Buku: Sunyi dalam Keriuhan

(Sebuah Postscriptum)

Foto penulis

Oleh: Herman Oesman*

 

Buku adalah gudang ilmu, dan membaca adalah kuncinya
(W.S. Rendra, 1935 – 2009)

Di zaman ketika layar mendominasi hidup dan jari-jemari lebih akrab menggulir notifikasi daripada menyentuh lembaran kertas, buku mungkin terasa seperti peninggalan masa lalu. Di tengah gemuruh dunia digital, buku masih menjadi barang yang sunyi bagi tempat manusia berpaling dan menyelam dalam diri sendiri.

Hari Buku Sedunia, yang setiap 23 April diperingati, bukan hanya tentang benda-benda berjilid itu—ia adalah tentang kenangan, kesadaran, dan kelangsungan nalar manusia. Hari bersejarah dan penting itu pun sunyi dari perayaan.

Buku tidak pernah sekadar cetakan huruf. Ia adalah denyut sejarah, suara zaman, dan terkadang, napas dari jiwa-jiwa yang terluka.

Penulis kawakan asal Argentina, Jorge Luis Borges pernah menulis, “Saya selalu membayangkan bahwa surga itu semacam perpustakaan” (Borges, 1960, Labyrinths). Surga—bukan karena kemewahan, tapi karena kedalaman yang tak terhingga dari kata-kata.

Mari kita mundur ke masa ketika buku ditulis dengan tangan, berlembar perkamen, dan disimpan dalam perpustakaan bisu nan dingin, pada biara-biara yang sunyi. Para cendekiawan besar Muslim, para rahib itu, mereka menulis bukan untuk pasar, melainkan untuk keabadian, untuk mencerahkan bilik dunia.

Dari situlah lahir tradisi kesarjanaan, refleksi, dan doa yang terpatri dalam tinta. Jauh sebelum dunia mengenal mesin cetak. Mereka tekun mengeja kata, menganyam huruf, merangkai kalimat dengan sabar, dan menulisnya menjadi lembaran pesan bermakna yang menggugah dan merangsang ide untuk terus berpikir, yang kelak menjadi konsep dan teori, seterusnya dan seterusnya.

Buku juga menjadi arena perlawanan. Di dunia Muslim abad pertengahan, buku telah melahirkan revolusi intelektual yang dahsyat hingga hari ini : Ibnu Sina dengan Al-Qanun fi al-Tibb (1025) yang kelak menjadi The Cannon of Medicine, buku rujukan bergengsi para ilmuwan bidang kedokteran di dunia hingga hari ini. Lalu ada Al-Farabi dengan Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, yang menjadi acuan ketika membicarakan negara ideal atau negara utama.

Baca Juga:  Sosial Ekonomi Terhadap Pengaruh Air Isi Ulang Atas Senyum Mahasiswa IAIN Ternate

Buku telah menjadi jembatan ilmu, menembus batas budaya dan bahasa. Penulis terkemuka, Karen Armstrong menyebutkan bahwa “perpindahan pengetahuan dari Timur ke Barat dimungkinkan oleh buku, yakni terjemahan Arab ke Latin” (lihat, Armstrong, 2007: 114).

Buku mengajar kita menjadi manusia yang tidak semata hidup, tapi juga berpikir, merdeka, dan merasa. Dalam kata-kata Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah” (Toer, 1981: 87). Kata-kata Pram bukan hanya pesan, tapi juga nyala dari pengalaman: menulis di balik terali, membukukan penderitaan bangsa.

Kini, di hadapan kita, buku berhadapan dengan tantangan baru. Teknologi mempercepat hidup, memendekkan perhatian, dan menggoda manusia dengan segalanya yang instan. Buku bukan hanya kalah dari gawai, tapi juga dari kelelahan psikis manusia modern.

Seorang sosiolog Prancis, Roger Chartier, dalam The Order of Books (1994), menulis bahwa cara kita membaca membentuk cara kita berpikir. Bacaan cepat—yang kerap kita lakukan di internet—mendorong kedangkalan refleksi. Buku, di sisi lain, memerlukan ketekunan, kesabaran, dan kesunyian : hal-hal yang mulai asing di abad ini.

Hari Buku Sedunia yang telah berlalu dan masih terasa, harusnya menjadi momen reflektif bagi Pemda dan lembaga pendidikan (di Maluku Utara) : apakah kita masih bisa tinggal bersama sebuah buku, seperti tinggal dengan seorang kekasih, tanpa tergoda berpindah? Apakah kita masih mampu diam di satu tempat, membiarkan satu kalimat meresap seperti doa?

Pertama kali jatuh cinta pada buku saat SD dan SMP. Adalah sebuah novel tipis, usang, beberapa ujung lembarnya telah sobek kecil, berjudul Layar Terkembang (terbit pertama tahun 1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana. Bukan hanya kisahnya yang memikat, tapi aroma kertas tua, sunyi halaman, dan cahaya saat sore jelang magrib yang jatuh ke lembaran seolah menyeret saya ke dalam dunia baru. Buku itu mengubah saya. Sejak itu, buku menjadi rumah. Tempat saya pulang, berkeluh, dan bercerita usai sekolah atau mengaji di rumah sederhana guru yang multitalenta, Ustadz Yahya M Saleh (alm).

Baca Juga:  Cuan: Dari Buku Pertama ke Buku Kedua

Saat di SMA kelas 1, saya begitu tergila-gila dengan novel fiksi karya penulis Inggris, Enid Blyton, Lima Sekawan (terbit pertama tahun 1942), menjadi tempat menumpahkan jiwa petualangan saat pulang sekolah.

Mereka yang dibesarkan oleh buku akan tahu: tidak semua jawaban ada di internet. Ada kearifan yang tumbuh pelan, melekat seperti lumut di dinding hati, yang hanya bisa dibentuk oleh buku. Seperti yang ditulis oleh Italo Calvino, wartawan dan penulis novel : “Seseorang membaca bukan untuk melarikan diri dari dunia, tapi untuk memahaminya dengan cara yang lebih dalam” (Calvino, 1986: 45).

Buku juga adalah jalan untuk memahami orang lain. Dalam halaman-halaman yang kita baca, kita menjumpai tokoh yang berbeda, budaya yang lain, dan luka yang tak pernah kita alami sendiri.

Dari buku lahirlah membaca. Membaca merupakan latihan empati. Dalam dunia yang makin terbelah oleh perbedaan, membaca mungkin sebuah tindakan revolusioner.

Buku bukan sekadar milik para filsuf atau akademisi. Di pelosok desa, di pinggir sungai, atau di ruang kelas yang berdinding papan, buku tetap berdenyut sebagai penggerak. Di belahan bumi Halmahera, mungkin saja kita menyaksikan seorang ibu guru membawa buku bacaan yang sudah sobek untuk dibacakan kepada anak-anak yang duduk bersila di tanah. Mata anak-anak itu menyala. Mereka tertawa, bertanya, membayangkan. Buku-buku itu mungkin tak lengkap, tapi cukup untuk menyalakan imajinasi. Dan dari imajinasi itulah lahirlah harapan.

UNESCO (2023), menyatakan bahwa Hari Buku Sedunia dirancang untuk “mendorong setiap orang, khususnya kaum muda, untuk menemukan kesenangan membaca dan menghargai kontribusi para penulis dan penerbit”.

Bagi saya, hari buku adalah momen kita bertanya: sudahkah kita menjadi bangsa pembaca?

Baca Juga:  Juara Sejati: Pemenang Tanpa Tropi, Segudang Prestasi

Ada kutipan menarik dari Neil Gaiman: “Buku adalah mimpi yang kamu pegang di tanganmu” (Gaiman, 2013). Buku adalah mimpi—dan betapa ironisnya jika dunia yang memburu mimpi justru melupakan buku. Di negeri ini, indeks membaca masih rendah. Data UNESCO (2020) menyebutkan bahwa minat baca di Indonesia berada di bawah rata-rata dunia, entah bagaimana Maluku Utara? Bukan karena kita tidak mampu membaca, tapi karena kita belum menjadikan membaca sebagai kebiasaan hidup.

Pekerjaan kita kini bukan hanya membagikan buku, tetapi menghidupkannya. Sekolah-sekolah harus menjadi taman membaca, bukan hanya ruang ujian. Perpustakaan bukan hanya tempat menyimpan, tapi juga tempat bermain, berdiskusi, dan tumbuh.

Pada akhirnya, buku adalah perlawanan terhadap pelupaan. Dalam halaman-halamannya, sejarah dipeluk, kenangan diabadikan, dan kemungkinan masa depan digubah.

Hari Buku Sedunia bukan seremoni. Ia merupakan peringatan agar kita tidak kehilangan akar—akar nalar, akar imajinasi, dan akar kemanusiaan.
Sebagaimana kata-kata W.S. Rendra (1935-2009) : “Buku adalah gudang ilmu, dan membaca adalah kuncinya.” Maka hari ini, marilah kita kembali membuka kunci itu—dengan penuh cinta, kesabaran, dan penghormatan.

Karena dalam dunia yang bising hari ini, buku tetap menjadi santapan paling sunyi—dan paling suci. Mari mencintai dan membaca buku. []

——

Penulis merupakan Dosen Sosiologi FISIP UMMU