Hadopo, Pulau Kenari Merawat Tradisi

Hadopo, tamu undangan menyematkan uang ke pakaian pengantin. Foto: Koleksi penulis

Oleh: Handi Andrian

Sepasang pengantin berjalan pelan di tengah jalan desa yang bersih dan rapi. Mereka diiringi keluarga mempelai perempuan dan akan menuju keluarga mempelai laki-laki. Di bawah langit nan teduh, sesekali hujan gerimis tipis seakan turut memberi selamat atas sepasang manusia yang baru menjadi keluarga. Setiba sekitar 50 meter dari rumah pengantin laki-laki, menuju tenda resepsi, rombongan kecil ini berhenti.

Pengantin dan rombongan hanya diam di tengah jalan. Padahal jarak menuju tenda hanya hitungan menit. Meski gerimis kecil terkadang membasahi, di bawah payung yang berhiaskan uang pecahan seratus ribu rupiah, rombongan tetap bergeming.

“Mereka tidak akan melangkah jika keluarga laki-laki dan para tamu undangan tidak memberikan mereka uang. Semakin banyak yang memberikan uang, semakin cepat pula langkahnya, begitu pula sebaliknya. Meskipun jaraknya dekat, tapi bisa sampai berjam-jam,” ungkap Gufron, masyarakat asli Desa Suma di Pulau Makian, Halmahera Selatan, Maluku Utara saat rangkaian upacara pernikahan berlangsung pada Sabtu, 23 Agustus 2025 lalu.

Jam menunjukkan pukul 11 siang waktu Indonesia bagian Timur. Secara perlahan, sedikit demi sedikit, keluarga mempelai laki-laki datang menuju pengantin. Ibu-ibu, bapak-bapak, tua dan muda, menghampiri dengan membawa uang yang umumnya pecahan seratus ribu rupiah. Hanya sedikit uang pecahan lainnya terlihat. Uang tersebut disematkan ke pakaian sepasang pengantin dengan menggunakan peniti.

Langkah demi langkah dilewati, namun tetap saja terkadang berhenti. Langkah serasa sangat berat dan rumit. Keluarga pengantin laki-laki, dengan menggunakan pengeras suara, meminta agar keluarga perempuan untuk cepat melangkah, karena langit terlihat akan hujan. Ditambah jam sudah menunjukkan waktu akan memasuki Zuhur. Keluarga perempuan tetap tidak terpancing. Akhirnya, pengantin memasuki tenda resepsi setelah berjalan pelan lebih dari satu jam, meski jarak sangatlah dekat. Pengantin memasuki tenda dengan tubuh berselimut uang.

Baca Juga:  Kota Tua dan Jejak Toleransi di Ternate

Seluruh kegiatan ini disebut Hadopo oleh masyarakat Desa Suma. Hadopo merupakan bagian dari rangkaian pesta perkawinan di desa tersebut. Hadopo, menurut masyarakat bukan tentang banyaknya uang, namun lebih kepada keikhlasan dalam mendoakan dan membantu pengantin dalam menjalani kehidupan ke depan.

“Ini adalah doa dan keikhlasan. Semoga pengantin selalu diberikan rezeki yang berlimpah. Membantu pengantin untuk memulai hidup baru. Saling dukung atau gotong royong sesama masyarakat desa. Dari Hadopo ini, pengantin bisa mendapatkan puluhan juta, rata-rata antara 30-60 jutaan rupiah,” jelas Usman dengan semangatnya membanggakan adat kampung mereka yang unik.

Hadopo tidak selesai sampai di situ. Setelah didoakan dan naik pelaminan, pengantin yang sudah dipenuhi dengan uang di seluruh badan, tetap masih menerima berkah uang. Keluarga perempuan, yang kesemuanya perempuan, datang sembari diiringi musik, memasuki tenda dengan menenteng tali plastik panjang dengan hiasan uang pecahan seratus ribu rupiah. Tali dengan hiasan uang kemudian digulungkan ke pengantin.

Tidak mau kalah dengan keluarga perempuan, keluarga laki-laki pun melakukan hal yang sama. Perempuan-perempuan dari keluarga laki-laki, keluar dari rumah pengantin laki-laki menuju tenda dengan menenteng tali panjang berhiaskan uang seratus ribu rupiah. Sembari menari-nari bebas dan diiringi musik, hal yang sama dilakukan. Tali berhiaskan uang mengelilingi tubuh pengantin.

Hadopo, menjadi salah satu tradisi yang terus dijaga di Suma. Suma merupakan desa penghasil kenari di Pulau Makeang (sebutan masyarakat terhadap Pulau Makian). Pohon kenari terlihat memenuhi daratan desa. Selain Hadopo, tradisi yang sangat luar biasa dan masih terjaga adalah, setiap warga bebas memungut kenari dimanapun. Semua kenari yang sudah jatuh dari pohon menjadi milik umum, meskipun pohon kenari ada pemiliknya dan berada di kebun, bukan hutan.

Baca Juga:  Nikmatnya Kopi Nyiru di Taman Moya

“Ini memberikan kepada semua orang di Desa Suma untuk mendapatkan rejeki, meski tidak memiliki kebun. Bisa dikatakan, di Suma, masyarakat tidak mungkin miskin asalkan mau bekerja. Mereka bebas memungut kenari yang jatuh, namun tidak boleh memetik. Memetik kenari hanya boleh bagi pemilik kebun atau pemilik pohon. Yang bebas hanya yang jatuh secara alami. Dan ini hanya berlaku bagi pohon—buah kenari. Untuk rempah lainnya, seperti pala dan cengkeh ataupun kelapa, sistem ini tidak berlaku. (Karir) Saya ini termasuk dari hasil kenari,” ungkap Anshari yang hampir menyelesaikan studi magisternya di Pulau Jawa.

Pagi itu, segala aktivitas warga ke kebun dan laut berhenti, Semua kehidupan seakan turut meramaikan pesta perkawinan di desa itu. Tak satupun warga yang tidak hadir.

Usai makan siang, segala aktivitas resepsi pernikahan berhenti. Sebagian warga perlahan kembali ke masing-masing tungku mereka. Malamnya, acara pernikahan itu berlanjut hingga turun pagi dan hari berganti.

Menyaksikan itu, seakan, saya baru sebentar mengunjungi pulau ini, dan ingin kembali sebagai pulang—menjadi bagian dari kearifan yang Makeang sajikan itu. Tunggulah.