“Sesungguhnya tidak ada satu konsep semata wayang tentang apa yang disebut hukum itu” – Soetandyo Wignjosoebroto (Sosiolog Hukum Terkemuka Indonesia)
SETIAP kali mahasiswa fakultas hukum ditanya apa itu hukum? akan selalu bingung menjawabnya. Kebingungan itu tak ayal sebab para mahasiswa tidak belajar ilmu hukum dengan cara memahami konsep per konsep. Mengapa penting cara belajar seperti itu? karena seperti apa yang dikatakan Soetandyo Wignjosoebroto di atas, akibat ketiadaan kesamaan konsep yang berkonsekuensi pada tiadanya satu teori semata wayang tentang apa yang disebut hukum itu. Perlu diletakkan pada level abstraksi mana hukum sebagai konsep dapat didefinisikan, sehingga dapat diukur ruang lingkup dan batas dari definisi tersebut. Seperti hukum yang dikonsepkan sebagai ‘norma’ (pedoman perilaku) akan diteorikan berbeda dari hukum yang dikonsepkan sebagai ‘behavior’ (perilaku berulang).
Perbedaan mengkonsepsikan hukum itu bergantung pada paradigma masing-masing melihat hukum. Paradigma yang berbeda melahirkan konsep dan bangunan teori yang berbeda pula.
KONSEP LANGIT BIRU (BLUE SKY CONCEPT)
Dalam wacana sehari-sehari, apa yang dimaksud ‘konsep’ itu tak lain adalah ‘kata’. Dalam logika disebut ‘terma’ (term) atau dalam setiap perbincangan keilmuan disebut ‘istilah’. Sedangkan ‘definisi’ adalah batasan pengertian. Ketika suatu konsep/kata/terma/istilah tentang “sesuatu” itu didefinisikan maka sesungguhnya membatasi pengertian “sesuatu” itu. Apapun penyebutan dalam pelbagai wacana, secara umum dapat dikatakan per definisi bahwa konsep itu ialah simbol tertentu yang digunakan sebagai representasi objek yang diketahui dan/atau dialami oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya. Sebagai simbol bermakna, setiap konsep bermukim di alam nomenon atau bentuk jamaknya nomena (alam ide yang imajinatif), sedangkan objek yang diwakili berada di alam phenomenon atau bentuk jamaknya phenomena (alam fakta-aktual yang indrawi). Ambil contoh ‘kucing’ sebagai obyek amatan mata kita ialah hewan berkaki empat, pemakan daging, berkumis dan berbulu disekitar rumah kita, kongkrit berada pada alam phenomena (fakta) yang terindrawi lewat mata kita. Sedangkan ‘kucing’ sebagai kata atau konsep dalam bahasa Indonesia maupun ‘cat’ dalam bahasa Inggris ialah simbol representatif yang berada pada alam nomena (ide dan imajinasi), bersifat umum dan abstrak tergambar secara berbeda-beda dalam alam pikiran masing-masing orang.
Dengan kata lain, kucing sebagai konsep akan terlukis berlainan di alam imajinasi setiap orang. Ada yang menggambarkan kucing berbulu tebal warna abu-abu, ada pula yang menggambarkan kucing berwarna oren (jingga) dan ciri-ciri yang berbeda.
Konsep dalam alam pikiran (alam imajinasi) berjenjang-jenang, dari relatif lebih spesifik sampai lebih abstrak lagi, ‘kucing’ sebagai konsep relatif abstrak tetapi ‘binatang’ sebagai konsep lebih abstrak lagi, cakupannya tidak hanya kucing saja, bisa kambing, ayam, ikan, ad infinitum. Konsep ‘makhluk hidup’ tentu lebih abstrak dari ‘binatang’, dan bila disebut ‘makhluk’ lebih abstrak lagi dari ‘makhluk hidup’. Sebaliknya ditingkat abstraksi manapun, suatu konsep dapat direduksi kembali lebih kongkrit dengan menambahkan kata sifat atau keterangan lain, seperti kata ‘kucing’ bila ditambah kata hitam, maka menjadi lebih spesifik yaitu kucing hitam. Begitu juga halnya dalam ilmu humaniora termasuk ilmu hukum, obyek yang dijumpainya juag dibatasi secara definisi kedalam konsep-konsep. Apa itu pidana, apa itu vonis, atau keadilan, bahkan dalam ilmu sosial sebuah konsep bisa sangat abstrak dan sulit didefinisi, seperti apa itu hukum? sebab suatu kajian ilmiah yang berobjek manusia dan/atau masyarakatnya merupakan konstruksi rasional dalam alam pikiran. Olehnya itu, ilmu hukum sebagai bagian dari rumpun ilmu humaniora dapat dikategorikan kedalam gambarannya yang ideal dengan blue sky concepts-nya daripada ilmu alam (natural and life sciences) yang nyata lebih down to earth (Soetandyo Wignjosoebroto: 2010).
BANGUNAN TEORI DAN PERGESERAN PARADIGMA
Sedangkan teori berasal dari kata ‘theoria’ (latin) berarti perenungan, berakar dari kata ‘thea’ (yunani) berarti ‘cara atau hasil pandang’. Teori sebagai konstruksi di alam kontemplatif-imajinatif yang dibangun atau terdiri dari konsep-konsep. Oleh karena itu, dalam literatur bahasa inggris disebut concepts is the building blocks of theories, (konsep adalah batu bata dari bangunan teori), misalnya jika ruangan kelas ialah teori, maka papan tulis, meja, kursi, jendela bahkan air conditioner merupakan susunan konsep-konsep pembentuk ruangan kelas.
Dalam teori terdapat dua macam realitas yaitu realitas in abstracto yang berada pada alam imajinatif (realitas nomena) dan realitas in concreto berada pada pengalaman alam indrawi (realitas phenomena). Dalam realitas in abstracto, teori hanya bisa dikonfirmasi pada obyeknya di realitas fenomena, vise virse menggunakan simbol-simbol yang dalam ilmu bahasa disebut kata-kata–kalimat, yakni kalimat-kalimat pernyataan tentang dua bentuk keniscayaan. Keniscayaan faktual bersumber dari hasil amatan indrawi di alam fenomena disebut nomos (keteraturan empirikal yang obyektif), dan keniscayaan moralitas atau etika bersumber dari ajaran yang diyakini kebenarannya di alam nomena disebut norma (patokan yang membedakan baik–buruk, mana yang wajib dan larangan). Bilamana nomos telah terverifikasi berdasarkan data, informasi yang dihimpun terukur dari alam empirik dengan metode sains maka akan disebut hukum alam/hukum kodrat (the scientific laws of nature). Misalnya hukum sebab-akibat (kausalitas) tentang matinya seseorang, bisa disebabkan oleh perbuatan seorang lainnya menggunakan pisau. Akibat matinya orang itu, maka pembunuhan sebagai peristiwa hukum. Sebaliknya, norma tidak memerlukan verifikasi pembenar dari konsep-konsep hasil observasi. sebab kebenarannya berpangkal pada konsep abstrak berupa ajaran-ajaran dan asas-asas yang diyakini telah benar dengan sendirinya (self-evident). Senyampang dibutuhkan pembenar bersifat in personem, ajaran maupun asas tersebut diklaim berasal dari sumber otoritas secara pre-supposed baik dari yang paling abstrak yakni wahyu Tuhan atau tradisi nenek moyang maupun dari otoritas lebih konkrit dan struktural seperti dekrit raja atau produk legislatif.
Dari kedua realitas tersebut, mana yang dipilih dan diyakini sebagai dasar pembenar pengetahuan beserta bangunan teori yang terdiri dari konsep-konsep, semuanya tergantung pada paradigmanya. Paradigma terhadap pembenaran nomos disebut paradigma nomotetik (kebenaran fenomenologik), sedangkan paradigma terhadap pembenaran norma disebut paradigma normatif (kebenaran menologik). Adapun tentang perdebatan dasar pembenar pengetahuan yang disebut kebenaran paradigmatik itu, maka orang akan pula memperbincangkan apa yang dimaksud dengan paradigma?
Paradigma berasal dari kata ‘paradeigma’ (yunani) berarti pola atau model berfikir. Jika mahasiswa melihat meja dosen dari tempat duduknya, maka nampak bentuk meja persegi panjang (rectangle), namun jika dilihat dari arah samping, maka bentuknya persegi sama sisi (square). Itulah paradigma yaitu sudut pandang atau titik tumpu melihat sesuatu. Suatu obyek yang sama tak ayal orang melihat dengan persepsi interpretatif–akhirnya dengan simpulan–pandangan yang berbeda. Seseoang yang religius akan melihat manusi sebagai ‘ruh’ yang terpenjara dalam tubuh yang fisikal (fana), namun bagi orang yang berorientasi sekuler akan lebih cenderung melihat manusia sebagai tubuh fisikal yang berfungsi secara bio-kimikal sebagai konverter energi yang memungkian terjadinya berbagai gerakan.
Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, melihat paradigma tidak sekedar mengisyaratkan pangkal berpikir yang berbeda saja, tetapi juga adanya potensi konflik diantara berbagai pangkal atau pola pikir yang melahirkan apa yang disebut Kuhn dengan istilah the paradigm shift (pergeseran paradigma). Kuhn yang seorang fisikawan dan ahli sejarah ilmu pengetahuan, mengatakan bahwa sepanjang sejarah peradabannya yang panjang, masyarakat manusia hanya dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya mengembangkan pola atau model berpikir yang sama untuk mendefinisikan pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama yang sebagai “yang normal dan yang paling benar”, untuk kemudian didayagunakan sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya “paling normal dan paling benar” pula. Tetapi berbasis pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan paradigmatik tak selamanya bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau runtuhnya suatu pandangan dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu dari satu paradigma ke lain paradigma. (Thomas Kuhn:1986).
Demikianlah suatu paradigma hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu tertentu, sampai suatu ketika datang krisis atau problem sosial yang tidak mampu dijawab oleh paradigma yang sudah mapan, maka terjadi pencarian teori-teori pengetahuan baru untuk menjawab problem yang tidak bisa dijawab oleh gugus pengetahuan lama dengan paradigma yang lama. Maka secara gadual maupun radikal jadilah pergeseran dari pola berpikir paradigmatik yang lama ke yang baru. Sebab kata Kuhn bahwa perkembangan intelektual dalam peradaban manusia itu tidaklah pernah berlangsung secara lempang-lempang saja dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a mainstream). Karena dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang mengundang gejolak, ialah tatkala paradigma lama—sebagai “ilmu yang dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya”—gagal menjawab persoalan baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan menerbitkan anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma baru yang bisa menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini akan menjadi sumber terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan menyandingi melainkan juga sampai bisa menandingi mainstream lama. Apabila berhasil, paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang menggeser paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak akan lenyap begitu saja dari percaturan.
Dengan demikian, cara memahami relasi konsep, teori dan paradigma seperti itu, maka para mahasiswa atau pengkaji ilmu hukum, maka akan rileks bila menemui suatu dialog maupun perdebatan ilmiah, karena telah mengetahui dalam setiap argumen-argumen ada konflik dalam pergeseran paradigma yang digunakan masing-masing.
Disamping akan rileks pula menghadapi pertanyaan mendasar dan abstrak seperti apa itu hukum? karena telah memahami paradigma untuk menjawab bahwa hukum sebagai norma, bisa didefinisikan secara konseptual pada level kucing, level karnivora, level binatang maupun pada level yang lebih abstrak yaitu level makhluk. Selain itu, kita juga akan terinsyafi bahwa kehendak untuk mencari dan menemukan alur pendekatan baru yang berbau bid’ah ini selalu saja terjadi dalam sejarah filsafat dan keilmuan manusia, khususnya apabila terjadi perubahan besar yang mendasar pada kehidupan ekonomis-sosial-politik-hukum, yang menghadapkan manusia pada banyak permsalahan hukum baru yang menghendaki jawaban-jawaban yang baru pula. Wallahu a’lam bish-shawab*
*Penulis merupakan akademisi hukum di Universitas Khairun (Unkhair) Ternate.