Oleh: Firman M. Arifin
Pegiat Literasi Independensia
“Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berutang budi pada sepak bola” Albert Camus (Shindunata, 387:2017)
Mario Zagallo ditanduk menggunakan kursi roda ditemani Tite, ia tampak senang sekalipun keriput telah membungkus dirinya. Federasi sepakbola Brasil meresmikan patungnya, sebagai bentuk penghormatan sekaligus hadiah hari lahirnya yang ke 91 pada Agustus kemarin. Dibalik patung itu tersingkap kolektivas yang memberi napas panjang Zagallo, dan Garrincha adalah tangga bagi Zagallo hari ini. Selain Pele, nama Garrincha tentu saja selalu mengisi catatan sejarah sepak bola ketika ikut membawa pulang trofi Jules Rimet dan mempersempakannya kepada rakyat Brasil pada 1958.
Kemiskinan, gelandangan, anak jalanan serta pemukiman kumuh adalah latar belakangkan kehidupan pemain Brasil, yang sering diasosiakan sebagai favela (pekampungan kumuh) atau Favelado (penghuni pekampugan kumuh). Garrincha tumbuh sebagai favelado yang bersemayang ditubuhnya. ia mengiring mimpi anak-anak favelado dan mengukir sejarah bersama Zagallo pada periode 1958, surat kabar Chile kala itu, El Mercurio menulis judul “Garrincha, Berasal dari Planet Mana Dia?” Bahkan ketika kematian menjemputnya tulisan “di sinilah bersemayam sosok yang pernah menjadi kebahagiaan orang-orang” tertera di atas nisannya.
Di dalam lapangan Garrincha mewujudkan apa yang disebut Von Magis sebagai kebebasan kehendak “manusia dapat memikirkan apa saja dia dapat menghendaki apa saja.” Garrincha menhendaki kebebasan tersebut sekalipun terlahir prematur; kaki kanan lebih panjang 6 cm dan melengkung ke dalam serta kaki kiri melengkung ke luar. Totalitas tekadanya sebagai favelado menghendaki apa saja ketika bola di kakinya, memberi, membawa dan melesatkan ke gawang atau bahkan lebih dari itu; membeli rumah mewah, foya-foya dan meneguk alkohol. Narasi anak-anak favelado adalah epos yang tak berujung, silih berganti mengisi waktu.
Tite baru saja mengumumkan kelompok favelado-nya yang akan diterbangkan Qatar, harapan mengulangi kedigdayaan pada dua dekade lalu dipupuk oleh rakyat Brasil. Ketika dilibas tank Panzer di rumah sendiri dan stragedi 1998 di final merupakan periode yang mencekam, gelingan air mata rakyat Brasil ketika dipecundangi anak-anak La Castellane di final 1998, Shindunata menulis “dua gol Zidane bagaikan pembenaran bagi ide Deridda bahwa I’impossible (ketidak-mungkinan) tentang masyarakat masa depan yang ramah dan terbuka itu harus dimungkinkan.” Zidane menjadi mimpi buruk bagi Zagallo dan cambuk bagi rakyat Brasil, namun sebaliknya “dua gol Zidane adalah peluru bagi Presiden Chirac untuk “menembak” Le Pen, ekstremis kanan yang anti pendatang asing” (387:2017).
Seperti mata Tramontina (golok khas Brasil) Tite cukup percaya diri, Jesus dan Neymar adalah mata Tramontina itu sediri, kedua anak muda itu memiliki kesamaan. Gambar seorang bocah bertelajang dada menenteng bola dan memandang Favela dari dalam lapangan dilukiskan di sebelah tangan kanan Jesus dan Neymar memilih mengabadikannya di betis kiri, seolah memberi kesan dari mana mereka berpijak. Selain keduanya ada Antony, anak mudah yang baru saja membasuh air mata ketika Tite memilihnya menjadi perhatian publik.
Ketika Robie Savage dan Paul Scoles yang menganggap aksinya tidak berguna. Savage dan Scoles barangkali lupa mencela aksi spinning Antoy sama hal mencela Ronaldo, bukankah Antony dan Ronaldo memiliki karakteristik yang hampir sama persis, menampilkan cara mengolah bola seindah mungkin. Aksi Antony malam itu ketika menjamu Sheriff Tiraspol di Old Traford bukan kali pertama, pria asal Brasil acapkali menampilkan aksi tersebut ketika masih mengenakan kostum Ajax. Bahkan ia berujar lewat platform media sosial milikinya “Kami (pemain Brasil) dikenal karena seni kami, dan saya tidak akan barhenti melakukan apa yang membawa saya ke posisi sekarang.”
Brasil hari ini tidak hanya melahirkan sosok Antony, seniornya di tim Nasional lazim kita temui, sebutnya mega bintang Neymar, telah melakukan berulang kali. Beberapa pendahulunya seperti Romario, Robinho, Ronaldo si kepala plontos adalah represntatif dalam hal ini, namun yang menjadi pembeda dari nama-nama diatas yaitu Ronaldinho, memori publik tentu mengasosiakannya sebagai seniman jarang ditemui atas rumput hijau, dikakinya bola terlihat amat menawan, menyisir dari berbagai lini, membawa dengan entennya, bahkan jika bola itu terdiam justru sangat berbahaya. Peristiwa itu terjadi di Shizouka adalah penanda. Ketika Kleberson dilanggar keras oleh Scholes pada menit 50 di sisi kiri, Filipe Ramos tak segan meniup tanda pelanggaran. Ronaldinho melengkungan bola dengan jarak 38 meter secara apik dan membuat David Seaman seperti kiper amatiran, memunggut bola dari dalam gawang. Bahkan pemain yang acapkali merayakan golnya dengan tarian samba itu turut terlibat atas lesatan Rivaldo ketika menyamakan kedudukan.
Kesadaran sering kali datang terlambat, bahwa menjerumuskan Brasil adalah langkah mustahil, mereka sedang tidak bermain sepakbola melainkan menyaksikan sepakbola sesungguhnya itu sendiri, para pemain Brasil mengajarkan bagaimana status sosial, kebebasaan, kolektivitas, seni dan kultur adalah entitas yang terintegrasi di dalam lapangan. Totalitas anak-anak Favelado adalah bagian dari apa yang disebut Albert Camus “Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berutang budi pada sepak bola” Albert Camus (Shindunata, 387:2017)
Sumber bacaan:
- Air Mata Bola, Shindunata 2017
- Umpan Lambung; Sepak Bola dan Industri; Himahi-Fisp Unhas
- Etika Umum, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Franz Magis Suseno (2005;47)
- https://amp-tirto-id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.tirto.id/garrincha-hedonis-lapangan-hijau-yang-terlupakan-etEd?amp_gsa=1&_js_v=a9&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=16678373653594&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&share=https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fgarrincha-hedonis-lapangan-hijau-yang-terlupakan-etEd
- https://www.google.com/amp/s/www.90min.com/id/posts/tite-umumkan-skuad-brasil-untuk-piala-dunia-2022-01gh9eynrpf7/amp