Oleh: Yahya Alhaddad, S. Sos, Msi
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti
Partai Perindo nomor urut 03
Kini Ternate telah memasuki usia 773 tahun, dan di usia ini mestinya sudah mengalami kemajuan signifikan—bukan sekedar tampilan luar atau arsitek bangunannya. Negeri yang dijuluki kota Rempah ini jika ditelusuri jejak pasang-surutnya, dapat dikatakan masih “terbelenggu” dalam keadaan surut. Ini menjadi hal yang menarik karena membahas keterkaitan berbagai aspek untuk memahami (negeri Rempah) yang mengalami masa gugurnya sejak abad ke-19 hingga sekarang.
Sekilas saya mencoba mengajak kita untuk sejenak menengok latar sejarah Rempah dan kemudian saya mencoba mengaitkannya dengan masalah pasang-surutnya sumber pangan. Pada masa kuno, rempah-rempah adalah simbol eksotisme, kekayaan, prestise, dan sarat dengan kesakralan. Dalam berbagai catatan kuno di Mesir, Tiongkok, Mesopotamia, India, Yunani, Romawi, serta Jazirah Arab, rempah-rempah mulanya hanya dipercaya sebagai panacea (obat penyembuh) daripada pecitarasa makanan. Hal ini misalnya diungkap oleh filsuf Theophrastus (sekitar 372–287 M), bahwa rempah-rempah seperti lada masih banyak digunakan tabib daripada juru masak (Turner, 2011: 59).
Kegunaan rempah-rempah lantas berkembang menjadi bumbu untuk menutupi rasa tidak enak dan bau dari makanan, selain untuk menjaga kondisi makanan agar tetap segar. Catatan Tiongkok Ying-Yai Sheng-Lan (tinjauan menyeluruh di lautan samudera) dari Ma Huan yang merupakan laporan navigasi Zheng He (1405), membuka periode baru dunia niaga di Nanyang (Asia Tenggara). Selain itu periode ini (abad ke-15) pun menandai awal dimulainya perkembangan pertukaran bahan makanan dengan rempah-rempah antarlintas benua.
Pada masa itu pula mulai terbangun kesadaran membaharui citra kelam makanan selama abad pertengahan yang tidak berselera. Seiring itu, buku-buku masak mulai bermunculan di Eropa (Freedman, 2008: 19–20). Fakta sejarah ini memperlihatkan masa-masa kejayaan rempah dibarengi dengan masa-masa semi pertukaran atau perdagangan pangan lintas negara dunia.
Sistem perdagangan bahan pangan ini kemudian melandasi system politik pangan dunia berorientasi impor dan romantisme pangan murah yang kita kenal dengan konsep ketahanan pangan. Satu lembaga PBB yang berurusan dengan pembangunan pertanian–IFAD, International Fund for Agricultural Development–sejak awal tahun 90-an telah menegaskan bahwa ketahanan pangan berkaitan dengan pangan yang dimakan oleh individu dan ketersediaan pangan pada tataran rumah tangga, sub-nasional, dan nasional.
Jadi, dalam pengertian ini, ’ketahanan pangan’ adalah kondisi di mana ada akses untuk semua orang atas pangan dan nutrisi yang sehat, yang tentu saja akan sangat berkaitan dengan persoalan produksi, penyimpanan dan penyediaan, serta perdagangannya baik di tingkat lokal, nasional dan global. Ada empat dimensi dalam pengertian ’ketahanan pangan’ (food security), yakni: ketersediaan, akses, penggunaan pangan, dan stabilitas dari ketiganya (FAO 1996 dan 2008).
Cara pandang terhadap ’ketahanan pangan’ tersebut tentu berimplikasi pada pembentukan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pertanian dan penyediaan pangan. Dengan cara pandang seperti di atas, kebijakan pertanian pangan kemudian lebih banyak diarahkan pada kegiatan produksi pangan secara massal dan tersedianya akses orang per orang, keluarga per keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan atas produk pangan yang dikembangkan melalui perdagangan (pangan didistribusi melalui mekanisme perdagangan).
Mekanisme perdagangan dalam tahap lanjutnya dan seiring adanya persaingan ketat antar negara sehingga menciptakan apa yang disebut stagnasi. Sebab kinerja sistem pangan yang berpusat pada pendekatan berbasis importasi dan romantisme pangan murah telah menjadi pangkal keterjebakan ketahanan pangan terhadap pangan import. Pada saat yang sama orientasi ini telah serta merta menafikan pentingnya membangun kedaulatan pangan. Semua itu terjadi sebagai akibat dari salah kiblatnya pola pikir pembangunan perekonomian nasional yang memanjakan industri nonagro atau kapitalisme.
Kebijakan yang berpusat impor sumber pangan tersebut masih sangat terasa hingga sekarang ini. Dan fakta ini hampir terjadi di semua kota di Indonesia—termasuk Kota Ternate yang sumber pangannya masih bersumber dari luar terutama swasembada beras, jenis sayur-mayur seperti tomat, wortel dan lainnya. Hal ini menggambarkan jika Kota Ternate relatif rawan bila terjadi krisis pangan karena mengalami ketergantungan akut pada pangan impor. Adalah bukti nyata bahwa kebijakan pemerintah masih terus menafikan pangan lokal misalnya seperti padi ladang, sagu, pisang, kasbi serta sayur-mayur sebagai pembangunan berkelanjutan dan kemandirian di sektor pangan.
Petani dan Pelestarian Lingkungan
Menurut Artieri (2010) petani adalah para pengusung ‘teknologi lokal’ yang seringkali mencerminkan pandangan dan pemahaman tentang hubungan dengan alam yang lebih realistis dan berkelanjutan jika dibandingkan dengan warisan rezim ketahanan pangan, dan menyediakan dasar untuk ‘mengubah nilai budaya-ekologi pedesaan sebagai produk global’ (McMichael 2006). Keaslian mereka diistilahkan dalam tradisi perspektif agroekologi.
Pertanian agroekologi merupakan system pertanian model tradisional yang ramah terhadap lingkungan dan merupakan cara bertahan hidup di masa depan paling efektif. Agroekologi menyatukan antara konsep lingkungan dengan pertanian hingga meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat petani. Oleh karena menerapkan system siklus restorasi kesuburan tanah secara alami, memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan dan yang lebih penting adalah mengedepankan pangan lokal, menolak pangan berasal dari luar. Adalah bentuk dari model kedaulatan pangan dan otonomi petani.
Dengan pendekatan agroekologi, kalau-kalau diperjumpakan lalu berhubungan mesra dengan kebijakan hingga pencapaian atau perwujudan misi: keamanan pangan, peningkatan produktivitas, kesehatan, pendapatan, dan stabilitas lingkungan bagi petani kecil adalah suatu kebahagiaan rasional. Selain itu, keberlangsungannya jika dijalankan dengan baik tentu akan dapat memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat petani dan terjamin ketersediaan pangan.
Model pertanian ini bukan lagi asing, sebenarnya dari aspek sejarah telah dipraktekkan sejak ratusan tahun lalu oleh petani di negeri Rempah ini. Hanya saja pemerintah menafikan dan menggusurnya akibat dari kebijakan berorientasi impor. Seperti dijelaskan Desmarais (2007) penggusuran pertanian skala kecil saat ini terjadi sebagai konsekuensi dari adanya tekanan terhadap reproduksi sosial mereka karena hilangnya dukungan publik.
Akan sangat sulit mewujudkan pembangunan pangan berkelanjutan dan kemandirian petani jika kebijakan masih berorientasi impor. Apalagi Kota Ternate yang rentan akan ancaman krisis pangan dan lingkungan seperti sekarang ini—maka jalannya adalah merubah sikap politik; sikap keberpihakan terhadap Kedaulatan Pangan. Sebab Kedaulatan Pangan (Food Sovereignty) mengandung prinsip demokrasi, partisipasi, hak menentukan, tataniaga, termasuk segala atas pangan, dalam bahasa aslinya.
Kedaulatan jauh lebih lengkap dibanding rezim ketahanan pangan yang sekedar menyebutkan bahwa orang harus dapat makan tanpa menyebut darimana dan bagaimana datangnya (Rosset, 2003). Konsepsi ini adalah pilihan terakhir karena mengedepankan hak memutuskan, hak atas penguasaan aset dan tataniaga produksi pangan yang berkeadilan-berkelanjutan (Deklarasi Nyéléni, 2007 dikutip dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 2011).
Bila ditinjau dari segi produksi pangan berkeadilan dan berkelanjutan perlu adanya keberpihakan politik di sektor pangan berorientasi pada pengembangan usaha kedaulatan petani. Dengan demikian pemerintah Kota Ternate misalnya dipandang perlu mengidentifikasi jumlah petani, baik petani perorangan, kelompok, luasan lahan, persoalan apa saja yang mereka hadapi dan memprioritaskan pangan lokal sebagai dasar pembangunan Kedaulatan Pangan.
Mengapa harus Kedaulatan Pangan? Seperti sudah jelaskan di atas bahwa kedaulatan pangan adalah system pertanian berbasis agroekologi, yang dari sisi lingkungan: pertama, tidak merusak unsur hara tanah—apalagi Ternate yang kondisi lahannya semakin menyempit sekarang ini dan massif penggunaan pupuk kimia akan berakibat buruk pada kondisi tanah. Kedua, untuk menekan sampah plastik, oleh karena sampah hasil pertanian petani adalah sampah organik.
Sedangkan dari ketersediaan dan akses pangan, sekalipun terjadi krisis pangan, tetapi, bila konsep ini berhubungan mesra atau menubuh dengan kebijakan pada ranah praktis bisa jadi masyarakat pulau Ternate dan sekitarnya mengalami masa semi layaknya Rempah pada zamannya, meskipun kehidupan di luar sana dibalut kabut (krisis pangan).
Dari segi pemanfaatan (kegunaan), tentu akan sangat baik untuk kesehatan. Karena selain menggunakan pupuk organik (bahan alami) dan dari segi nutrisi, protein sangat potensial mencegah stunting. Asumsi bahwa pencegahan stunting melalui pemberian paket bantuan vitamin maupun sembako tidak relevan. Oleh karena yang dibutuhkan adalah memastikan asupan nutrisi, protein dari sumber pangan yang sehat, segar terpenuhi setiap harinya dan berkelanjutan.
Pada konteks ini konsep kedaulatan pangan atau pertanian agroekologi menjadi relevan, karena selain mengatasi kerawanan pangan, juga dapat meningkatkan harkat dan martabat petani kecil. Adalah sebagai hak memutuskan, hak atas penguasaan aset, menentukan arah hidup sendiri, berkembang dan hak memperoleh keadilan.
Akan ada pencapaian hasil maksimal (keadilan) bila terjadi kerja sama menubuh antar konsep dan kebijakan di ranah praktis. Jika tidak, tak ada yang “lebih” diharapkan di kota ini selain tergelincir, dan tak ada masa seminya seperti masalah sampah dan petani yang layaknya harapan tentang datangnya sejarah kejayaan Rempah.