News  

Seni dan Sastra: Tanda Kebangkitan Peradaban

Ombudsman cermat, Muhammad Tabrani Mutalib. Foto: Istimewa

Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib

 

“A man can do all things if he will.”— Leon Battista Alberti

UNGKAPAN di atas berarti manusia mampu mencapai apa pun melalui nalar dan kreativitas. Ungkapan itu disampaikan oleh seorang arsitek, seniman, penulis, matematikawan, filsuf, dan humanis Italia bernama Leon Battista Alberti, yang merupakan salah satu tokoh terpenting dalam masa Renaisans awal. Ia dikenal sebagai perwujudan dari “homo universalis” atau manusia Renaisans sejati, yaitu individu yang unggul di banyak bidang ilmu dan seni sekaligus. Mayoritas tokoh-tokoh besar renaisans adalah polyglot dan sekaligus seniman dalam pengertian luas yakni para pencipta dibidang seni, ilmu dan humaniora.

Kesadaran akan pengembangan potensi manusia secara menyeluruh. Renaisans sebagai sebuah Gerakan mendorong pengembangan akal, etika, keindahan, dan teknik secara simultan. Seorang manusia ideal bukan hanya tahu satu hal, tetapi tahu banyak hal dan menciptakan sesuatu darinya (homo universalis). Itulah sebenarnya hakikat Pendidikan sejati, melahirkan individu-individu merdeka sekaligus pencipta, bukan sarjana-sarjana baut dan mur yang dipersiapkan sebagai alat produksi. manusia alat yang bekerja mengikuti kehendak mesin organisasi juncto birokrasi. Manusia jenis ini bersuara pun takut karena ia berfikir hidup-makan-berak mengikuti sistem.

Kebangkitan nalar seperti itu dilatarbelakangi oleh sejarah panjang kematian akal dihadapan dogma. Ketika Eropa memasuki Abad Pertengahan, kehidupan manusia diatur oleh dua kekuatan besar: gereja dan kaum bangsawan feodal. Di tengah tekanan dogma dan kekuasaan, muncul sebuah arus pembaruan yang tidak diawali oleh perang atau revolusi politik, melainkan oleh lukisan, patung, dan tulisan. Itulah Renaisans: kebangkitan kembali akal dan kemanusiaan melalui seni dan sastra.

Renaisans bukan semata momen estetik. Ia adalah ledakan intelektual yang menggugat tatanan lama. Dante Alighieri menulis Divine Comedy sebagai alegori perjalanan spiritual dan kritik sosial. Erasmus menyindir institusi gereja melalui The Praise of Folly. Di kanvas, Leonardo da Vinci dan Michelangelo memuliakan tubuh manusia, mengangkatnya sebagai simbol kecerdasan dan kebebasan. Di tengah dominasi gereja, karya-karya ini adalah bentuk pembangkangan yang halus, tapi mengakar.

Baca Juga:  Kasus Korupsi Dana Hibah Koni Ternate Lanjut Diproses, Jaksa Tunggu Audit BPKP

Seni dan sastra menjadi senjata tanpa kekerasan. Mereka menyuarakan hal-hal yang tak dapat disampaikan dari mimbar akademik atau istana. Dari sana, lahirlah perubahan: reformasi gereja, revolusi ilmiah, dan lambat laun, munculnya demokrasi.

Yang kerap luput dari narasi arus utama adalah kenyataan bahwa dunia Islam mendahului Eropa dalam hal pencerahan. Antara abad ke-8 hingga ke-13, kota-kota seperti Baghdad, Kordoba, dan Samarkand menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, dan kesenian. Para pemikir seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd tak hanya menerjemahkan teks-teks Yunani, tetapi mengembangkannya dengan kerangka rasional Islam.

Sastra pun berkembang pesat. Jalaluddin Rumi menulis puisi cinta yang menggugat formalisme agama. Muhammad Hāfez-e Shīrāzī (seorang penyair sufi Persia) menertawakan kemunafikan kaum saleh. Sains, filsafat, dan spiritualitas tidak dianggap bertentangan, tetapi saling melengkapi. Dunia Islam kala itu tidak takut pada kebebasan berpikir—ia justru menjadikannya sebagai pondasi peradaban.

Sayangnya, kejayaan itu memudar. Penutupan pintu ijtihad, dominasi politik ortodoks, dan invasi asing menggerus tradisi kritis yang pernah hidup. Dunia Islam mundur, sementara Eropa, yang menyerap warisan intelektual Islam, justru melaju.

Indonesia sebenarnya juga memiliki jejak pencerahan intelektualnya sendiri. Pada 1930-an, sekelompok sastrawan dan pemikir memantik perdebatan besar tentang arah kebudayaan bangsa. Polemik Kebudayaan itu melibatkan nama-nama seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Ki Hadjar Dewantara, Sanusi Pane, dan Armijn Pane.

Pusat perdebatan: apakah kebudayaan Indonesia harus dibangun di atas semangat modernitas dan rasionalisme ala Barat, atau justru meneguhkan nilai-nilai spiritual Timur dan akar tradisional-feodalistik?

Sutan Takdir, dengan gaya rasional dan progresif, memandang Barat sebagai model pembangunan masa depan. Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan menolak penyeragaman itu, dan menekankan pentingnya kepribadian budaya nasional ala theosofi jawa. Mereka menulis, berdebat, dan berargumentasi melalui artikel-artikel tajam di media massa—bukan di ruang seminar ber-AC atau di belakang meja kekuasaan.

Baca Juga:  Polda Maluku Utara Targetkan 1.000 Peserta dalam Bhayangkara Kie Raha RUN

Itu adalah masa ketika adu gagasan dianggap hal wajar, bahkan penting. Ketika pemikiran punya bobot dalam kehidupan publik. Ketika menulis adalah bagian dari perjuangan membangun bangsa.

Hari ini, kita justru menyaksikan kemunduran dalam semangat itu. Kebudayaan disubordinasikan di bawah pembangunan fisik. Sastra dianggap pelengkap kurikulum, bukan pilar pembentukan karakter. Seni hanya dipanggil saat perayaan, bukan diajak berdialog dalam menyusun arah bangsa.

Kritik dianggap gangguan. Sastra dianggap tidak “produktif”. Sementara politik dibanjiri kalkulasi elektoral yang kering visi dan makna. Tak heran jika literasi publik menurun, dan ruang berpikir menyempit. Ketika sastra dan seni tak lagi diberi ruang, bangsa perlahan kehilangan daya bayang dan kemampuan refleksi.

Padahal, sejarah telah membuktikan: tak ada peradaban besar yang lahir tanpa kebebasan berpikir dan kekayaan ekspresi budaya. Renaisans dan Islamic Golden Age terjadi bukan karena perubahan rezim, tetapi karena lukisan, puisi, dan pemikiran filosofis.

Dunia Islam berjaya bukan karena ekspansi militer, tetapi karena mencintai ilmu dan memberi ruang bagi nalar. Polemik Kebudayaan di Indonesia menandai bahwa pertumbuhan bangsa pernah digerakkan oleh pena, bukan peluru.

Yang kita butuhkan hari ini adalah pemulihan semangat itu. Politik harus berhenti meminggirkan seni dan sastra. Negara harus membuka ruang bagi kebudayaan sebagai basis pembangunan jangka panjang, bukan sekadar hiasan program kerja. Sekolah dan media harus memulihkan sastra sebagai alat berpikir, bukan hanya hiburan.

Kita perlu kembali pada kesadaran bahwa kekuatan bangsa tidak terletak pada infrastruktur atau investasi asing semata, tapi pada kemampuan warga negaranya untuk berpikir, menulis, dan mencipta.

Sebab ketika sastra mati, kita kehilangan bahasa untuk memahami kenyataan. Dan ketika kebudayaan dibiarkan layu, kita hanya akan menjadi negara yang sibuk membangun gedung—tapi lupa membangun jiwa. Kita sebagai kaum terpelajar harus percaya bahwa in the light of reason, man reclaimed his place—not beneath angels, but beside the stars. The brush, the book, and the chisel became his weapons in the war against darkness.

Baca Juga:  ICMI Malut dan Kemendes PDTT Resmi Launching Lomba Film Pendek

—–

Penulis merupakan praktisi hukum sekaligus pengajar di Universitas Khairun Ternate