Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah Eksekutif Maluku Utara mendesak pemerintah mencabut sejumlah Program Strategis Nasional (PSN) yang berjalan di wilayah Maluku Utara.
Desakan ini disampaikan saat aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Maluku Utara pada Kamis, 27 November 2025, sebagai bentuk kekecewaan atas kerusakan lingkungan yang diduga dilakukan para pemilik usaha pertambangan.
Direktur WALHI Maluku Utara, Faisal Ratuela, mengatakan warga terdampak industri pertambangan nikel di Pulau Obi dan Weda bersama jaringan solidaritas di Maluku Utara terus menggalang kekuatan untuk memperjuangkan ruang hidup yang kian tergerus kepentingan korporasi.
“Kepentingan korporat dan oligarki merangsek masuk dengan iming-iming kesejahteraan. Namun faktanya, mitos pembangunan berwajah industri tambang justru melahirkan kemiskinan dan merusak tata ekologi di kampung kami,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, Kamis, 27 November 2025.
Faisal menambahkan, mereka yang lahir dan tumbuh di Halmahera kini menyaksikan langsung bagaimana hutan Akejira terus menipis akibat aktivitas PT IWIP. Sementara itu, suara ombak perlahan tenggelam oleh deru mesin smelter dan PLTU milik Harita Nickel.
“Atas nama penyelamatan krisis iklim global, warga dipaksa menanggung dampak penggusuran hutan demi memenuhi kebutuhan energi terbarukan berbasis baterai untuk kendaraan listrik,” katanya. “Mereka berdalih menyelamatkan bumi dari pemanasan global dengan baterai, tetapi praktik di lapangan justru memicu perubahan iklim mikro dan menghancurkan alam kami.”
Ia menyebut, rakyat saat ini berhadapan dengan “gurita tambang” yang memiliki banyak kaki, mulai dari regulasi yang menjadi karpet merah bagi investasi padat modal, hingga pengerahan aparat yang sewaktu-waktu siap menindak warga yang berjuang mempertahankan ruang hidup.
Dalam aksi tersebut, warga terdampak industri tambang nikel di Pulau Obi dan Teluk Weda bersama jaringan solidaritas menyampaikan sikap sebagai berikut:
- Menegaskan bahwa prinsip keadilan ekologi harus menjadi dasar kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dengan melibatkan partisipasi warga lokal.
- Mendesak pemerintah segera mengoreksi kebijakan transisi energi yang dinilai mengarah pada praktik energi kotor yang ekstraktif dan eksploitatif.
- Mendesak pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas praktik perampasan ruang hidup serta kerusakan ekologi yang memicu bencana ekologis di tingkat lokal.
- Menolak relokasi atas nama pembangunan. Mereka menuntut agar pihak yang merusak lingkungan yang harus angkat kaki, bukan warga yang dipaksa meninggalkan kampung dan identitasnya.
- Meminta Pemprov Maluku Utara menekan pemerintah pusat untuk memberlakukan moratorium pertambangan di seluruh kabupaten/kota demi menyelamatkan ruang hidup masyarakat adat.
- Menghentikan seluruh praktik kejahatan korporasi di Maluku Utara.
- Menolak pertambangan, karena lingkungan yang sehat hanya dapat terjaga dari alam yang hijau.
- Menghentikan perampasan tanah adat dan berbagai konflik sosial.
- Menghentikan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan di Maluku Utara.
- Masyarakat Kawasi dan Weda menuntut keadilan ekologis.
- Menuntut pemulihan wilayah Maluku Utara, khususnya Obi, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Mangoli, dan Taliabu.
