Politik Penjinakan: Warisan Kolonialisme

Penulis: Daris Umarama

KOLONIAL merupakan suatu konsep yang berbicara tentang sistem kekuasaan dan penjajahan, yang selalu menghadirkan bencana di tengah masyarakat. Namun, dalam perkembangan zaman menjadi suatu isu yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat untuk menjadi pegangan sebuah perubahan.

Indonesia adalah suatu bangsa yang mengalami kolonialisme selama kurang lebih 32 tahun. Kekerasan, penindasan, dan bahkan pembantaian terhadap rakyat terbilang cukup dahsyat. Semua ini akibat dari sistem ekonomi-politik global—di mana sengitnya pertarungan merebut kekayaan alam oleh negara Eropa di negara bangsa dunia ketiga.

Salah satu komoditas yang memiliki nilai tukar relatif tinggi zaman itu dan menjadi daya tarik bangsa Eropa adalah rempah: cengkih dan pala. Komoditas yang berada di belahan timur Indonesia ini membawa bangsa ini dalam kancah global sekaligus menjadi malapetaka: penjajahan dan peperangan berkepanjangan.

Sebuah potret buram tahapan sejarah tersebut seharusnya menjadi cerminan bangsa ini—untuk bergerak maju dan menyaingi negara lain dari segi kemakmuran rakyat. Tetapi sangat disayangkan, kemajuan bangsa ini justru terbalik—kekayaan justru dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan baik pada skala nasional maupun lokal.  

Pada konteks ini, sekalipun rakyat Indonesia telah merdeka, akan tetapi sebenarnya belum terbebas dari penjajahan. Sebab, secara tak sadar mentalitas kolonialisme masih melekat, tertanam kuat dalam diri pejabat public di negera ini—yang disebut poskolonial.

Dalam buku Orientalisme yang ditulis Edward W. Said, digambarkan orang-orang di dunia Timur dipresentasikan oleh bangsa Barat sebagai orang-orang terbelakang. Hal ini pada akhirnya menyebabkan ketimpangan relasi, misalnya Timur-Barat, superior-inferior, berbudaya dan tak berbudaya.

Dampak dari postkolonialisme secara kasat mata adanya kesadaran bahwa ada dikotomi antara penjajah dan terjajah. Melalui kesadaran itu, akhirnya berkembang menjadi suatu kesadaran dengan aksi untuk mencapai sebuah kemerdekaan atas warisan kolonialisme.

Baca Juga:  Malut United dan Bangkitnya Sepakbola di Timur Indonesia

Bentuk warisan kolonialisme dapat kita lacak melalui kebijakan negara menghadirkan industri pertambangan di Indonesia—terutama di Pulau Halmahera. Di mana sebagian besar masyarakat dininabobokan oleh kapital, obsesi dengan gaji tinggi, akan tetapi, sebenarnya dari segi ekonomi hanya dapat memperkaya negara investor, seperti China dan juga pejabat negara.

Dalam bidang politik, penguasa makin bergantung pada kekuatan asing sehingga kebebasan dalam menentukan kebijakan negara makin menipis. Bahkan negara pun turut mendorong kebebasan industri pertambangan di negara ini. Misalnya kasus rencana pemindahan penduduk Kawasi di Pulau Obi dan persoalan perusakan ekologi bahkan tak disentuh secara serius oleh negara.

Di samping itu, aneksasi wilayah yang dilakukan penguasa asing mengakibatkan semakin menyempitkan wilayah komunitas masyarakat tempatan. Fakta ini dapat kita jumpai di daratan pulau Obi, Halmahera Tengah (Weda-Gebe) dan Halmahera Timur.

Misalnya, saat ini suku Tobelo Dalam atau biasa dikenal O Hongana Manyawa. Komunitas adat yang mendiami hutan Pulau Halmahera ini makin terdesak dan ruang hidupnya makin terancam akibat kehadiran industri pertambangan. Mereka bahkan menerima stigma dan menjadi stereotip bahwa mereka jahat, pembunuh dan banyak cap buruk lainnya.

AMAN dalam laporannya ke Komnas HAM, menyebutkan, kasus pembunuhan di hutan Halmahera Tengah dan beberapa kasus sebelumnya di Halmahera Timur mengarahkan tudingan pembunuhan ke O Hongana Manyawa (dikutip laman Mongabay.co.id). Bagi AMAN, tindakan ini merupakan perlakuan tak adil terhadap masyarakat dan diskriminasi negara.

Pada titik ini, dapat dikatakan perlakuan negara terhadap warganya layaknya kolonialisme. Sehingga Saiful Madjid, peneliti komunitas O Hongana Manyawa  mengatakan, terjadi politik penjinakan kepada orang O Hongana Manyawa. Penjinakan itu, katanya, karena ada industri pertambangan.

Politik penjinakan tersebut mengakibatkan ruang hidup mereka di belantara Halmahera makin menjadi sempit. Praktik politik ini merupakan warisan kolonialisme yang telah mengakar kuat—makin subur dan dipraktekkan hingga kekinian. Tokoh masyarakat, agama dan adat adalah sebagai instrumen untuk mensukseskan politik penjinakan.

Baca Juga:  Maluku Utara Dipaksa (Hilirisasi) Bahagia

Pada konteks ini, dampak warisan kolonialisme tak sebatas pada penyempitan ruang hidup. Akan tetapi, lebih jauhnya, komunitas tempatan terjun bebas dalam kubangan kemiskinan, diskriminasi, stigma buruk, kerusakan ekologi dan melibas pengetahuan tempatan.

Semua ini beroperasi melalui apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni. Melalui politik penjinakan, penanaman ideologi (hegemoni) pun berlangsung dan diterima sebagai sesuatu yang final.

Dengan demikian, yang diperlukan adalah bentuk perlawanan terhadap warisan kolonialisme—yakni menciptakan budaya tandingan. Budaya tandingan dimaksudkan adalah menghidupkan serta memperkuat narasi-narasi lokal sebagai bentuk keberartian identitas budaya.

Perlawanan terhadap praktik warisan kolonialisme (postkolonialisme) kiranya perlu menjadi perhatian serius agar setidaknya dapat menggugah kesadaran komunitas masyarakat desa. Seperti ditulis Ania Loomba, bahwa, postkolonialisme dapat dilihat sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi dan warisan-warisan kolonialisme.

—–

Daris Umarama, Pegiat Pilas & Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMMU