“BERADA di dekat orang yang kita kenal pun, mengapa kita masih tidak bebas dari kekerasan/pelecehan seksual?” Pertanyaan ini dipertebal oleh pernyataan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo Suroyo. Ia mengungkapkan selama setahun terakhir (2022) tindak kekerasan/pelecehan seksual banyak dilakukan oleh keluarga atau orang dekat korban (republika.co.id, 12 Juli 2022). Miris dan tak habis pikir.
Kasus serupa dialami oleh MT, mahasiswi Maluku Utara, yang diduga menjadi korban pelecehan seksual pada 28 Maret 2023 oleh VS, kerabatnya. Yang juga buat geleng-geleng kepala adalah kasus yang baru terungkap: ayah (WB) menghamili anak kandung di Halmahera Timur (Malut Post, 16 April 2024).
Dr. R. Graal Taliawo, yang concern dengan isu perempuan, turut merespons kasus ini. “Kita semua patut mengecam segala bentuk kekerasan/pelecehan seksual. Tidak ada celah pembenaran atasnya. Melaporkan ke pihak berwenang untuk diproses hukum adalah langkah yang tepat,” ungkap Anggota DPD-RI Terpilih (2024–2029) ini saat dimintai pendapat.
Bola kasus VS ini kabarnya sudah diproses pihak Kejaksaan Negeri Ternate, Maluku Utara terkait alat bukti; sedangkan kasus WB dalam tahap pelaporan ke Polsek Maba Selatan.
UU TPKS sebagai payung hukum kekerasan/pelecehan seksual
Kata doktor Ilmu Politik ini, “Beruntungnya, kita sudah memiliki payung hukum untuk menyelesaikan kasus ini, yakni melalui Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang sudah disinkronkan dengan KUHP, UU TPPO, UU KDRT, dan lainnya.”
Dengan ini, menurutnya, tentu tidak dibenarkan jika para penegak hukum menggunakan kacamata kuda (misal hanya mengacu pada KUHP). Juga tidak ada alasan bagi mereka untuk abai menyelesaikan kasus ini.
Laki-laki yang akrab disapa Dr. Graal ini menjelaskan bahwa UU TPKS terbilang istimewa. Regulasi ini begitu mengakomodasi perempuan berhadapan dengan hukum dan menjunjung keberpihakan pada perempuan sebagai korban. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, pemenuhan alat bukti, pelindungan, pemulihan, dan lainnya.
“Saya sering mendengar, sebelum ada UU TPKS ini, pada saat proses pelaporan, penyelidikan, dan penyidikan, perempuan korban kerap mendapat perlakuan intimidatif dan diskriminatif melalui pertanyaan atau sikap dari mereka yang bertugas. Perempuan korban menjadi korban lagi (victimized victim),” tambah Dr. Graal.
Menurutnya, karena itulah UU TPKS (Pasal 21) mengatur bahwa penyidik (dari Kepolisian), penuntut umum (dari Kejaksaan), dan hakim yang menangani kasus kekerasan seksual haruslah mereka yang punya integritas dan kompetensi, juga telah mengikuti pelatihan terkait penanganan kasus jenis ini. Atau setidaknya, mereka telah berpengalaman menangani kasus jenis ini. Berperspektif hak asasi manusia (HAM) dan berperspektif korban menjadi kunci. Adalah pengabaian terhadap hukum jika masih didapati perempuan korban mengalami tindakan bernuansa intimidatif dan diskriminatif dari oknum pihak yang berwenang.
“Keistimewaan UU TPKS lainnya adalah terkait alat bukti (Pasal 25). Dua (2) alat bukti cukup untuk memproses kasus secara hukum ke pengadilan. Barang bukti berupa keterangan saksi bisa dianggap satu (1) alat bukti. Perlu ditambah satu (1) alat bukti lainnya, misalnya surat keterangan ahli (psikolog, psikiater, dan lainnya), rekam medis, atau lainnya,” jelas Dr. Graal.
Korban pun tidak semestinya diberatkan untuk mengumpulkan bukti. Pengumpulan bukti yang dibutuhkan adalah tugas Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan begitu, tidak ada lagi kesan “mempersulit” pemprosesan kasus dengan alasan klasik—tidak ada bukti.
Mari berdiri dengan perspektif korban
Bagi politisi muda ini, trauma psikis dan fisik yang dialami korban bukan hal mudah untuk dilalui. Bahkan bisa berakibat fatal jika keliru menyikapinya.
“Saya tidak bisa membayangkan jika lingkungan kita justru ramah terhadap kekerasan/pelecehan seksual. Sungguh tidak dapat dibiarkan,” tegasnya.
Menurutnya, yang utama adalah pendampingan dan perlindungan terhadap korban harus dilakukan. Ini dalam upaya untuk memulihkan trauma.
Dua kasus ini cukup menggambarkan betapa Maluku Utara darurat kekerasan seksual. Berhadapan dengan situasi yang genting seperti ini, penegak hukum perlu bekerja ekstra; tidak bisa menganggap biasa saja, apalagi bekerja serampangan.
“Proses hukum harus tetap berjalan sesuai prosedur dan aturan. Sebagai pihak yang dipercayakan, polisi, jaksa penuntut umum, dan hakim perlu serius menangani kasus ini sampai tuntas dan menghadirkan rasa keadilan bagi korban. Bersikap sigap, cermat, dan berani sangat kita harapkan demi tegaknya hukum,” ujar lulusan Universitas Indonesia ini dengan tegas.
“Mari wujudkan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan/pelecehan seksual, termasuk lingkungan orang dekat dan yang kita kenal. Kita semua tentu tidak mau kasus seperti ini terulang kepada siapa pun. Dorong dan tetap kawal proses kasus ini hingga akhir. Kepada penegak hukum, kita harapkan menjalankan tugasnya secara profesional, jujur, dan adil,” tutupnya. (RLS)
—–
Editor: Ghalim Umabaihi