Tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa Muhaimin Syarif, seorang pengusaha di Maluku Utara, mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Ternate.
Eksepsi itu diajukan Tim PH Terdakwa yang diketuai Febri Diansyah, yang merupakan mantan Juru Bicara KPK dan anggotanya, Mustakim La Dee, Anggi Alwik Juli Sitegar, Darmawan Subakti, Mohri Umaaya, Nur Afiat Syamsul, Fathoroni Diansyah Edi, dan Vikry Mulyandi.
Dalam eksepsi yang telah diuraikan, PH menyimpulkan, pertama, penetapan Muhaimin Syarif sebagai tersangka dan terdakwa tidak sah dan melanggar KUHAP dan Undang-undang KPK karena proses hukum yang dilakukan terhadap Muhaimin Syarif dimulai dari Penyidikan tanpa adanya proses Penyelidikan terlebih dahulu. Sebab, proses penyidikan dari hasil pengembangan penyidikan haruslah pelaku yang melakukan perbuatan deelneming (penyertaan) dengan tersangka sebelumnya.
Kedua, pada dakwaan yang dibacakan oleh Penuntut Umum pada tanggal 15 Mei 2024, Tuntutan dan Putusan dengan terdakwa Abdul Gani Kasuba (AGK) tidak terdapat nama terdakwa Muhaimin Syarif sebagai pihak pemberi kepada Abdul Gani Kasuba. Padahal, suap adalah delik berpasangan dan penyidikan terhadap terdakwa dilakukan berdasarkan pengembangan hasil penyidikan AGK sebagaimana Laporan Pengembangan Penyidikan Nomor LPP/12/DIK.02.01.01/23/04/2024 tertanggal 03 April 2024.
Sehingga surat dakwaan Penuntut Umum tidak jelas, tidak cermat, dan tidak lengkap (obscuur libel), serta terkesan adanya keraguan dalam penyusunan surat dakwaan oleh Penuntut Umum.
Ketiga, Penuntut Umum menafsirkan pasal suap secara berlebihan, sehingga terkesan hendak mengkriminalisasi perbuatan yang berada di ranah sosial keagamaan, seperti sumbangan yang diberikan terdakwa untuk pembangunan pesantren atau madrasah, perguruan tinggi agama dan pemberian dalam hubungan kekerabatan, tanpa dasar bukti yang kokoh.
Keempat, Penuntut Umum mencampur-adukan kapasitas AGK sebagai Gubernur atau penyelenggara negara dengan kapasitas AGK sebagai Ulama, Guru Tua dan pihak yang dituakan dalam keluarga, sehingga penuntut umum seperti menerapkan jurus “sapu-jagat” seolah semua pemberian pada AGK adalah Suap. Untuk itu, berdasarkan uraian di atas, maka dakwaan Penuntut Umum haruslah dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
Selaku PH, Febri bersama rekannya memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, berkenan untuk menjatuhkan putusan sela yang sekaligus sebagai putusan akhir.
“Menerima dan mengabulkan Eksepsi penasihat Hukum Terdakwa Muhaimin Syarif. Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, serta kabur, oleh karenanya dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum,” tegas PH.
PH juga memerintahkan Terdakwa Muhaimin Syarif dibebaskan dari tahanan seketika setelah Putusan ini diucapkan dan membebankan biaya perkara kepada Negara dan Mohon putusan yang seadil-adilnya (et aequo et bono).