Maulid Nabi dan Tradisi Memukul Mengenakan Coka Iba di Kecamatan Patani

Ayub Sid

Oleh: Ayub Sid
(Anggota HMI Cabang Ternate)

Setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriah, di seluruh dunia yang berpenduduk mayoritas muslim melakukan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Perayaan tersebut bagi umat muslim adalah sebuah penghormatan dengan berbagai bentuk kegiatan budaya. Di Indonesia, perayaan Maulid Nabi diselenggarakan disurau-surau, masjid-masjid, majelis ta’lim dan di pondok-pondok pesantren dengan beragam cara yang meriah dengan sejumlah acara, seperti; khitanan masal, perlombaan, pengajian, dan ceramah. Begitupun masyarakat disetiap daerah memiliki berbagai budaya ritual tersendiri untuk merayakan kelahiran manusia agung tersebut. Namun masih saja ada yang belum menerima setiap perbedaan dalam perayaan yang ada.

Salah satu pengguna media sosial, jenis fecebook milik seorang berinisial “BL” yang bekerja di salah satu Perusahan Tambang di Maluku Utara. Komentarnya kurang baik bahkan cenderung memojokkan budaya orang lain. Berikut cuitan komentarnya yang di unggah pada 13 Oktober 2022. “Adat paling tarabae sudah. Maulid itu kita merayakan hari kelahiran nabi Muhammad saw, jadi harus bersholawat kepadanya dan memberi makan kepada para musafir atau orang pendatang bukan harus dipukuli” Komentarnya-pun banyak mendapat kritikan dan cacian dari sebagian masyarakat. Sebagai anak Negeri Fagogoru. Saya membaca berita ini tentu marah, jengkel bahkan emosi. Ternyata, tradisi memukul mengenakan coka iba masih menjadi asing bagi sebagian orang yang baru mengenalnya. Mungkin ia adalah sekian dari banyaknya yang ingin bertanya lebih jauh tentang coka iba, seperti; Mengapa harus memukul orang pada siang hari dengan mengenakan coka iba? Tujuan memukul untuk apa? Lantas kaitannya dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw seperti apa?

Di Maluku Utara Halmahera Tengah, tepatnya di Kecamatan Patani, masyarakat-nya memiliki tradisi unik yang di pentaskan setiap maulid Nabi Muhammad Saw, tradisi itu di sebut coka iba. Coka iba merupakan ritual dari tiga negeri bersaudara yaitu; Weda, Patani dan Maba yang lebih dikenal dengan sebutan Fagogoru. Menurut “Junaidi Ohorellah Pemerhati Budaya Patani. Awal mula coka iba dikenal dengan nama Ta Ipa (Bahasa Patani yang berarti Bukan Dia), Cogo Ipa oleh Weda (Bukan Dia) dan Ipa Ce oleh Maba (Bukan Dia), yang dibawah oleh salah satu ulama yang datang dinegeri Fagogoru untuk menyiarkan Agama Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad Saw. Jika para Wali Songo menggunakan wayang dalam men-syiarkan ajaran islam. Ulama yang datang di negeri Fagogoru (Weda, Patani dan Maba), menggunakan Ta Ipa sebagai media untuk menjelaskan kepada masyarakat, bahwa berhala-berhala itu (Bukan Dia) yang maha kuasa, melainkan Allah SWT adalah Tuhan seru sekalian alam. Setelah wilayah Fagogoru  diminta untuk bersama-sama Kesultanan Tidore dalam menumpas misi zionisme, dimasa Sultan Jamaluddin, kemudian disatukan nama tersebut menjadi Coka Iba (Topeng Setan) yang hingga saat ini dikenal masyarakat luas. Representasi coka iba ini lebih kepada pengenalan diri. Yakni dari empat jenis cokaiba diantaranya; yang pertama cokaiba Yay (kayu) berjumlah 7 orang, kedua cokaiba Gof (bambu) berjumlah 4  pasangan, ketiga cokaiba Iripala (pelepah pohon sagu) berjumlah 44 pasangan, dan cokaiba Nok (tanah) berjumlah 2 orang, yang merujuk pada 4 anasir (Api, Air, Angin dan Tanah), kesemuanya berjumlah 99 yang melambangkan Asmaul Husna”. Di kisahkan juga kelahiran Nabi Muhammad Saw, seluruh alam semesta pun ikut bergembira. Bahkan manusia, jin dan iblis-pun ikut bergembira.

Baca Juga:  Favelado dan Seni Sepak bola

Pada malamnya, tepat 12 rabiul awal masyarakat Kecamatan Patani melakukan dzikir, sahut serta membacakan riwayat nabi dalam mengangungkan kelahiran rosul yang diiringi tabuhan rebana di masjid-mesjid yang di mulai dari selesai sholat isya sampai dengan subuh pagi. Pada siang hari-nya, tradisi memukul orang dengan mengenakan Coka iba (topeng setan) di lakukan selama tiga hari berturut-turut dan berlangsung saat terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Setiap orang yang memakai coka iba menutupi diri mereka secara menyeluruh agar mereka tidak di kenali oleh siapapun, hanya mata dan tangan yang kelihatan. Dalam memukul biasanya coka iba menggunakan rotan, yang apabila setiap dari kita masih berada di jalan maka coka iba akan bertindak, memarahi, mengejar, dan memukul manusia yang masih berada dijalanan karena dianggap tidak mensyukuri kelahiran Nabi. Tujuannya, agar setiap dari kita selaku umat-nya selalu bersyukur kepadanya dengan melakukan dzikir, maupun sholawat kepada Nabi. Bahkan dalam pelaksanaan coka iba dikenal juga dengan tradisi Fanten (saling memberi) yang memiliki makna juga sebagai ajang siraturahmi.

Secara psikologis (ilmu kejiwaan), coka iba merupakan kepribadian kedua dari kepribadian pertama. Sering disebut kepribadian ganda dimana kepribadian individu/terpecah, sehingga muncul kepribadian yang lain. Tanda-tanda kepribadian itu biasanya muncul karena pribadi utama tidak mewujudkan hal yang ingin dilakukannya. Kepribadian prosopon/persona dalam bahasa yunani artinya topeng. Ketika itu topeng sering di pakai oleh artis atau pemain teater untuk menggambarkan/memainkan sosok dengan sifat atau karakter tertentu. (Sutrisno, 2020). Ketika pemain atau artis saat sedang berpentas diatas panggung mengenakan topeng dan bertingkah laku dengan ekspresi yang sesuai dengan karakter topeng yang dikenakan, untuk menggambarkan kepribadian yang angkara murka, serakah, ingin menang sendiri dan lain-nya sering digunakan topeng gambar muka raksasa. sementara untuk menggambarkan sifat atau karakter kepribadian orang yang baik budi pekertinya, suka menolong pada sesama, berani berkorban membela kebenaran, dan melakukan kegiatan baik lainnya dengan topeng bergambar muka kesatria.

Baca Juga:  Ketika Sepakbola Tak Memberi Pilihan

Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, di tengah-tengah kehidupan masyarakat Kecamatan Patani, setiap orang yang memakai cokaiba disiang hari bertingkah laku dengan ekspresi yang sesuai dengan karakter topeng yang dikenakan. Dalam hal ini, topeng seolah-olah mewakili ciri kepribadiannya. Jadi tidak setiap manusia berperilaku atau membawakan dirinya sebagaimana adanya. Akan tetapi kadang manusia berperilaku menggunakan topeng, maksudnya supaya setiap manusia yang berperilaku seperti itu untuk menutupi kelemahan atau kekurangan yang ada pada dirinya. Karena sejatinya hal itu merupakan keinginan yang sewajarnya bahkan sudah menjadi kodrat manusia. Setiap manusia ingin dikenal oleh orang lain, sebagai manusia yang berperilaku baik. Untuk mencapai tujuan seperti itu, setiap manusia di tuntut untuk memakai topeng. Meskipun dengan cara seperti itu, orang terpaksa harus bertindak, berbicara, atau berbuat yang tidak sesuai dengan dirinya sendiri. Bahkan, kadang-kadang orang tersebut harus bertindak yang bertentangan dengan kepribadian yang sesungguhnya melekat pada dirinya. Namun topeng dalam artian, menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik pekerjaan maupun menghargai budaya orang lain, dengan begitu setiap orang akan di terima dan mudah  menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya.


Artikel ini dalam rangka mengikuti Lomba Menulis Esai dan Opini untuk Mahasiswa dan Umum oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakan Maluku Utara pada Festival Literasi.