Air di area persawahan Desa Baturaja, Desa Bumi Restu, dan Desa Mekarsari, Kecamatan Wasile, Halmahera Timur, Maluku Utara, yang sebelumnya jernih kini berubah menjadi coklat kemerahan.
Perubahan warna air ini didokumentasikan warga sejak 10 hingga 13 April 2025. Pencemaran serupa juga tercatat pernah terjadi pada 4 Mei dan 8 Juni 2024.

Air irigasi yang digunakan para petani bersumber dari Sungai Muria, yang berhulu di Daerah Aliran Sungai (DAS) Watowato, kawasan perbukitan yang dikenal sebagai hulu sungai-sungai terbaik di Halmahera Timur. Kini, sungai tersebut tampak keruh dan berwarna kemerahan.
Warna merah bercampur lumpur pekat itu diduga berasal dari aktivitas tambang nikel di atas Bendungan Opyang, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari area persawahan dan 4,72 kilometer dari permukiman warga.
Di sekitar bendungan, terdapat empat perusahaan tambang nikel, yaitu PT Jaya Abadi Semesta, PT Alam Raya Abadi, PT Indo Bumi Nickel, dan PT Forward Matrix Indonesia.
Menanggapi kondisi ini, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, Julfikar Sangaji, menyebut peristiwa di Subaim sebagai bentuk pembiaran kejahatan oleh pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

“Alih-alih bersikap tegas terhadap tambang, pemerintah justru tampak ciut saat berhadapan dengan korporasi tambang nikel,” ujar Julfikar, Minggu, 13 April 2025.
Ia menambahkan, kasus seperti ini bukan yang pertama kali terjadi di Subaim, wilayah yang dikenal sebagai salah satu lumbung pangan beras di Halmahera Timur.
“Semakin ke sini, petani makin menjerit karena lahan-lahan produksi mereka rusak akibat air irigasi yang tercemar,” lanjutnya.

Menurut Julfikar, pembiaran ini mengindikasikan bahwa pemerintah lebih berpihak pada kepentingan tambang dibandingkan menyelamatkan ruang hidup warga.