News  

11 Warga Pejuang Tanah Adat di Halmahera Timur Dijerat Sejumlah Pasal

Aksi gabungan meminta Kapolda Malut membebaskan 11 warga Halmahera Timur yang jadi tersangka penolak tambang. Foto: LPM Aspirasi/Istimewa

Polda Maluku Utara menangkap 27 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara. Setelah diperiksa, dari 27 warga itu, 11 lainnya ditetapkan tersangka dengan alasan melakukan premanisme serta menghalangi aktivitas pertambangan.

Belasan warga pejuang tanah adat itu pun dijerat sejumlah pasal: pertama, Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1951 (UU Darurat) membawa sajam tanpa hak dengan ancaman hukuman 10 tahun.

Kedua, pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba karena merintangi kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin dengan ancaman pidana 1 Tahun.

Kemudian ketiga, pasal 368 ayat 1 Jo pasal 55 ayat 1 KUHP karena diduga melakukan TP pemerasan dan pengancaman.

Polda Maluku Utara juga mengungkap barang bukti yang disita yakni 10 buah parang, 1 buah tombak, 5 buah ketapel, 1 buah pelontar panah, 19 busur anak panah. Serta beberapa alat pendukung lainnya seperti spanduk, terpal dan ranting yang digunakan untuk membuat camp.

Muhammad Tabrani, Akademisi Universitas Khairun Ternate mengatakan, para pendemo adalah masyarakat adat setempat yang, sebagai petani dan pemburu di hutan, seringkali membawa peralatan seperti parang, panah, atau tombak.

Menurutnya, jika Polda Maluku Utara langsung merespons dengan menerapkan UU Darurat terkait penggunaan senjata tajam tanpa izin, maka hampir semua petani di Halmahera, bahkan di seluruh Maluku Utara, berpotensi terkena sanksi dan dijebloskan ke penjara.

“Saya berharap Polda dapat merespons masalah ini dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan dengan perspektif yang lebih luas,” kata dia.

Selain itu, kata Tabrani, seharusnya, penanganan ini melibatkan pemerintah daerah, karena masalah ini menyangkut stabilitas keamanan lokal dan potensi konflik sosial yang tidak bisa hanya diserahkan kepada Polri.

Baca Juga:  Mengenal Kampung Sarani di Kota Ternate

Ia bilang, hal ini perlu menjadi urusan pemerintahan umum yang diatur dalam pasal 25 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang mencakup kewenangan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur dan Provinsi Maluku Utara.

“Instansi-instansi ini harus dilibatkan, apalagi karena isu yang diangkat berkaitan dengan hak asal-usul atau adat masyarakat yang melakukan aksi. Tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan pendekatan represif dari kepolisian, karena itu bisa menimbulkan luka di hati masyarakat adat,” ujar Tabrani.

Sebelumnya Kabid Humas Polda Maluku Utara Kombes Pol Bambang Suharyono menyatalan bahwa aksi tersebut mengganggu aktivitas masyarakat setempat sehingga perlu dilakukan langkah tegas.

“Dari aksi itu setidaknya kita amankan 27 orang setelah dilakukan penyelidikan 11 orang ditetapkan sebagai tersangka,” ucap Bambang, sejak Selasa, 20 Mei 2025.

Bambang berdalih kelompok pemuda ini diamankan karena membawa senjata tajam saat melaksanakan aksi penolakan aktivitas pertambangan.

“Selain itu mereka melakukan perampasan 18 kunci alat berat milik perusahan dan tindakan yang dilakukan tersebut menunjukan aksi yang meresahkan masyarakat dan investasi”.

“Polda memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat terkait dengan aksi yang berkedok kelompok dan lain sebagainya. Kehadiran Polda Maluku Utara merupakan bagian dari kehadiran Negara untuk memberikan keamanan kepada seluruh masyarakat,” katanya.

Penulis: Tim CermatEditor: Redaksi