Gerusan ekskavator Perusahan Tambang diduga membuat areal perbukitan di Desa Elfanun, Kecamatan Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, tampak compang-camping. Aktivitas pertambangan nikel itu kian dekat dengan sekolah dan gereja.
“(Aktivitas pembongkaran) baru berjalan sekitar satu-dua bulan ini, baru saja itu,” ujar warga Desa Elfanun, Abdul Hayat kepada cermat, Kamis, 13 Maret 2025.
Abdul menyebut, areal pertambangan nikel itu berdekatan dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Halmahera Tengah, gereja katolik, gereja protestan, serta permukiman warga.
“Jarak dengan gereja sekitar 100-200 meter. Kalau sekolah sekitar 300-400 meter. Itu berhadapan dengan permukiman warga juga,” terangnya.
Perbukitan yang menjadi tempat bermain Abdul semasa kecil itu, sebelumnya dimanfaatkan oleh PT Aneka Tambang (ANTAM) sebagai area water treatment atau penjernihan air. Lokasinya tepat di belakang gereja. Sedangkan di belakang SMA Negeri 3 terdapat perkebunan kelapa milik warga.
“Dulu ANTAM jadikan tempat penjernihan air (water treatment), itu di belakang gereja. Kalau di belakang SMA itu ada kebun warga, rata-rata kelapa. Di situ dulu kami punya tempat main, naik-naik bukit di situ. Jadi (titik penambangan) sudah dekat sekali itu,” katanya.
Abdul mengaku tidak tahu, apakah keberadaan sekolah dan gereja masuk dalam kawasan konsesi perusahaan itu atau tidak. Sebab, jaraknya cukup dekat.
“Hanya sekian meter saja itu. Kami juga belum tahu batas konsesinya sampai di mana, karena tiba-tiba sudah pembongkaran itu, kami kaget juga,” tuturnya.
Abdul tidak bisa membayangkan jika hujan deras mengguyur wilayah tersebut. Di samping itu, aktivitas ekskavator di area perbukitan mengakibatkan debu bertebaran di ruang-ruang kelas. “Siswa belajar juga sudah tidak nyaman,” katanya.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, Julfikar Sangaji mengatakan proses penghancuran ruang hidup warga di Pulau Gebe bukan baru kali ini. Tapi sudah dimulai sejak tahun 70-an.
“Pulau Gebe ini sudah dihajar hingga babak belur oleh perusahaan pelat merah, PT Aneka Tambang,” katanya.
Setelah ANTAM menghentikan operasinya, alih-alih Pulau Gebe dipulihkan dan dibebaskan dari marabahaya tambang, tapi pemerintah terus mengobral daratan mungil tersebut kepada pebisnis nikel.
“Jadi sampai saat ini, Pulau Gebe masih menjadi arena penghancuran yang tak berkesudahan,” tuturnya.
Julfikar mengungkapkan, sejauh ini ada sekitar 7 perusahaan tambang nikel yang mengepung Pulau Gebe. Bahkan, satu di antaranya milik Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, yakni PT Karya Wijaya.
“Jelas akan mengusik ketentraman warga, sekaligus ruang aman bagi aktivitas pendidikan dan pusat peribadatan. Pertambangan di area itu akan mendekatkan marabahaya bagi pelajar maupun warga,” ujarnya.
Bagi Julfikar, pertambangan kemudian menjadi sesuatu yang kontras dari rezim hari ini. Alih-alih memprioritaskan pendidikan, pemerintah justru getol memperluas daya rusak lingkungan lewat industri pertambangan.
“Termasuk apa yang bisa diharapkan dari gubernur saat ini, yang punya rekam jejak seorang pebisnis, termasuk industri ekstraktif. Apakah dia akan menyelamatkan warga?” imbuh Julfikar.
—-
Penulis: Olis