Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai putusan vonis lima bulan delapan hari penjara terhadap 11 warga Maba Sangaji oleh hakim di PN Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, menjadi bukti kejahatan negara kepada pembela lingkungan.
JATAM menyebut vonis tersebut merupakan pertanda tergerusnya keadilan hukum sebab mereka yang dihukum bukanlah perusak lingkungan melainkan para penjaga hutan dan sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat.
“Fakta lapangan menunjukkan kriminalisasi terjadi karena warga menentang aktivitas pertambangan nikel oleh PT Position–perusahaan yang telah merambah hutan adat, mencemari aliran sungai hingga merengsak merusak lahan pertanian warga,” kata Melky Nahar, Koordinator JATAM dalam keterangannya, Jumat, 17 Oktober 2025.
Ia bilang, proses penegakan hukum terhadap para pejuang lingkungan ini termasuk pelanggaran prosedur. Berdasarkan temuan lapangan JATAM, kata Melky, penangkapan terhadap 27 warga dilakukan saat mereka sedang menggelar ritual adat sebagai bentuk protes atas perusakan hutan oleh PT Position.
Sebagian besar warga yang ditangkap diangkut menggunakan kendaraan milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)–menunjukkan tindakan yang menampilkan kolusi terang antara aparat kepolisian dan korporasi tambang. “Di sini, polisi bukan hanya gagal secara independen, namun telah berubah fungsinya seolah menjadi perpanjangan tangan perusahaan tambang,” cetusnya.
Dalam proses interogasi, warga mengalami intimidasi, pemaksaan tanda tangan tanpa pendamping hukum, dan bahkan kekerasan fisik. Kejahatan semacam ini jelas bukan penegakan hukum, melainkan pelanggaran HAM dan bentuk kriminalisasi ekologi atas rakyat yang menuntut keadilan.
Vonis hakim terhadap warga adat Maba Sangaji juga menampilkan pengingkaran terhadap peraturan perundang-undangan yang melindungi pembela lingkungan hidup.
Menurutnya, dalam hukum positif Indonesia, hak warga negara untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan diakui dan dilindungi secara eksplisit melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.22 Tahun 2018 tentang Perlindungan Pembela Lingkungan Hidup, serta Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Anti-SLAPP (Gugatan Strategis Terhadap Partisipasi Masyarakat).
“Tiga perangkat hukum ini seharusnya menjadi bantalan perlindungan bagi masyarakat yang membela lingkungan, bukan menghukum mereka. Dengan mengabaikan regulasi-regulasi tersebut, pengadilan dan jaksa telah menegaskan
bahwa hukum kini digunakan untuk membungkam partisipasi masyarakat dan mengukuhkan impunitas perusahaan,” katanya.
Sementara Koordinator JATAM Malut, Julfikar Sangaji menambahkan, vonis ini bukan hanya pukulan bagi warga Maba Sangaji, tapi juga peringatan bagi seluruh komunitas adat dan pembela lingkungan di Indonesia. Negara kini berperilaku seperti alat korporasi: hukum digunakan untuk melindungi penambang yang disebut “pembangunan” sambil menindas masyarakat adat yang menjaga bumi.
JATAM menegaskan, apa yang terjadi di Maba Sangaji bukanlah suatu anomali, melainkan gejala penyalahgunaan hukum secara sistemik untuk mengkriminalisasi perbedaan pendapat.
Oleh karena itu, merema menuntut:
1. Mahkamah Agung RI meninjau ulang vonis hakim PN Soasio dan memulihkan nama baik serta hak-hak 11 warga adat Maba Sangaji.
2. Kepolisian RI melakukan pemeriksaan internal terhadap aparat yang terlibat dalam penangkapan ilegal dan penggunaan fasilitas perusahaan tambang untuk operasi
penegakan hukum.
3. Kementerian Lingkungan Hidup segera menjalankan amanat PermenLHK No. P.22/2018 dan memastikan mekanisme perlindungan nyata bagi pembela lingkungan hidup.
4. Presiden Republik Indonesia harus turun tangan langsung untuk menghentikan praktik kriminalisasi pembela lingkungan, mencabut izin penambangan PT Position di Halmahera Timur, serta memastikan pemulihan lingkungan hidup dan sosial bagi masyarakat terdampak.
“Kasus Maba Sangaji adalah pengingat keras bahwa keadilan lingkungan tidak akan terwujud selama aparat negara dan kepatuhan hukum pada modal kepentingan. Negara yang membiarkan warganya dipenjara karena membela bumi sejatinya sedang merusak kehancuran moral dan demokrasi. Jika pemerintah tetap diam, maka vonis terhadap Maba Sangaji akan dicatat sebagai simbol betapa hukum di negeri ini tak lagi berdiri di sisi rakyat—melainkan di bawah kaki oligarki tambang,” tegas Julfikar.
