News  

AJI Ternate Serukan Kebebasan Pers di Maluku Utara saat Peringati WPFD

Diskusi "Independensi Media dan Demokrasi" saat berlangsung di kedai Sabeba. Foto: AJI Ternate

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate memperingati hari kebebasan pers sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD) 2023 dengan menggelar diskusi “Independensi Media dan Demokrasi” di kedai Sabeba, Kelurahan Takoma, Ternate Tengah.

Diskusi yang berlangsung pada Senin, 8 Mei 2023, itu menghadirkan tiga pembicara, di antaranya Anggota Komisi Informasi (KI) Maluku Utara Awat Halim, Sosiolog UMMU Ternate Herman Oesman, dan Praktisi Media Maluku Utara Asgar Saleh.

Ketua AJI Ternate, Ikram Salim, saat membuka diskusi tersebut mengatakan, peringatan hari kebebasan pers sedunia di Indonesia bersamaan  dengan momen 25 tahun Reformasi. Termasuk dua tahun setelahnya lahir dua UU sebagai pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, yakni UU Hak Asasi Manusia dan UU Pers. 

“Namun, setelah mencapai Reformasi dan perjalanan seperempat abad, kita justru menyaksikan demokrasi berjalan mundur,” kata Ikram. 

Di Malut, sambung ia, angka kekerasan pers sejalan dengan indeks kebebasan pers (IKP) hasil survei Dewan Pers yang menempatkan Malut masuk dalam tiga daerah IKP terendah. 

“Kasus kekerasan pers yang AJI laporkan juga tidak diselesaikan aparat penegak hukum, padahal setiap tahun selalu terjadi kekerasan terhadap jurnalis,” keluh Ikram.

Sementara, Anggota Komisi Informasi Maluku Utara, Awat Halim mengatakan, saat ini pertumbuhan media daring di Maluku Utara sangat masif, dan tak sedikit yang mengabaikan standar jurnalistik yang diatur dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999. 

Buktinya, kata ia, media masih terjebak pada berita pesanan atau berita yang tidak lagi sesuai dengan fakta yang berhubungan dengan banyak orang. 

“Kita saat ini lupa bahwa membuat berita yang berdasarkan kepentingan publik, bahkan lebih cenderung pada kepentingan lain,” katanya. 

Bagi ia, media yang berperan sebagai pilar demokrasi saat ini belum benar-benar mendapat kebebasan pers, sebab kekerasan dan kebebasan pers masih rendah. Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) di Maluku Utara yang sangat menurun juga menjadi salah satu nilai ukur. 

Baca Juga:  Kejari Halbar Tahan Mantan Kepala UPTD Dikbud Usai Ditetapkan Sebagai Tersangka

Pada tahun 2021, IKIP Maluku Utara berada pada posisi 32 dengan nilai 43,19 poin dari 34 Provinsi di Indonesia. Sementara pada tahun 2022, indeks keterbukaan informasi publik di Maluku Utara berada pada kategori tidak informatif. 

“Ini artinya keterbukaan informasi publik di Maluku Utara masih buruk,” tambahnya. 

Begitu pula dengan upaya dalam mengakses informasi publik di lingkungan Pemerintah Maluku Utara masih sangat sulit. 

“Terbukti, dari 48 instansi pemerintah, hanya terdapat 16 instansi yang memiliki website. Dan dari 16 instansi tersebut, hanya 6 instansi yang aktif,” ungkapnya. 

Rendahnya tingkat keterbukaan informasi, itu kata ia, disebabkan oleh standar pelayanan keterbukaan informasi publik sampai saat ini belum ditetapkan oleh pemerintah, misalnya informasi apa saja yang dapat diakses oleh publik. 

“Ini yang tidak dilakukan oleh pemerintah, padahal di dalam Undangan-Undang nomor 14 tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik, memiliki tujuan agar masyarakat ikut berpartisipasi dan mengawasi pengambilan kebijakan,” sesalnya. 

Sosiolog Maluku Utara, Herman Oesman mengatakan, tantangan seorang pekerjaan media saat ini adalah menghadapi persaingan yang sangat besar dengan media sosial dalam memberikan informasi kepada publik. Apalagi, pers telah diperhadapkan dengan banjir informasi menjelang Pemilu 2024 mendatang. 

“Fakta menunjukkan masyarakat terlebih dulu mendapatkan informasi melalui media sosial, sehingga yang dikhawatirkan adalah media sosial mengambil alih peran media massa,” katanya. 

Menurutnya, media dan ruang publik harus berjalan beriringan, karena menghasilkan dua fungsi, yaitu mengantar informasi tentang publik dan membentuk arah pikiran publik. Olehnya itu, seorang jurnalis harus mampu memberikan informasi atau berita yang lebih akurasi dan mendalam serta mengandung pencerdasan publik.

“Media harus mampu membongkar setiap kebijakan yang dirahasiakan oleh penguasa. Media tidak hanya memberikan informasi, tetapi mampu menjadi investigator dan penyaksi atas kejadian yang terjadi di masyarakat. Media harus menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam rangka menghasilkan berita secara bersama,” jelasnya.

Baca Juga:  Cegah Kecurangan, Pendukung MK-BISA Diingatkan Kawal Suara di TPS

Praktisi Media Maluku Utara, Asgar Saleh menyebut problem independensi media bukan datang dari dari luar media, tetapi dalam media itu sendiri. Pekerjaan media saat ini bukan lagi berada pada kebenaran. Namun pada kepentingan sepihak. Hal itu disebabkan adanya polarisasi yang dilakukan oleh kekuasaan terhadap media. 

“Paling tidak kalau kita berbicara pada independensi yang paling berat adalah bermain pada wilayah periklanan. Kita berbicara independensi, tetapi ada kuota iklan yang harus disetor ke kas perusahaan media,” bebernya. 

Ia mengaku optimis dalam keberlangsungan media di tengah gempuran media sosial. Hanya saja, kata ia, media mainstream terjebak pada menginformasikan sesuatu, dan bukan pada kewajiban dalam memberitakan. Misalnya, isu yang diangkat hanya diberitakan sekali, padahal ada aspek keberlanjutan yang harus dijawab dan diselesaikan oleh media, tapi tidak diselesaikan.

“Terkadang kita menulis berita, berhenti sesaat, kemudian beberapa bulan lagi baru kita lanjutkan. Jadi ada kebingungan dalam membuat berita. Apakah karena cover both side atau minimnya SDM, sehingga pada kondisi tertentu masyarakat lebih mempercayai media sosial dibandingkan media massa,” tutupnya.


Penulis: tim cermat

Editor: Ghalim Umabaihi