Oleh: Richard Ibrahim*
Kurang lebih delapan warsa lalu, tepat pada 27 Juni 2016, di Stadion MetLife, New Jersey, Messi frustasi karena gagal membawa Argentina menjuarai Copa America. Kalah dari Cheli 4-2 lewat Adul Finalti, mimpi Messi untuk membuat Timnas Argentina bersinar bagai ilusi. Makin berat dan berkepanjangan.
Kalau dihitung mundur, La Pulga—-julukan Messi yang paling terkenal, dalam bahasa Spanyol berarti ‘kutu’— gagal menggaet trofi untuk La Albiceleste dalam empat Final secara beruntun: Final Copa 2016, Final Copa 2015, Final FIFA Word Cup 2014, Final Copa 2007.
Yang bikin hatinya tambah bernanah ialah ia sendiri yang gagal mengeksekusi pinalti bersama Lukas Biglia. Tahun 2016, hampir semua pendukung Argentina kecewa. Saat laga usai, para supporter Tim Tango menumpahkan kemarahan di depan kamera di siaran-siara televisi. “Dia tak punya nyali. Dia tak produktif. Aku selalu mendukungnya, tetapi cukup…” kata sala satu suporter. Tahun itu, hampir semua orang menyalahkan Messi. “Cukup sudah! Dia penipu, gadungan,” umbar simpatisan Argentina yang lain. “Dia lesu, Cuma berjalan di lapangan. Dia tak sebanding dengan Maradona…”
Ya, Diego Armando Maradona. Ia bukan hanya sebuah nama, tapi titah yang Agung. Sebelum Messi mekar di dunia sepakbola, Maradona bagi orang Argentina adalah pahlawan nasional bagai dewa. Bahkan ada yang mengkultuskannya sebagai Tuhan. Sementara para penggemar bola non-Argentina menganggap Maradona sebagai representasi keindahan tertinggi sepak bola.
Messi belum lahir saat Maradona menciptakan “Gol tangan Tuhan.” Generasi Messi hanya tahu bahwa Maradona adalah kiblat sepakbola Argentina dan barangkali dunia. Pada Piala Dunia 1986 Meksiko, Argentina menaklukan Inggris 2-1 lewat dua gol Maradona. Gol pertama dicetak Maradona menggunakan tangan pada menit ke 51. Wasit Ali Bennaceur dari Tunisia tak mengetahuinya. Berselang empat menit, Maradona membuktikan kualitasnya, menggiring bola, meliuk-liuk melewati lima pemain Inggris, dan menjebloskan bola ke gawang. Laga berakhir 2-1, hingga Argentina menadi juara Piala Dunia 1986.
Usai laga, Maradona sendiri merumuskan gol pertama kontradiktif itu dengan kata-kata “gol itu terjadi dengan sedikit kepala Maradona dan dengan sedikit tangan Tuhan.” Jadilah gol campuran itu yang hingga kini dipuja di luar batas-batas rasionalitas.
Komentator dan wartawan sepakbola Muhamad Kusnaeni memberi pengantar di buku Andy Marhaendra Dari Sihir Afrika hingga Gereja Maradona (2010): Dalam gol itu bersatu kegeniusan, kecurangan, kepintaran, kebodohan, kenyataan, dan kepalsuan sekaligus. Namun, itulah “moment of truth” yang mengukuhkan keabsahan Argentina sebagai juara dunia.
Pada 30 Oktober 1998, tepat hari ulan tahun Maradona ke-38, tiga fans Maradona merangkap acara talk show sepak bola berinisiatif mendirikan Gereja Maradona (bahasa Spanyol: Iglesia Maradoniana) di Kota Rosario, 186 mil dari Buenos Aires. Mereka adalah Hernan Amez, Alejandro Veron, dan Hector Campomar.
Hari berganti. Oang-orang Argentina mengkultuskan Maradona di ruang pemujaan itu. Bahkan ada Jamaat Gereja Maradona dengan menamakan diri mereka Maradonianos, sebagai sekte kepercayaan yang terbentuk dari prinsip logis dan deduktif. Para jamaah Maradonianos ini menyebut Maradona dengan nama ‘D10S,’ plesetan dari kata Spanyol dios yang artinya “Tuhan.”
Di tembok-tembok Gereja Maradona, ada dekorasi berbagai ornamen sebagai simbol ketuhanan. Banyak poster Maradona di berbagai club yang pernah disinggahinya. Di dinding belakang altar dan podium, ada poster besar Maradona saat mencetak gol tangan tuhan fenomenal itu.
***
Kita ke Piala Dunia 2006 di Jerman. Saat itu Maradona sudah pensiun. Messi kurang lebih berusia 19 tahun, dan masuk dalam daftar skuad yang dilatih oleh Jose Pekerman. Maradona selalu hadir di ruang ganti saat Argentina berhadapan dengan Pantai Gading dan Serbia-Montenegro, dua negera yang tergabung di Grup C. “Semua anggota tim masuk lapangan dengan perasaan berbeda setelah mendengar dorongan dari pemain terbaik dunia itu,” kata Ayala tentang Maradona di ruang ganti. Setelah masuk lapangan, Hernan Crespo cs mengamuk seperti kerasukan roh Maradona, membobol gawang Serbia-Montenegro enam gol tampa balas. Lima hari Sebelumnya, Argentina menaklukan Pantai Gading 2-1. Media-media Eropa menulis tentang babak pengisihan di grub C itu dengan “semangat yang dihadirkan Maradona,” “inspirasi dari maradona,” ada juga yang menyebut “Maradona pemain ke-12.”
Bayang-bayang Maradona itulah yang selalu berada di pundak Messi ketika ia berseragam Argentina, paling tidak sebelum memenangi Copa America 2021 dan Word Cup Qatar 2022.
Kekalahan di Final Copa America 2016 ialah kegagalan keempat final Messi yang paling pahit. Messi seperti merasakan neraka pribadi. Final rasanya seperti berjarak berjuta tahun kalender dengan juara. Di akir laga, Messi sempat menyatakan pensiun. “Ini terakhir aku main di Timnas. Seperti kubilang, sudah empat final. Ini bukan timku. Aku tidak bisa. Kurasa sudah cukup,” kata Messi kepada wartawan. “Keputusanmu sudah final?” tanya wartawan. “Kurasa. Entahlah,” balas-nya singkat.
Tak berhenti di situ. Pada FIFA Word Cup Rusia 2018 dan Copa America 2019, La Albiceleste bahkan tak melaju ke final. Narasi negatif Messi pun berlanjut. Orang-orang kerap membandingkan namanya hanya bersinar di club tapi redup di negaranya. Ia benar-benar statis. Maradona dan Pele pernah membicarakan hal ini dalam suatu acara promosi jam tangan Swiss di Paris. “Messi adalah pribadi yang besar, tetapi ia tidak mempunyai kepribadian untuk menjadi pemimpin,” kata Maradona.
Waktu berlalu, Messi terus mencoba lagi dan lagi. Ia membuktikan bisa keluar dari puasa gelar Copa America dua dekade lebih, tepat di Copa America 2021 setelah menyingkirkan tuan rumah Brazil di partai final. Tapi sayang, Maradona telah tiada. Ia tak menyaksikan perubahan kepemimpinan Messi dengan pemain-pemain muda yang memiliki motivasi tinggi dan berdedikasi hanya untuk sang kapten.
Kepemimpinan Messi berubah signifikan saat menghadapi Copa America 2021 dan setelahnya. Jorge Sampoli, mantan pelatih Argentina mengakui Messi memang pemimpin yang diam, namun ia bisa menunjukan kepribadiannya ketika bermain. Mantan pemain dan manajer Timnas Argen Sergio Bastita pun menambahkan “Messi ketika bicara di ruang ganti, semua mendengarkan.”
Terbukti ketika menyingkirkan Brazil di final Copa 2021. Sebelum ke luar lapangan, Messi memberi semangat kepada pemain “Itu alasan kita keluar lapangan, untuk mengangkat piala, membawanya ke Argentina, menikmatinya bersama keluarga dan teman.”
Copa Ameirca 2021 menjadi titik balik kepemimpinan Messi yang sebelumnya hanya menjadi momok semata. Di skuad Timnas yang sebagian diisi pemain muda seperi Julian Alvarez, Enzo Fernandez, Rodrigo De Paul, Emiliano Martinez, Lisandro Martinez, Alexis Mac Alister, adalah pemain-pemain yang ketika berusia enam dan tujuh tahun, mereka bermimpi menjadi pemain bola dan menganggap Messi sebagai panutan. Ketika debut bersama Messi di Timnas, segalanya diarahkan hanya untuk La Pulga semata. “99 persen Argentina adalah Messi. Kami hanya satu persen, sisanya. Kami berlari seperti singa dan berusaha membantu dia,” kata kiper Emiliano Martinez. Pemain gelandang Mac Alisster menambahkan “Sebagai rekan satu tim, kami melihat di dalam dan di luar lapangan dia senang, nyaman, dan itu penting untuk kami.”
Messi dan pemain-pemain muda yang menjuarai Copa America 2021 membuahkan Chemistry yang sangat bagus. Pria ajaib kecil dari Rosario, Santa Fe, akhirnya bisa menaklukan final di hadapan seluruh dunia di Qatar 2022 hingga berlanjut mengalahkan Juara Euro 2022 Italia pada Finalisasi 2023.
Senin (15/72024), Argentina akan berhadapan dengan Kolombia di partai puncak Final Copa America 2024. Jika berhasil, Argentina akan menyamai rekor Spanyol yang mengunci tiga kemenangan beruntun: Euro 2008, Word Cup 2010, Euro 2012.
Lionel Messi sendiri akan menjalani final ke-11 berseragam Argentina. Jika berhasil menghadang Kolombia, Messi sudah terlalu sempurna untuk seorang kapten. Apalagi final dilaksanakan di rumah Messi Stadion Hard Rock, Miami, tampaknya 82.000 kursi stadion Inter Miami akan lebih bergemuruh.
Untuk La Albiceleste, Messi sudah menyumbangkan 109 gol dan 186 penampilan. Namun sepak bola bukanlah show yang dangkal seperti opera sabun, Kata Sindhunata di buku Bola di Balik Bulan (200). Kolombia masih memiliki pemain kreatif James Rodriguez yang menciptakan enam asis dan satu gol di edisi Copa kali ini. Suratan sudah ditulis, dadu sudah dilempar. Ini final Copa America terakhir Messi, tapi Apakah James Rodriguez merobek suratan itu, dan justru menantang?
***
Awal Januari 2024, Netflix merilis serial dokumenter Captains of The Word hasil kerja sama dengan FIFA dan Fulwell 73. Serial dokumenter ini menyangkan cuplikan di balik layar wawancara dengan kapten tim sepak bola tersohor di dunia. Dan Messi menjadi sala satunya. Di episode terakhir, jurnalis Argentina Sofia Martinez seperti memberi adendum kepada Timnas Argentina seraya tak mengabaikan sumbangsi Maradona bagi bangsa Argentina: “Kami selalu butuh penyelamat. Kami butuh orang yang diteladani dan dipercaya. Kami selalu mencari itu. Di dalam figur seperti Messi dan Maradona, kalian melihat pahlawan yang mampu membahagiakan bangsa.”
Tahun 1982, terjadi perang Falkland atau perang kepulauan Malvinas. Perang tampa deklarasi yang berlangsung sekitar dua bulan lebih antara Argentina dan Inggris ternyata banyak mengakibatkan rakyat Argentina tewas karena membela diri.
Maradona memakai rasa sakit orang-orang yang gugur itu sebagai motivasi membakar semangat pemain di Piala Dunia Meksiko 1986 saat berhadang dengan Inggris di perempat final. Di ruang ganti, Maradona berbicara tentang Perang: “jangan hanya membela kaus Argentina, tetapi juga setiap pahlawan yang gugur. Kita tak punya senjata. Kita merayakannya dengan bola dan para fans.”
Saya ingat kata Darmanto Simaepa di bukunya Tamasya Bola; Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola (2016), bahwa untuk menjadi kuat dan terhebat dalam sejarah sepakbola, sepertinya kita harus mengalami kegagalan.
Gugurnya para pejuang Argentina di perang Falkland adalah kekalahan paling mengerikan bagi Maradona. Sedangkan Messi sudah cukup berkali-kali frustasi akibat ekspetasi yang kerap disematkan kepadanya.
Kini di usia senjanya, sudah sangat ideal Messi mengukir tinta emas untuk Argentina yang warganya rela menjual mobil untuk bisa ke Qatar menyaksikan Piala Dunia 2022 lalu. Apalagi rekan seperjuangannya Angel Di Maria sudah mengumumkan pensiun usai Copa 2024, La Pulga akan mempertahankan tahta Copa sebagai kado istimewa untuknya. “Un abarazo grande a todos, vamos Argentina” (Peluk jauh untuk semua, ayo Argentina), kata Messi di laman Facebook saat menjalani sesi latihan persiapan laga final. Ayok Messi, sekali lagi!
——
*Penulis merupakan enikmat Bola dan Fens Berat Argentina. Ketua Umum HMI Komisariat FISIP UMMU Periode 2017-2018, Pegiat Literasi Forum Studi Independensia