emosional secara adaptif. Masa remaja ditandai oleh proses transisi psikososial yang kompleks, di mana individu mulai mengalami pergolakan identitas, pencarian jati diri, dan dinamika relasi sosial yang semakin luas.
Dalam kondisi tekanan akademik, konflik keluarga, dan ekspektasi lingkungan yang tinggi, remaja kerap kali merasa kewalahan secara emosional. Ketika tidak tersedia saluran komunikasi yang sehat dan dukungan yang memadai, sebagian remaja akhirnya mencari pelarian dalam bentuk perilaku menyakiti diri. Tindakan tersebut, meskipun menyakitkan secara fisik, justru memberikan rasa “lega” sementara karena berfungsi sebagai cara menyalurkan rasa frustrasi dan luka batin (Rahayu, A. L. P., & Ariana, A. D. 2023).
Fenomena ini menunjukkan bahwa self-harm bukan tindakan irasional semata, melainkan bentuk komunikasi non-verbal dari penderitaan psikologis yang tersembunyi.
Salah satu pendekatan teoritis yang dapat menjelaskan self-harm adalah Cognitive Behavioral Theory (CBT) atau Teori Perilaku Kognitif. Menurut teori ini, perilaku destruktif muncul akibat pola pikir negatif yang menetap dan tidak realistis, yang kemudian memengaruhi emosi serta tindakan individu (Rizky, M., & Karneli, Y. 2022).
Pada remaja yang mengalami self-harm, pikiran otomatis seperti “saya tidak berguna,” “saya pantas disakiti,” atau “tidak ada yang peduli pada saya” menjadi pemicu utama tindakan menyakiti diri. CBT berusaha mengidentifikasi dan mengganti pikiran-pikiran disfungsional ini dengan pola pikir yang lebih rasional dan sehat, sehingga dapat memperbaiki respons emosional dan perilaku (Mustofa, M. R. 2022). Pendekatan ini terbukti efektif dalam terapi remaja dengan kecenderungan self-harm karena fokus pada perubahan persepsi dan cara menghadapi stres. Terapi CBT tidak hanya menyasar perilaku, tetapi juga memperkuat keterampilan mengelola emosi dan menyelesaikan masalah.
Selain aspek psikologis internal, faktor sosial-eksternal turut memperbesar risiko self-harm di kalangan remaja. Lingkungan sosial seperti pertemanan, tekanan kelompok sebaya, dan dinamika media sosial sangat memengaruhi cara remaja memaknai dirinya. Paparan konten digital yang menampilkan self-harm atau mengglorifikasi penderitaan emosional dapat memberi validasi negatif terhadap perilaku menyakiti diri. Dalam situasi tersebut, remaja cenderung merasa “dimengerti” oleh komunitas maya yang mengalami hal serupa, sehingga mendorong mereka mengulang perilaku tersebut sebagai bentuk keterikatan emosional. Di sisi lain, rendahnya literasi digital dan ketidakhadiran orang tua dalam mendampingi aktivitas online anak membuat deteksi dini menjadi semakin sulit. Akibatnya, banyak remaja terjebak dalam spiral emosional tanpa dukungan nyata dari lingkungan sekitar (Insani, S. M., & Savira, S. I. 2023).
Institusi pendidikan memiliki peran strategis dalam menanggulangi masalah self-harm pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang tidak hanya menuntut capaian akademik, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan emosional siswa. Guru, konselor, dan tenaga pendidik perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk mengenali gejala awal distress psikologis dan perilaku menyakiti diri. Pelibatan sekolah dalam pendidikan kesehatan mental melalui kurikulum, seminar, dan program konseling rutin dapat membantu membangun ketangguhan emosional siswa. Intervensi yang dilakukan di lingkungan sekolah juga cenderung lebih efektif karena menjangkau remaja dalam keseharian mereka (Kalangi, P. et al. 2024). Selain itu, kolaborasi antara sekolah dan orang tua perlu diperkuat agar dukungan terhadap siswa berlangsung secara sinergis, baik di dalam maupun di luar rumah.
Penanganan perilaku self-harm membutuhkan pendekatan multidimensi yang melibatkan keluarga, sekolah, komunitas, serta dukungan kebijakan dari negara. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan layanan kesehatan mental yang mudah diakses, murah, dan bebas stigma, khususnya bagi remaja. Selain itu, penting diadakan kampanye nasional yang menyuarakan pentingnya menjaga kesehatan psikologis sebagai bagian dari kesejahteraan individu. Media massa juga harus dilibatkan untuk menyampaikan narasi yang empatik dan edukatif mengenai self-harm, alih-alih menampilkan berita sensasional yang menambah beban psikologis penyintas. Peran komunitas, baik agama maupun organisasi sosial, juga penting dalam membentuk lingkungan yang inklusif dan suportif terhadap remaja dengan masalah psikologis. Ketika seluruh elemen masyarakat berperan aktif, upaya pencegahan dan pemulihan dapat berjalan lebih terstruktur dan menyeluruh (Melasti, K. Y. et al. 2022). Dengan demikian, penanggulangan self-harm bukan sekadar wacana teoritis, melainkan tindakan kolektif yang nyata untuk menyelamatkan generasi muda.
KESIMPULAN
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa perilaku self-harm pada remaja merupakan gejala kompleks yang dipicu oleh ketidakmampuan individu dalam menghadapi tekanan emosional, kurangnya dukungan sosial, serta pengaruh lingkungan digital yang semakin tidak terkontrol. Dalam menghadapi kondisi ini, pendekatan psikologis seperti Cognitive Behavioral Theory (CBT) terbukti relevan karena mampu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif yang melandasi tindakan menyakiti diri. Selain itu, peran lingkungan sosial seperti keluarga, teman sebaya, dan media memiliki kontribusi besar baik sebagai pemicu maupun sebagai sumber pemulihan, tergantung pada cara mereka merespons kondisi mental remaja. Sekolah juga memiliki tanggung jawab signifikan dalam mendeteksi dan mencegah perilaku ini melalui edukasi kesehatan mental, konseling, serta dukungan emosional yang berkelanjutan. Penanganan self-harm tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan harus melibatkan berbagai pihak secara kolaboratif dan sistematis. Pemerintah, media, dan masyarakat perlu bekerja sama menciptakan ruang aman yang bebas stigma bagi remaja untuk berbicara dan mencari pertolongan. Dengan demikian, upaya pencegahan dan penanganan self-harm dapat berjalan efektif demi menjaga kesehatan mental generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, A., Wibawa, A., & Suharti, B. (2024). Komunikasi Intrapersonal (Self-Talk) Dalam Meningkatkan Kesadaran Dampak Buruk Self-Harm Pada Remaja Brokenhome. Jurnal Communio : Jurnal Jurusan Ilmu Komunikasi, 13(1), 29-43. https://doi.org/10.35508/jikom.v13i1.9284
Insani, S. M., & Savira, S. I. (2023). Studi Kasus: Faktor Penyebab Perilaku Self-Harm pada Remaja Perempuan. Character Jurnal Penelitian Psikologi, 10(2), 439-454. https://doi.org/10.26740/cjpp.v10i2.53861
Kalangi, P., Rempowatu, F., Tumewu, V., & Ilat, I. P. (2024). Self harming pada remaja. DIDASKALIA: Jurnal Pendidikan Agama Kristen, 5(1), 40-49.
Karimah, K. (2021). Kesepian dan kecenderungan perilaku menyakiti diri sendiri pada remaja dari keluarga tidak harmonis. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 9(2), 367-380. DOI: 10.30872/psikoborneo
Melasti, K. Y., Ramli, M., & Utami, N. W. (2022). Self-Injury pada Kalangan Remaja Sekolah Menengah Pertama dan Upaya Penanganan Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling. Jurnal Pembelajaran, Bimbingan, dan Pengelolaan Pendidikan, 2(7), 686-695. https://doi.org/10.17977/um065v2i72022p686-695
Mustofa, M. R. (2022). COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPHY. CONS-IEDU, 2(1), 16-22. Retrieved from https://jurnal.iuqibogor.ac.id/index.php/cons-iedu/article/view/372
Rahayu, A. L. P., & Ariana, A. D. (2023). Hubungan Dukungan Sosial Secara Daring Melalui Twitter Dengan Perilaku Nonsuicidal Self-Injury Pada Remaja. Jurnal Syntax Fusion, 3(05), 537-547. https://doi.org/10.54543/fusion.v3i05.312
Rahmawaty, F., Silalahi, R. P., & Mansyah, B. (2022). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental pada Remaja: Factors Affecting Mental Health in Adolesents. Jurnal Surya Medika (JSM), 8(3), 276-281. https://doi.org/10.33084/jsm.v8i3.4522
Rizky, M., & Karneli, Y. (2022). Efektifitas Pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk Mengatasi Depresi: Array. eductum: Jurnal Literasi Pendidikan, 1(2), 265-280. https://doi.org/10.56480/eductum.v1i2.748
Tarigan, T., & Apsari, N. C. (2021). Perilaku self-harm atau melukai diri sendiri yang dilakukan oleh remaja (Self-harm or self-injuring behavior by adolescents). Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 4(2), 213-224. https://doi.org/10.24198/focus.v4i2.31405
Yubastian, G. A., & Ariana, A. D. (2023). Digital Self-harm pada Remaja: Tinjauan Naratif. Proceeding Series Of Psychology, 1(2), 20-26. https://orcid.org/0000-0003-1889-9651
*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Unkhair Ternate.