Hukum Tanah di Rimba Halmahera

Rimba Halmahera. Foto: Faris Bobero/cermat

Oleh: Rusli Jalil*

Penanda wilayah atau teritori orang Halmahera: sigoto, tolagumi, dan ruba banga, makin tergusur.

Keriput di wajah Habel Tukang, dan uban bagai mahkota di kepalanya, tak mengurangi semangat lelaki Modole. Baju berbahan kaus lengan pendek berwarna hijau daun, dan celana sebatas lutut bersih, dipakainya ketika menerima saya di rumahnya.

Rumahnya sangat sederhana. Dinding beton kasar, lantai tanah, dan atap seng, tak mengurangi keramahan lelaki berumur enam puluh tahun itu melayani saya.Siang itu Selasa, 15 Agustus 2017, saya berbincang dengan tokoh adat paling berpengaruh, yang berposisi Sangaji Modole di rumahnya, di desa Leleseng, Kao Barat, Halmahera Utara.

Jabatan Sangaji adalah jabatan yang sangat bergengsi di dalam struktur lembaga adat. Pada era kesultanan dulu, mereka adalah penguasa wilayah dengan beberapa kedaulatan besar. Saat ini posisi mereka masih sangat dihormati di komunitasnya. Ketika perbincangan masuk ke masalah adat, dia sangat hati-hati menjawab pertanyaan. Melihat semangat saya bertanya, dia balik bertanya, “Anak asal dari mana?”.

Saya menyebut asal daerah saya, Gamkonora, dan, dengan sikap tegas dan hormat lelaki tua itu berdiri dan menjabat tangan saya. “Kami berasal dari tempat kalian. Kita ini dulu serumpun. Saya mengejarnya dengan pertanyaan, “Apakah kita dari Jailolo?” Sambil terdiam dia mengangguk. Rupanya identitas awal mereka tabu diceritakan.

Banyak hal yang kami obrolkan. Tetapi ada beberapa bagian dari kisah komunitas tua di pedalaman Kao itu yang tak mau dia ceritakan. Hanya tentang status tanah, apakah milik pribadi atau komunal, apakah itu masuk kategori privat atau public, lantas apakah satu daerah masuk sebagai teritori kekuasaan atau hanya milik perseorangan, dia ceritakan kendati tak semuanya.

Baca Juga:  RILIS: Hari Internasional Mengakhiri Impunitas Kejahatan Terhadap Jurnalis

Sejarah asal muasal Modole sendiri sangatlah minim. Sebabnya, kata Habel, karena banyak kisah yang tak boleh diceritakan sembarangan. Karena tradisi ini, akhirnya banyak riwayat mereka tenggelam bersama dengan meninggalnya nenek moyang mereka. “Boboso, bisa-bisa tong dapa dia pe katula [ Pamali, bisa-bisa kami dapat kualat]” ujarnya.

Lelaki tua ini, sambil sesekali menarik asap rokok kretek, bercerita; karena kolonialisme maka nenek moyang mereka tersudut hingga ke Telaga Lina, sebelum keluar dan mendiami desa-desa di pedalaman Kao, seperti sekarang ini. Mereka kemudian diikat oleh tali persaudaraan dengan tiga suku lain; Kao, Boenge, Pagu. Persaudaraan yang hingga kini tetap terjaga.

Ketika keluar dari pedalaman itulah, wilayah yuridiksi mereka ditandai oleh nenek moyang Modole saat itu. Penanda alam seperti gunung, sungai, batu besar, dan tanjung, sangat sering dipakai sebagai batas teritori. Ini kebiasaan umum pada suku-suku di Halmahera.

Pada masa awal, nenek moyang menandai wilayah berburu dan wilayah kekuasaannya dengan golok atau bagian ujung tombak. Penanda ini sah dan dihormati oleh komunitas lain, karena mereka juga punya model yang sama. Siapa yang lebih dahulu menandai, yang kemudian datang akan menghormati dan memilih untuk keluar dari territory yang sudah ditandai.

Proses menandai ini diistiahkan dengan sigoto. Sebuah klaim yang saat itu legal dan diberi pengesahan oleh komunitas yang datang kemudian. Klan itu berburu, dan beraktivitas di area yang menjadi teritory mereka. Awalnya ini hal biasa. Karena anggota komunitas kemudian bercocok tanam dalam area yang sudah ditandai. Seseorang yang melakukan apa yang diistilahkan dengan Tola Gumi atau membuka lahan, secara simbolik adalah penanda awal status kepemilikan privat di area tersebut. Setelah ada proses Tola Gumi, lalu masuk fase berikut, Ruba Banga, dengan melibatkan warga setempat untuk babari [seperti gotong royong], mereka membersihkan lahan lalu menanaminya dengan tanaman jenis apa saja. Sejak itu, status kepemilikannya diakui oleh komunitas.

Baca Juga:  RS Prima Ternate

Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria, dan dulu ada land reform, tak pelak melahirkan kejutan baru bagi komunitas ini. Sejarah mereka yang sengaja dihilangkan sejak ratusan tahun silam, serta tradisi yang makin tercerabut dari akarnya, menimbulkan efek yang lumayan kuat. Kisah tentang mereka hanya bisa kita bayangkan sambil membaca Ikan-Ikan Hiu Idohoma YB Mangunwijaya, tentang tragedi di Teluk Kao, serta Aimuna dan Sibori, novel berlatar pembantaian pohon cengkeh dan pala (extirpatie), yang ditulis Hanna Rambe.

Padahal, Joel S Kahn, mengutip Herder, menyebutkan, bangsa dan tradisi merupakan keseluruhan yang hidup yang eksis dalam ikatan organic dan karenanya secara simultan para individu bersama  seluruh keunikannya harus diperhatikan.

Artinya, status mereka harus menjadi perhatian bersama. Sayangnya, merumuskan hak atas tanah hari ini seau merujuk ke UU. Artinya, “Hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mengambil manfaat atas tanah itu. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.” Dengan hadirnya negara dan UU-nya, posisi indigenous people macam Modole ini makin tersudut.

Mereka tak hanya tersudut oleh hukum negara. Sejak lama, koonialisme juga memangkas hak-hak mereka. Selain tentunya persinggungan dengan warga dari klan lainnya. Hikayat turunnya sub etnik Modole dari Talaga (danau) Lina ke wilayah Kao Barat, dan persinggungan budaya dengan kelompok lainnya, kemudian menjadikan proses akulturasi berjalan selama ratusan tahun. Relasi antar mereka dan pedagang dari tempat atau pulau lain, menjadikan mereka mulai membuka diri. Tetapi, sistem pemertahanan suku yg lemah, menjadikan sub etnik ini lebih dibanding dengan sub etnik lain di wilayah Kao dan Tobelo.


*Almarhum Rusli Djalil, penulis adalah penasehat di jalamalut.com.
*Tulisan ini adalah arsip jalamalut diterbitkan pada  26 Oktober 2017.