Peristiwa teror bom yang menimpa Victor Mambor, jurnalis senior di Papua, pada 23 Januari kemarin membuka daftar kasus kekerasan awal tahun ini. Padahal, AJI Indonesia baru saja merilis data kekerasan jurnalis tahun 2022 melalui buku laporan Serangan Meningkat, Otoritarianisme Menguat, pada 16 Januari 2023.
Kasus Victor seperti memberi signal bahwa tahun ini angka kekerasan terhadap jurnalis agak berat untuk menurun dari tahun sebelumnya. Hasil rilis AJI Indonesia menunjukkan Jumlah kasus kekerasan pada 2022 meningkat jadi 61 kasus dari 43 kasus pada 2021. Dan, aktor negara disebut paling besar terlibat sebagai pelaku kekerasan, mulai dari TNI/Polri hingga pemerintah.
Bentuk kekerasannya beragam, di antaranya 15 kasus kekerasan digital, 20 kasus kekerasan fisik dan pengrusakan alat kerja, 10 kasus kekerasan verbal, 3 kasus kekerasan berbasis gender, 5 kasus penangkapan dan pelaporan pidana, ditambah 8 kasus penyensoran.
Sudah begitu, negara yang mestinya hadir memberi perlindungan terhadap jurnalis, justri masih mengancam lewat undang-undang dan regulasi produk pemerintah. Beberapa aturan itu antara lain UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE, UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, UU No 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Kemudian UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana, Peraturan Menteri Kominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat, UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja.
Salah satu bukti dari aturan yang banal itu, adalah UU ITE yang digunakan menjerat jurnalis Timurterkini.com, Muhammad Irvan, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Irvan kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tenggara, pada 9 Mei 2022 dan divonis bersalah.
Hak dan Beban Kerja
Pasca Orde Baru, terlebih setelah lolos dari belenggu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), publik telah menaruh harapan pada demokrasi lewat masa depan pers yang lebih baik. Namun, makin ke sini, perilaku pemerintah dan regulasi pendukung tak lagi memberikan jaminan itu. Wajar saja, bila kekerasan terhadap jurnalis makin meningkat.
Padahal, di tengah-tengah gempuran media sosial yang mengeksploitasi hak publik, dibutuhkan peran media massa untuk menyelamatkan publik melalui daya kontrol dan edukasinya. Tapi begitulah, pemerintah yang hendak memuluskan hasrat kuasanya, selalu saja mencari jalan untuk memangkas peran media yang idealis.
Mirisnya, jurnalis tak sekadar digempur dengan pelbagai macam ancaman kekerasan dari pihak eksternal. Perusahaan tempat mereka bekerja juga tak memberikan jaminan hidup yang layak. Faktanya, banyak perusahaan media yang menggaji jurnalis di bawah standar UMR. Dalam penelitian Citra Maudy Mahanani (2022), beberapa jurnalis media nasional mengaku gaji mereka tak cukup memenuhi kebutuhan.
Salah satu reporter Okezone mengatakan, “Untuk upah pekerja media itu masih relatif kecil. Ada sih beberapa media yang sesuai tapi beberapa saja, bisa dihitung jari. Kebanyakan masih kurang untuk fasilitas karyawan.”
Kondisi serupa juga terjadi di daerah. Hasil penelitian saya di Ternate, Maluku Utara, pada 2021 menemukan, ada jurnalis yang digaji per bulan Rp 500.000. Bahkan ada pula yang tak digaji, lalu diminta mencari pendapatan sendiri lewat iklan (promo news, advertorial, banner) dan kontrak dari pemerintah daerah, termasuk perusahaan swasta.
Sementara, di era distrupsi digital ini, tuntutan jam kerja tak menentu, beban kerja jurnalis semakin tinggi. Ada jurnalis yang masuk kerja pukul 8.00 dan baru pulang pada pukul 22.00. Bahkan dituntut untuk memenuhi kuota berita yang tinggi. Dalam sehari, jurnalis rata-rata bisa menulis 3 sampai 9 berita.
Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Multatuli, menyebut jurnalis di era ini dituntut untuk sebanyak mungkin menulis artikel singkat–secepat dan seviral mungkin. Tuntutan keterampilan pun semakin banyak. Seorang jurnalis harus punya ponsel dan komputer sendiri. Lalu harus bisa menulis, meneliti, memotret, membuat video, mengamplifikasi tulisan sendiri melalui media sosial, juga harus menguasai visualisasi data.
Jurnalis, dalam posisi itu tampak dieksploitasi oleh perusahaan media tempat mereka bekerja. Dalam istilah Vincent Mosco, disebut komodifikasi pekerja—tenaga dan pikiran para pekerja dimanfaatkan secara optimal, sekalipun beban kerjanya tidak sesuai dengan upah yang didapat.
Di sisi lain, jurnalis di Indonesia juga rentan dalam kebijakan sepihak yang mengeluarkan mereka dari pekerjaan. Pada 2022, AJI Indonesia menerima tiga pengaduan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang dialami oleh sekitar 200-an pekerja media BeritaSatu TV, 20 pekerja media Viva.co.id, dan 12 pekerja media Lampung Post.
Pun, belum seluruhnya jurnalis mendapat jaminan sosial. Dari 144 jurnalis yang terdata AJI Indonesia, baru 112 jurnalis yang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Sementara 31 jurnalis lainnya belum terdaftar.
Namun, sebagian besar (55 persen) jurnalis yang memiliki BPJS Kesehatan mendaftar secara mandiri dan hanya 44 persen yang didaftarkan perusahaan. Untuk BPJS Ketenagakerjaan, sebanyak 55,6 responden belum terdaftar dan baru 44,4 persen yang terdaftar.
Kendati begitu, peningkatan kekerasan dan kesejahteraan jurnalis yang rendah itu tak menghambat pertumbuhan media di Indonesia. Bahkan, menurut Agus Sudibyo (2022), pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia sejak 2020 tak menghambat pertumbuhan media. Hingga Juni 2022, terdapat 1.800 perusahaan pers yang terdaftar di Dewan Pers. Sementara, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, saat ini ada 43 media siber yang beroperasi di Indonesia, tapi hanya 970 terdaftar di Dewan Pers.
Peningkatan jumlah media itu juga tak sebanding dengan pendapatan media yang makin menurun, terutama sejak kehadiran platform digital seperti Google, Facebook, Instagram, dan YouTube. Karena menjadi tergantung dalam distribusi konten, perusahaan pers harus merebut iklan dengan para raksasa media itu. Alhasil, mereka kehilangan kendali dan pendapatan semakin kecil.
Masalah itu butuh campur tangan pemerintah. Selain perlu membikin regulasi yang dapat membawa keadilan dalam bisnis, juga harus dapat melindungi jurnalis dari kekerasan. Sebab, kemerdekaan pers adalah wujud dari jaminan hak publik untuk mendapat informasi yang kredibel. Tapi entah mengapa, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah lepas tangan, bahkan turut memperkeruh lingkungan media. []
———–
Ghalim Umabaihi, Pengajar Media dan Jurnalisme di Universitas Bumi Hijrah dan UMMU Ternate