Merayakan Pengetahuan di 7 Tahun cermat

(Sebuah Orasi Kebudayaan)

Rinto Taib, Penggagas Museum Alfred Russel Wallace saat orasi kebudayaan pada acara Malam bertutur di Pandopo Benteng Oranje Ternate, 18 Desember 2025. Foto: Tim cermat

Oleh: Rinto Taib
Penggagas Museum Alfred Russel Wallace

Tujuh tahun perjalanan cermat yang sebelumnya merupakan media patner kumparan di Kota Ternate dalam misi literasi media terekam memilih jalan “narasi ekologi” sebagai cara merayakan tujuh tahun perjalanannya yang dimulai dari Kemah Bertutur di Pulo Tareba, Orasi Kebudayaan, Story Telling, Diskusi Novel, dan lain-lain yang kemas dalam tajuk kegiatan: “Mendengar Suara Pelosok, Menenun Makna”. Saya pun di daulat memberi Orasi Kebudayaan di momentum Malam Bertutur di Pandopo Museum Benteng Oranje Ternate pada Kamis, 18 Desember 25.

Secara pribadi, momentum orasi kebudayaan (ilmiah) dalam perayaan hari jadi sebuah media seperti yang dilakukan cermat patut diapresiasi dan semoga menginspirasi lebih banyak media sebagai ruang diskursus publik dengan menjadikan media sebagai medium propaganda politik dalam mempengaruhi regulasi kebijakan dan jalan lain merayakan pengetahuan dengan mengarahkan pilihan dan pikiran publik untuk merekonstruksi masa depan. Pada konteks ini, media telah memproduksi wacana bagi kepentingan khalayak ramai.

Momentum seperti ini juga akan mengantarkan kita menelusuri labirin polemik kebudayaan. Sebuah momentum yang membangkitkan kesadaran kritis kita bahwa sejarah harus ditulis ulang di tanahnya sendiri dengan narasi tandingan atas kronik yang terlalu lama ditulis dengan cerita dan mitologi dan legenda yang melampaui makna sejarah itu sendiri hingga kepentingan dari balik bilik sang penguasa tentang janji kesejahteraan, keadilan, hingga jalan keselamatan dengan narasi yang dibingkai jubah kekuasaan.

Kekuasaan yang berpihak kepada kepentingan siapa? kepentingan rakyatkah? kepentingan kaum pemilik modalkah? atau kepentingan oligarki yang menggerogoti nasib hidup  dan hak atas sumber daya agraria termasuk tanah demi industri pertambangan, demi sebuah pembangunan yang faktanya dianggap menjauhkan rakyat dari kehidupan eksistensialnya ditengah keberlimpahan kekayaan alam, ditengah keberlimpahan data tentang meroketnya pertumbuhan ekonomi daerah yang tak disertai dengan peningkatan kesejahteraan hidup warga tempatan. Sebuah grafik pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan segelintir elit lokal, pemilik modal dan sebagian kalangan di dapur kekuasaan negara.

Baca Juga:  Jurnalisme Prabayar di Tahun Politik

Orasi kebudayaan seperti ini menjadi refleksi sekaligus evaluasi bagi kerja-kerja kebudayaan dengan mendorong manifestasi kontemporer kebudayaan yang memberi solusi dari sekedar mitos dan legenda masa lalu dengan mengubahnya menjadi kebijakan yang berpihak pada masa depan yang lebih baik di tanah leluhur. Pada konteks ini pula, kita sepertinya dituntut untuk menghadirkan narasi tandingan terhadap sejarah yang terlalu lama ditulis oleh cerita tentang kemenangan dalam peperangan melawan kolonialisme, cerita tentang bumbu rempah hingga ramuan penambah stamina (baca Jack Turner, 2011).

Dari sudut pandang ruang publik, diskursus yang tak kalah menarik saat ini adalah upaya revitalisasi dan penataan kawasan ruang kota yang dilakukan melalui berbagai program penataan kawasan termasuk ruang pusaka misalnya, penataan fisik dilakukan mulai dari pelestarian bangunan atau lingkungan kota tua, tata bangunan, pengolahan uang terbuka hijau dan penataan ruang publik dan jalur pedestrian hingga cakupan strategi pengembangan kepariwisataan daerah yang kaya akan pusaka alam, pusaka sejarah dan pusaka saujana yang memikat bagi warga dan pengunjung.

Kota Ternate misalnya yang juga masih memiliki situs benteng-benteng kolonial, gastronomi hingga jejak keilmuan dari para naturalis dan penjelajah dunia seperti Alfred Russel Wallace dan lain-lain sebagainya. Tentunya hal tersebut, turut menjadi bagian penting dalam berbagai diskursus publik dan wacana pembangunan yang tak penah luput dari tangkapan / pemberitaan media selama ini. Dari perdebatan situs rumah Wallace, seremoni disetiap batas rezim hingga proyek pembangunan Observatorium Wallacea yang pernah didanai Pemerintah Provinsi Maluku Utara di kawasan benteng Oranje namun terputus ditengah jalan dan kini semoga menjadi program prioritas pasca kunjungan dan peresmian Museum Sejarah Ternate oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon di benteng Oranje pada Kamis, (27/11/2025) lalu.

Baca Juga:  Konflik PSN dan Janji Kepala Daerah 

Pembangunan Museum Alfred Russel Wallace menjadi urgen ditengah meningkatnya spirit literasi ekologi yang menyadarkan publik atas resiko kebencanaan dan murka alam akibat pengabaiian kita terhadap pelestarian ekosistem alam. Disisi yang lain, sebagai ruang hidup kebudayaan ditengah ruang pusaka yang memiliki latar historis dan arkeologis, lanskap sosial kultural dan jejak keilmuan sang naturalis yang berkebangsaan Inggris ketika meneliti keanekaragaman hayati tak hanya di bumi Maluku Utara melainkan juga menjelajah ke berbagai daerah lainnya di nusantara yang berkontribusi nyata bagi ilmu pengetahuan dunia termasuk sejarah alam dan biologi modern. Dan Ternate sebagai episentrum dari rangkaian aktivitas penelitiannya tersebut hingga menghebohkan dunia lewat “Letter from Ternate” (1858), yang ditulisnya ketika itu dan dikirimkan kepada Charles Darwin koleganya di Inggris hingga menginspirasi lahirnya teori Seleksi Alam (teori Evolusi) sebagaimana tertuang dalam buku Darwin, On The Origin of The Species (1859).

Peristiwa bersejarah ini pula menjadi penting kita ketahui untuk merekonstruksi masa depan sembari terus berupaya meningkatkan riset kebudayaan. Bagaimana kita membentuk masa depan tanpa menyelami masa lampau? tentu adalah sesuatu yang penting untuk kita sadari bersama ditengah keberlimpahan jejak historis dan arkeologi termasuk situs rumah Wallace yang berada tidak jauh dari benteng Oranje saat ini (baca cermat, 3/9/2019). Situs rumah yang juga telah diteliti oleh Paul Winchup seorang Profesor air tanah yang meneliti sejumlah sumur di kelurahan Santiong sebagai penanda bersama tim yang didukung oleh The Alfred Russel Wallace Correspondence Project yang berbasis di Inggris (baca The Quest For Legendary House of Alfred Russel Wallace in Ternate, 2022).

Selain atas alasan tersebut, pemanfaatan ruang budaya (lanscape heritage) itu juga dapat dijadikan sebagai bagian dari strategi pengembangan destinasi wisata sejarah dan wisata budaya dalam rangka menelusuri dan merekonstruksi masa lampau, membangun imajinasi masa lampau untuk menumbuhkan inspirasi bagi masa depan melalui jejak keilmuan yang beroerintasi pada semangat konservasi dan prinsip-prinsip ekologis dari kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati serta keanekaragaman budaya kita sembari membangun partisipasi dalam jaringan global (VOC heritage network) sebagai misi ilahiah untuk membaca alam lewat pesan langit, juga bagi masa depan bersama yang lebih baik bagi kemanusiaan, sebagai rahmat bagi seru sekalian alam termasuk melalui literasi media yang secara konsisten dilakukan cermat hingga diusia yang ke-7 tahun saat ini…

Baca Juga:  Dinas ESDM Malut Dorong Pelaku Usaha Batu Mulia Berinovasi

Eksis bertahan hingga tujuh tahun adalah sebuah penanda akan kemenangan yang penuh tantangan untuk terus bertahan. Mengutip Herman Oesman dalam Rempah Terakhir: “Hari ini kita menang, bukan karena kekuatan, tapi karena tak mau kalah dalam kemanusiaan”, (hal: 73). Sekali lagi, dirgahayu untuk Cermat yang ke-7 tahun. Bravo!