Sastra  

Perempuan yang Menolak Takdir

Depressed young girl sitting on floor. Girl has lost meaning of life. Continuous line drawing. Illustration on gloomy gray background

Hari sudah mulai sore. Matahari terbungkus awan tebal, tanda menunjukan kalau waktu malam mulai datang. Pak Salim belum juga pulang dari kebun. Sebab, bibit-bibit kelapa yang dibawa belum selesai ditanam. Jarak antara kebun miliknya sangat dekat dengan kampung, merasa tidak perlu dikhawatirkan pun tidak tergesah-gesah menyelesaikan pekerjaan. Sebab menanam kelapa adalah pekerjaan yang membuthkan keahlian khusus apalagi dalam bertanam, pikirnya. Sementara matahari sudah nampak miring ke timur dan keluarganya sangat cemas, khawatir.

****

Pak Salim dikaruniai lima anak dan satu istri. Lima diantara anak-anaknya tidak ada laki-laki. Dari kelima bersaudara termasuk Popi. Popi sendiri anak keempat dari lima bersaudara. Mereka dihimpun dalam satu keluarga yang penuh bahagia, lahir dari kelas sosial menengah. Kepemilikan harta Pak Salim terbilang mampu mencukupi keluarga. Dalam soal hak-hak anak dan istrinya, Ia mampu dipenuhi serta berperan aktif atas hal-hal yang berkaitan soal kasih, cinta, terutama mendidik dan sebagai pekerja keras. Pak Salim adalah sosok ke-Ayahannya yang paling dirindukan oleh keluarga. Atas kepiawaan, kepedulian, ketekunan dalam keluarga, anak-anaknya tak mengingin bila ada sesuatu terjadi, apalagi menyangkut kesehatan.

Pekerjaan Pak Salim adalah sebagai petani. Tidak sampai di situ, selain sebagai petani, Pak Salim mempunyai bisnis kecil yang sudah lama berjalan. Dalam soal pekerjaan banyak hal telah Ia geluti lewat proses pengalaman panjang. Akan tetapi hanya satu pekerjaan yang diminati yaitu menjadi seorang petani. Atas kegemarannya sebagai seorang petani, Ia sampai membuat rumah kecil dikebun dengan dilengkapi fasilitas-fasilitas untuk tinggal bersama istrinya, menjadi nyaman bila menghabiskan waktu berlama-lama dan bahkan pada saat momen lebaran dirayakan di kebun. Sebagai seorang petani, Ia tau merawat kebun.

Jarak antara perkampungan dan lokasi perkebunan Pak Salim tidak terlalu jauh. Anak-anaknya biasa kalau berkunjung tinggal jalan kaki, tapi tidak untuk Pak Salim yang selalu menggunakan mobil. Sebab, Ia tidak cukup kuat untuk jalan kaki, maklum karena usianya sudah tidak lagi muda. Setibanya di kebun, hal yang pertama dikerjakan adalah memotong rumput lalu mengumpulkan beberapa buah kelapa untuk dijadikan bibit dan ini pekerjaan paling utama yang dilakukan. Selesai dikerjakan, Ia sejenak menyandarkan bahu tepat di bawah pohon kelapa sembari melihat-lihat hasil tanaman dari beberapa pohon kelapa. Begitu senang nampak pada eksperesi wajahnya.

Di bawah kaki langit, saat matahari sudah condong ke selatan, saat burung-burung terbang secara berkoloni kembali pulang kesangkar, di kebun, Pak Salim dikejutkan oleh suara burung-burung gagak hitam bersiul kencang, mengikutinya. Ia melihat semacam memberi tanda atau sesuatu padanya dan menyadari keanehan itu. Tetapi yang dipikiran Pak Salim adalah bahwa burung-burung hitam itu hanya pulang ketempat sangkar sebab hari sudah mulai malam.

Antara keanehan dan kedatangan burung gagak Pak Salim kesulitan menebak. Pada situasi yang sama peristiwa itu mendadak mengalir perasaan Pak Salim mulai berpaling curiga seolah ada sesuatu akan menimpahnya. Tapi bukan untuk ditakuti. Tak lama waktu berganti sontak Pak Salim dikagetkan oleh seseorang yang muncul secara tiba-tiba, tepat di mata orang itu Ia melihat tampak melukis suatu rencana tidak baik. Tetapi Ia tak buru-buru curiga. Semantara, seseorang yang belum dikenalinya mendadak ingin menantang, mengajak berkelahi, sementara Pak Salim tersenyum-senyum.

“Siapa anda?” tanya Pak Salim. Untuk memulai percakapan

“Aku adalah orang yang diperintahkan untuk menghajarmu” sahutnya sembari tersenyum sinis.

“Apa katamu?” lanjutnya “kau kira aku adalah hewan dengan seenaknya memperlakukan”

Suana begitu canggung, belum adu gerakan antara Pak Salim dan seseorang itu, tepat di dekat mobil, Ia melihat ada seekor ular besar datang mendekat dan seperti ingin menyerang Pak Salim “mungkin seekor ular ini adalah pengawalnya” kata Pak Salim membatin. Dengan hati-hati Ia berjaga-jaga, mengambil jarak dari seekor ular dan orang itu dan perkelahian pun terjadi selama kurang lebih satu jam. Pak Salim kalah, tubuhnya tergeletak begitu saja dalam keadaan tidur. Sementara seseorang itu dan pengawalnya; seekor ular besar menghilang begitu saja, seperti terjadi dalam dunia filim-filim.

Perkelehian terjadi tepat dekat sungai. Ibu Sima melihat Pak Salim terbaring ditanah kesakitan, meminta tolong tetapi suaranya tidak terlalu kuat. Ibu Sima menghampirnya, mengangkat Pak Salim, dimasukan dalam mobil. Eksperi Ibu Salim penuh ketakutan. Mengatur langkah cepat-cepat dan berlari menuju kampung, mencari bantuan orang-orang dikampung untuk meminta bantuan. Karena untuk ukuran tubuh Ibu Sima tidak mungkin bisa mengangkat Pak Salim sampai dirumah.

Baca Juga:  Dua Puisi Sultan Musa Tentang Politik

“Ada orang minta tolong dalam mobil, Budi” katanya “Ya, saya mengenalinya” lanjutnya

“Di mana?” tanya Budi “siapa?”

“Sepertinya mirip suara Pak Salim. Aku mengenalinya” sahut Ibu Sima “dekat kali samping jembatan” lanjutnya penuh ekspresi

“Mobil apa..?”

“Mobil ekstrada”

Spotan, Budi langsung bergegas lari menuju lokasi kejadian dan menghampiri Pak Salim. Setibanya di lokasi, lantas tak ada lagi basa-basi atau tukar pendapat, dan segera dilarikan ke rumah menggunakan mobil milik Pak Salim. Budi adalah anak mantu Pak Salim. Sebelum tiba di rumah, jalanan sudah dipenuhi orang-orang kampung. Sebab informasi atas peritiwa tersebut sudah lebih duluan menyebar lewat perantara beberapa keluarga dari Ibu Sima. Orang-orang terkejut mendengar peristiwa dari Ibu Sima dan terjadi tukar pendapat dijalan.

“Ada apa dengan Pak Salim?” tanya si lelaki di ujung teras rumah

“Saya sendiri tidak tau kronologisnya. Saya hanya melihat Pak Salim tergeletak di tanah dalam keadaan diam. Tubuhnya kesakitan, memohon-mohon, dan saya memasukannya dalam mobil begitu saja. Di dekat jalan saya bertemu si Budi, menyuruhnya untuk segerah membantu. Begitu saja” cerita singkat Ibu Sima pada orang-orang dikampung.

“Oww.. padahal tadi saya melihat Pak Salim sehat-sehat saja” sahut seorang Ibu “semoga dia baik-baik saja” lanjutnya.

Kerumunan di jalan memicu situasi. Sebagian dari mereka ada yang berdoa untuk keselamatan Pak Salim dan sebagiannya lagi masih ingin bertukar informasi untuk memastikan kebenaran atas peristiwa itu dan tak henti-hentinya mereka bertanya-tanya. Lalu, pertanyaan itu beruba menjadi rasa penasaran berlebihan. Situasi dikampung diramaikan penuh suasana duka dan beberapa di antara mereka mengambil inisiatif mencari orang pintar dan sebagian dari mereka menjemput si perawat desa yang bertugas di kampung sebelah untuk mengobati Pak Salim. Upaya orang-orang kampung tersebut dilakukan demi kesembuhan Pak Salim. Sebab sontak panik mereka melihat tubuh Pak Tua terbaring begitu saja seperti patung yang tergeletak.

Setibanya si orang pintar dan si perawat di rumah. Kedua orang itu mulai melakukan pengobatan dengan teknik, sesuai dengan pengalaman masing-masing. Si orang pintar mulai membuat syarat dari antara beberapa lembar daun manyan, dibungkus dengan sepotong kain putih, dicelupkan dalam air dan Pak Salim meminumnya. Berbeda dengan si perawat, cara pengobatannya menggunakan beberapa alat tes. Saat mengetahui gejala penyakit, memberikan beberapa resep obat, selesai. Tetapi tidak ada perubahan pada kondisi tubuh Pak Salim.

Kepala Pak Salim masih menjerit sakit tak ada perubahan sembuh. Sesekali Pak Salim menyempatkan waktu untuk bercerita tetapi tak didengar oleh orang-orang. Mereka mengacuhkan, menganggap sebaiknya Pak Salim lebih fokus pada kesehatannya. Sembari mereka mencari-cari cara lain dalam proses pengobatan. Karena kwahatir, was-was menyaksikan keadaannya mereka berinisiatif segera memberitahu anak-anaknya untuk berkumpul. Tetapi peristiwa ini belum sampai ditelinga Popi.

****

Tepat pukul enam tujuh belas lewat tiga puluh empat menit. Jam dinding bergelantung di bawah pintu rumah, berbunyi, Popi melihat tepat kearah pintu, merasakan perasaannya, melahirkan tanya. Sebab sampai sekarang Ayahnya belum juga pulang ke rumah. Batinnya terganggu, khawatir, bercampur emosi, tumbuh pada jiwa dan pikiran Popi sekaligus menjadi kacau. Pada waktu, Popi bermohon-mohon dalam hati. Untuk mengalihkan perasaan muncul lah ide Popi yaitu dengan menyibukan diri, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah yang belum selesai, mengambil beberapa potongan pakaian-pakaian kotor dan piring-piring kotor untuk dicuci. Tetapi tak selesai dan Popi kelelahan.

Popi berbaring di kasur sejenak mengembalikan energi beberapa menit, sebab sehari penuh bertengkar dengan pekerjaan. Sebagai seorang perempuan Popi sudah terbiasa dalam pekerjaan rumah, tidak ada keluh pada pekerjaan karena sudah menjadi kebiasaan. Tapi tidak untuk hari ini Popi sangat kelelahan. Dinding-dinding warna cat sudah luntur, Popi melihatnya sembari bersantai, membaringkan badan. Piring-piring tiba-tiba jatuh begitu pun jam dinding, datang angin kencang diujung timur dan terjadi suatu ledakan besar di langit-langit. Terpikirlah Popi bahwa ini adalah suatu tanda alam sekaligus terkejut mengalir tumbuh persaan bercampur.

“Ya Tuhan semoga tidak ada hal-hal masalah yang menimpah keluargaku.” Katanya memohon dalam hati

Cemas, takut, bercampur lebur mengalir sangat kencang dalam rasa, atas insenden itu. Popi tak lagi mampu mengingbangi perasaan-perasaan liar semacam terkurung dalam suasana ruang gelap. Pada saat yang sama Popi mengacuhkan, menduga bahwa peristiwa seperti ini mungkin hanyalah kejadian yang terjadi secara tiba-tiba atau karena tanda-tanda alam. Tidak perlu dirisaukan kata Popi membatin. Tanpa pikir panjang Popi kembali mengerjakan pekerjaan rumah yang belum selesai itu.

Baca Juga:  Di Dada ini Ada Kata-kata

Tepat di kamar mandi, dengan sengaja Popi menguping, sengaja mendengar suara tetangga yang sedang asyik bertukar tanya atas peristiwa yang menimpah Ayahnya.

“Dengar-dengar Pak Salim sedang sakit. Padahal, soreh tadi saya masih melihat sedang mengendarai mobil miliknya dan baik-baik saja”

“Saya mendengar peristiwa itu langsung dari Ibu Sima. Katanya, terjadi saat di kebun, Ia berkelahi dengan seseorang yang tak dikenali, tergeletak di mobil sembari minta-tolong, kesakitan, karena kepalanya terbentur di pohon kelapa. Pak Salim kalah. Karena seseorang itu, katanya, menghajar dalam keadaan tiba-tiba. Pak Salim kehilangan keseimbangan pikiran, di luar gerakan dan kalah. Peristiwa yang menimpa Pak Salim terdengar mengalir mengerikan dan membuat banyak orang bertanya-tanya.” seorang Ibu mengulang cerita dari Ibu Sima

“Sekarang Pak Salim dirawat di rumah anak menantunya?”

“Iya. Karena anak pertamanya menikah dengan si Budi, menantu pertama”

“Ya, kami semua ikut kaget mendengar peristiwa itu.” Katanya “kejadian seperti ini tidak pernah ada dalam pengalaman saya semasa hidup, kasihan” lanjutnya sembari memacarkan ekspresi sedih.

Popi mendengar percakapan itu. Tidak ada lagi basa-basi atau tukar informasi bersama seorang Ibu tetangganya. Popi sontak berlari menuju rumah Kakanya. Memastikan kabar ayahnya yang katanya sakit. Dalam perjalanan, Popi melihat orang-orang berkerumun di rumah kakanya dengan penuh ekspresi. Saat di rumah, Popi melihat ayahnya sudah terbaring bagitu saja, menjerit kesakitan. Popi menimpali ekspresi agar tidak terlihat kesedihan dan yang nampak adalah senyum. Popi mengambil bagian mengurut kepala, tubuh ayahnya sebagai bentuk tindakan kasih, pengabdian seorang anak. Sambil mengurut, Popi sendiri masih menyimpan tanya, seolah tidak menerima perlakuan tindakan tersebut pada Ayahnya. Kenapa musiba itu terjadi secara tiba-tiba? Tanyanya membatin.

Waktu sudah menunjukan kurang lebih pukul sembilan belas lewat tiga belas menit. Tetapi pihak keluarga masih berkerumun demi memastikan kabar Pak Salim. Mereka khawatir, takut bila akan terjadi sesuatu di luar dari pikiran mereka. Mereka berinsiatif menyiapkan mobil, membawa Pak Salim di rumah sakit sebagai bentuk usaha untuk kesembuhannya. Sedangkan Popi sendiri masih setia duduk disamping Ayahnya sembari memberi pesan “Ayah adalah lelaki yang baik. Tetap kuat” membisik tepat di telinganya sambil menunggu keluarganya menyiapkan mobil. Menjelang beberapa menit berjalan, Ibu Sima memberi informasi kalau mobil sudah dalam keadaan siap tepat didepan rumah.

“Mobil sudah siap. Karena waktu dan sebelum malam semakin larut sebaiknya segera kita bawa ke rumah sakit” kata Ibu Sima

Jarak tempuh ke rumah sakit memerlukan waktu yang kurang lebih satu jam. Sementara Popi tak melepas batas jarak, selalu duduk berdekatan, mendampingi bersama Ayahnya dalam mobil. Malam menembus mata lewat terangnya bulan, bertanda kalau cuaca sudah membaik. Tetapi kondisi jalan bukan aspal dan seorang sopir mengendarainya dengan penuh hati-hati. Tidak untuk Popi, perasaanya masih melintang patah, sedih melihat kondisi Ayahnya. Tidak saja di rumah, di mobil perjalanan menuju rumah sakit Ia selalu mengendus-hendus, memelas dada penuh kesabaran dan air mata Popi menetes basah dipipi sebab Ayahnya masih belum nampak senyum dari sakitnya.

******

Waktu menunjukan dua puluh tiga lewat dua puluh menit, tepat mereka tiba di rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, para keluarga, anak-anak Pak Salim bersibuk-sibuk. Sebagian mengunjungi dokter, perawat, pegaiwai rumah sakit, sebagiannya lagi mengangkat Pak Salim menggunakan tandu ambulans di bawa kekamar pasien. Para perawat sibuk memeriksa Pak Salim. Hasil pemeriksaannya berbeda dengan perkiraan orang-orang kampung. Menurut beberapa perawat, Pak Salim mengalami sakit kolesterol, peradaran dara tidak lancar. Setelah diketahui penyebab-penyebabnya, Pak Salim ditangangi perawatan medis secara intens. Selain itu juga, karena melihat Pak Salim kesulitan bernapas atau menghirup udara, seorang perawat memberikan alat bantu, oksigen, untuk membantu pernapasannya.

Pak Salim ditangi scara medis. Pihak keluarga dan anak-anaknya melihat dengan hati gembira sekaligus sedih. Eksperesi-eksperesi yang tampak seolah memberi suasana duka dan orang-orang masih setia menunggu dirumah sakit untuk memastikan keadaan Pak Salim. Semenit berjalan Pak Salim memejamkan mata, menukas senyum dalam keadaan wajah ang pucat, dimata anak-anak dan Popi belum mengetahui kabar Ayahnya.

“mana Popi?” tanya Pak Salim

“Alhamdulillah. Ayah suda bisa senyum” lanjutnya “Popi masih diluar. Sedang membeli makanan” tukas si anak sembari mengurut kepala Pak Salim

“sebaiknya Ayah istrahat dulu” kata istrinya

Anak-anaknya menukar senyum di mata Pak Salim. Sebenarnya eksperesi mereka adalah bentuk pengalinahan untuk tidak menambah-nambah pikiran Pak Salim. Hanya dengan cara itu, mungkin, memberi suatu keajaiban demi kesembuhannya. Tetapi senyum yang tidak biasa. Sebab keadaan Pak Salim belum sepenuhnya sehat. Mereka cukup tau untuk menciptakan suasana. Namun untuk hari ini suasana menjadi diam, tidak ada lagi tukar senyum, tanya antarsesama pun orang-orang. Memberi waktu pada Pak Salim untuk beristirahat.

Baca Juga:  4 Puisi M Wahib Sahie

Dalam diam, Popi datang setelah sekian menit keluar membeli makanan di warung makan. Cepat-cepat memastikan keadaan Ayahnya. Di rumah sakit, Popi melihat keluarga dan orang-orang memberi senyum padanya dan Popi memberi makanan kepada mereka sebelum ke kamar tempat Ayahnya menginap. Yang nampak diwajah Popi adalah senyum, bahagia usai mendengar kabar. Popi mengatur langkah cepat-cepat. Akan tetapi Popi adalah perempuan yang tidak mudah percaya pada siapa saja, kecuali kedua orangtuanya. Atas sikap itu, Popi merasa bahwa segala sesuatu harus dibuktikan dulu dan Popi ingin memastikannya sembari mengatur langkah cepat-cepat untuk melihat kondisi Ayahnya.

Di kamar, Popi tak melihat senyum Ayahnya melainkan wajah Ibu yang begitu pucat. Karena panik dalam situasi, Popi mendadak enggan buru-buru keluar dari kamar, mencari beberapa si perawat yang menangi Ayahnya untuk bertanya.

“Sis, bagaimana keadaan ayah saya?” tanya Popi

“Alhamdulillah tadi ayah kamu sudah senyum” jawab seorang perawat “tetapi menurut dr untuk pasien di ruangan B belum bisa diganggu dulu. Sebab, beberapa obat yang dikonsumsi belum bereaksi. Semoga ada perubahan secara signifikan untuk kesembuhannya” lanjutnya sambil menjelaskan

“Tetapi kenapa sampai sudah beberapa jam berjalan tidak ada tanda-tanda perubahan” lanjutnya “Maksudnya tanda-tanda kesembuhan”

“Reaksi obat memang membutuhkan durasi waktu yang cukup lama” jawab si perawat “anda berdoa saja, semoga setelah ini Ayahmu segera sembuh. Dan mohon maaf untuk sementara saya belum bisa berlama-lama bertukar jawaban bersama anda. Sebab, masih ada pasien lain yang masih membutuhkan pelayanan kami” lanjutnya

Popi mendadak murung usai mendengar penjelasan si perawat dan mencelah sinis pada seorang perawat. Sebab setelah berjam-jam perawatan dirumah sakit Popi tidak melihat ada perubahan signifikan pada kesembuhan Ayahnya. Ditambah lagi dengan fasilitas rumah sakit yang tidak lengkap, kekurangan tenaga-tenaga medis. Keluh Popi pecah di langit-langit, dipikiran, tidak memberi kesan atau pengaruh sedikitpun.

****

Di rumah sakit, tangisan orang-orang pecah mengalir suasan duka. Tidak adalagi mengalir canda-tawa di rumah, dikebun, di jalan-jalan. Popi mingira ini hanyalah perumpamaan-perumpamaan kehidupan yang selalu mengalir kata-kata bengis, lelucon yang barangkali hanya terjadi di film-film. Begitulah Popi membayangkan takdir.

Popi begurau. Bertanya pada orang-orang “siapa bilang ayahku meninggal..? Ayahku masih sehat-sehat saja. Barusan saya menghubungi Ibu” kata Popi membantah penuh amarah

“Kamu belum tau..?” tanya seseorang

“Ayahku sekarang masih dirawat di rumah sakit”

“Tidak” sahut seseorang tergesa-gesa “kamu cepat pergi ke dermaga. Karena sudah banyak orang-orang yang menunggu di dermaga untuk penjemputan Ayahmu” lanjutnya sambil mengelus dada Popi.

Popi terkaget-kaget, membating, membuang pakaian yang dipegang, berlari menuju dermaga, sambil menetes air mata, menangis penuh suara terbata-bata. Batinnya terpukul, was-was, kacau. Sementara dijalan masih dipenuh orang-orang, dilihatlah Popi. Matanya berkaca-kaca tak bisa menahan lagi air mata yang tumpah dipipinya.

“Ada apa dengan Ayahku.?” tanyanya pada orang-orang sambil menangis “Ayahku belum meninggal. Semua ini omong kosong” lanjutnya

“Kami mendengar kabar dari rumah sakit. Ayahmu sudah tidak lagi tertolong. Mungkin karena Tuhan punya rencana lain. Yang kuat Popi” sahut seseorang.

Wajah Popi memerah memancarkan kesedihan dan terlihat pucat. Ia membayangkan kalau Ayahnya tidak bersama di hari-hari selanjutnya. Di rumah Kakanya orang-orang masih berkerumun, membicarakan kepulangan Pak Salim. Sedangkan Popi tidak tau apa yang harus dilakukan. Semua yang dibayangkan Popi tidak lagi terucap. Kebatinannya mengganggu pikiran. Dalam keadaan duka pikiran Popi hanya bisa membayangkan sosok Ayah dalam pikiran.

Dalam beberapa jam Popi reaksinya mendadak muncul perasaan yang tidak biasanya. Menolak segala hal yang menimpah keluarganya. Popi akhirnya tak lagi percaya pada keajaiban, kekuatan Illahi. Pikirnya, berari-hari menghabiskan waktu untuk berdoa atas kesembuhan Ayahnya, yang terjadi jutru sebaliknya. Sesekali Popi dengan senyumnya yang sedih tetapi merupakan senyum kepasrahan terhadap yang mustahil, yang tak tergapai, berkata “Tapi Kau, Tuhan, pernah memberiku tanda-tanda keajaiban melalui mimpi” dan mengangkat kedua tangannya memohon selama berjam-jam “Kau, Tuhan, satu-satunya maha dari segalanya”

Oleh: M. Wahib

(Pemuda yang bermukim di Ternate, Maluku Utara. Pegiat Psikologi)

Penulis: M. Wahib