Desember 2022 disambut dengan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menuai berbagai kontroversi. Penolakan dan kritik datang dari berbagai kalangan: Akademisi, mahasiswa hingga masyarakat. Bahkan dari pihak negara asing pun menyayangkan hal itu, khususnya Amerika Serikat.
KUHP hari ini adalah perjalanan panjang gagasan sejak puluhan tahun silam. Nawaitu melakukan dekolonisasi dan rekodifikasi terhadap KUHP sudah lama dimulai. Tepatnya pada Seminar Hukum Nasional I pada 1963 dengan inisiasi desakan untuk merumuskan KUHP baru (baca Indonesiabaik.id). Tarik ulur RKUHP ini akhirnya berujung pada 6 Desember 2022.
Progres rancangan yang dibuat di DPR ini menandai satu prestasi bagi negara yang baru saja memiliki KUHP nasional secara sah. Walaupun begitu, tetap saja masih menyisakan kultur kolonial yang membungkam dan perlahan menggerus demokrasi yang telah diamini sejak lama, semisalnya pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dengan pasal penghinaan Raja dan Ratu di Negeri Belanda. Pasal ini juga secara tidak langsung merupakan pasal yang memunculkan semangat neokolonialisme Belanda.
Semangat penolakan terhadap RKUHP itu tampak dari berbagai upaya yang telah ditempuh, mulai dari unjuk rasa oleh mahasiswa, menulis dan dialog, serta diskusi kritis di ruang-ruang publik. Dan yang paling mencengangkan adalah upaya tak terduga berupa teror bom beberapa hari lalu. Kejadian teror itu teridentifikasi dilakukan oleh Agus Sujatno alias Abu Muslim, yang meledakan bom di Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat hingga menewaskan dirinya dan seorang bernama Sofyan sebagai Ajun Inspektur Polisi Satu. Di saat yang bersamaan pula beberapa polisi dan seorang masyarakat bernama Nurhasanah terluka.
Peristiwa serangan bom ke Kantor Polisi seperti ini bukanlah kali pertama terjadi di Indonesia. Tercatat ada sebelas kali terjadi penyerangan dalam kurun 12 tahun belakangan, dari rentan waktu 15 April 2011 sampai 7 Desember 2022. Dengan lokasi penyerangan terbanyak di Pulau Jawa, yakni tujuh kasus, dan satu di DKI Jakarta, dua kasus di Pulau Sulawesi dan satunya di Sumatra Utara (Kompas 8/12/2022).
Namun, yang menjadi perhatian pada kasus kali ini adalah motor pelaku pengeboman yang bertuliskan “KUHP.Hukum Syirik/Kafir, Perangi Para Penegak Hukum Setan. QS. 9: 29”. Hal itu ditulis di atas kertas putih yang ditempelkan di depan motor hingga menutupi plat. Pesan yang disampaikan itu adalah respons tidak bijak atas kesalahpahaman dalam memaknai semangat jihad dalam Islam, semangat yang dibelokan ini menimbulkan orang Islam sendiri fobia terhadap ajaran. Yang juga miris adalah penyerangan yang dilakukan mengatasnamakan jihad dalam Islam.
Dalil yang terpampang itu adalah QS. At-Taubah ayat 29. Ayat ini dipakai sebagai dasar dalam menguatkan aksi yang dianggap benar di hadapan Tuhan oleh mereka. Itulah kenapa, spirit yang dibangun dalam lembaran kertas itu adalah semangat jihad yang tak kunjung redam. Padahal ia pernah mendekam di Nusakambangan sejak 2017 dan baru keluar pada 2021.
Rupanya empat tahun penjara tak cukup untuk mereduksi paham radikalisme yang telah menjiwai dalam diri. Boleh dibilang paham radikalismenya telah sampai pada level keras, sehingga sulit dilakukan deradikalisasi selama di lapas. Tak heran ia masih saja melakukan hal serupa ketika bebas.
Noor Huda Ismail, seorang Executive Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian (Institute for International Peace Building), dalam Esainya yang bertajuk Narasi Mematikan (Kompas, 12/12/2022), memberikan suatu definisi mengenai dengan Narasi Induk. Yakni narasi yang telah diyakini kebenarannya oleh orang kebanyakan dalam budaya tertentu.
Dalam Islam, narasi induk biasanya diambil dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an, hadis, ataupun sirah-sejarah perjuangan Islam, seperti perang Perang Badar, peristiwa hijrah, Isra Mikraj, dan masa Kekhilafahan Islam menjelang era penjajahan “Barat”. Atas dasar keyakinan terhadap surat yang diyakini itulah, mereka tergerak untuk melakukan tindakan tersebut.
Selain itu, sadarkah kita bahwa mereka yang melakukan aksi teror dan terpengaruh oleh paham radikalisme adalah orang-orang yang sejatinya juga belum tahu dan tidak cukup pengetahuannya melihat jihad secara universal. Sebab ketidaktahuan terhadap jihad dalam sisi yang berbeda membuat kita melihat jihad hanya satu, yaitu perang.
Padahal tidak cukup kita memaknai jihad hanya dalam perang, bisa juga menimba ilmu. Oleh karena itu, pengabaian terhadap sisi lain membuat orang tidak lagi melihat sesuatu secara utuh, sehingga ketidaktahuan itu membuat orang dapat berbuat zalim, layaknya para pelaku pengeboman itu.
Dalam sebuah acara di Kompas TV yang dimotori oleh Rosi, Ali Imron seorang mantan terpidana kasus Bom Bali satu bercerita. Ia menguraikan dua ciri signifikan yang dimiliki para teroris. Yang pertama adalah adanya dugaan mereka terhadap penguasa atau pemerintah yang tidak memberlakukan syariat Islam secara menyeluruh. Secara umum, mereka memiliki paham universal semacam itu, yang kedua adalah adanya pemikiran dan pemahaman tentang jihad dalam arti perang.
Jihad Fisabilillah adalah perintah Allah SWT yang terbilang mulia di dalam Islam. Di mana keutamaanya jika andai mati di jalan itu maka mati syahid, surga tempatnya. Tapi konteks jihad yang mereka lakukan saat ini keliru. Jihad itu sebetulnya di medan perang, ada musuh lalu kita berperang. Jihad juga dilakukan untuk melindungi nyawa orang agar tidak mati ditindas/dimatikan oleh kekuasaan atau kezaliman, kata Ali Imron saat ditanyakan.
Keyakinan yang kuat atas ajaran yang didoktrin sejak awal itulah yang membuat mereka begitu berani dan tanpa beban melakukan bom bunuh diri, dengan dan atas nama jihad dengan dasar perintah Tuhan. Sejalan dengan ini, sangatlah relevan kondisi psikologis orang yang hendak bunuh diri dengan yang dinyatakan oleh perspektif_sosiologi, di mana Durkheim dalam bukunya Suicide (1897). Bunuh diri bagi ia adalah masalah sosial, bukan personal.
Tindakan bunuh diri terkait dengan integrasi dan regulasi sosial. Aturan sosial. Aturan sosial yang terlalu menekan dapat menyebabkan orang bunuh diri fatalistik, sementara regulasi sosial yang terlalu lemah dapat menyebabkan bunuh diri anomik. Pada sisi lain, integrasi sosial yang terlalu kuat jadi stimulus untuk bunuh diri altruistik. Sebaliknya, ketika integrasi sosialnya lemah jadi stimulus untuk bunuh diri egoistik.
Jenis-jenis bunuh diri di atas yang kiranya cocok dengan kasus bom bunuh mengatasnamakan nama jihad adalah bunuh diri altruistik. Di mana jenis ini adalah yang paling sulit untuk dipastikan. Sebab pelakunya merasa bahwa tindakannya bukanlah tindakan bunuh diri. Tapi menganggapnya sebagai tindakan yang mulia, layaknya orang menjadi mati dengan mengatasnamakan agama.
Bunuh diri adalah masalah sosial, bukan masalah personal. Tentu masalah yang dimaksud memiliki koherensi dengan disahkannya RKUHP kemarin. Di antaranya paling disoroti adalah pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan Penghinaan terhadap Pemerintah. Hadirnya pasal ini sangatlah memungkinkan mematikan kebebasan berpendapat masyarakat sebagai bentuk kritik-otokritik kepada pemerintah, yang mana bisa saja hal itu dapat dikategorikan sebagai penghinaan terhadap kelompok yang dikualifikasi sebagai unsur di dalam pasal yang dimaksud.
Dan sangatlah sulit menentukan batas yang tajam antara kritik dan penghinaan dalam pemaknaannya jika mereka yang dimaksud masih memegang mandat sebagai pemangku kepentingan. Sebab suatu jabatan itu melekat terhadap seseorang yang memangku jabatan itu. Oleh karena itu pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan problematika sosial apabila nanti diberlakukan di tahun 2025 nanti.
Inilah yang dianggap kezaliman oleh mereka sehingga melakukan tindakan tersebut. Padahal banyak cara yang dapat dilakukan dengan hal lain yang lebih berkualitas. Yang menjadi soal adalah bagaimana jika kematiannya bukanlah kematian yang disenangi oleh Tuhan dan surga adalah tempat kembali, namun sebaliknya. Hal inilah yang perlu dihindari, yaitu dengan upaya penanggulangan dengan melakukan deradikalisasi terhadap semua orang yang telah terpapar maupun berpotensi terpapar pengaruh radikalisme ini.
—
Fuadsul Nurdin, Koordinator Independensia dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate