Jurnalisme dalam Pusaran Kekuasaan

Nurkholis Lamaau

Jurnalis

2024 akan menjadi tahun paling menentukan bagi masa depan demokrasi Indonesia. Mulai dari pusat hingga daerah.

Pasca reformasi, kebebasan media massa mengalami perubahan signifikan. Dinamika ini terpolarisasi atas sistem politik yang semakin terbuka.

Publik, sejatinya membutuhkan akses informasi yang memadai. Tidak saja dari aspek keterjangkauan, tapi juga keberimbangan.

Demokrasi yang memungkinkan keterbukaan dalam produksi dan konsumsi informasi, mendorong tumbuhnya perusahaan media, baik cetak mau pun elektronik.

Dari sinilah relasi media dan kekuasaan terjalin begitu kental. Kedekatan secara emosional (subjektif) mengindikasikan kedua pihak sama-sama mencari untung dengan format yang berbeda.

Ketika dituntut survive di tengah persaingan bisnis yang semakin sengit, media tidak hanya membutuhkan modal yang kuat. Tapi, juga perlindungan dari penguasa.

Begitu juga penguasa, memerlukan sarana untuk tetap bertahan. Sebab, penilaian publik merupakan modal paling besar bagi langgengnya kepentingan politik dan bisnis.

Apalagi wujud politik di Indonesia terkesan cepat berubah yang didasari hasrat ingin berkuasa dari kelompok atau partai politik tertentu. Pada akhirnya, relasi kekuasaan dan media pun terus berlanjut.

Sebagai konsekuensi, saluran komunikasi politik lewat media yang dipandang potensial perlu diberi perlakuan khusus. Istilahnya, who is close he gets. Ini kemudian memengaruhi kebijakan redaksi media.

Sejatinya, media massa tak bisa lepas dari kapitalisme. Sirkulasi modal yang bergerak begitu cepat dalam kerangka ekonomi dan politik, memposisikan media di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi.

Di negara demokrasi, jurnalisme berperan penting dalam mendorong transparansi sekaligus menjadi mata dan telinga rakyat. Sebab, praktik kekuasaan di negara demokrasi kerap terjebak dalam keinginan mempertahankan status quo.

Upaya dan tindakan politik yang tidak sepenuhnya disadari oleh publik, ditangkap oleh penguasa dengan maksud membentengi diri dari kekuatan lain.

Baca Juga:  Belas Kasihan dalam Pesta Demokrasi

Lewat legalitas, fasilitas, dan legitimasi, kekuasaan kerap diwarnai dominasi dan praktik monopoli atas nama demokrasi yang justru bertentangan dengan nilai demokrasi itu sendiri.

Akibatnya, kekuasaan menjadi semakin tirani. Sementara, rakyat tidak memiliki kekuatan untuk mendobraknya. Di sini, jurnalisme harus hadir dengan sensitivitasnya.

Jurnalisme dapat bertindak sebagai kekuatan tandingan dalam menghadapi hegemoni kekuasaan, yang sarat akan kepentingan politik dan ekonomi.

Jika media ikut terpolarisasi dalam lingkaran kekuasaan yang tirani, maka publik kehilangan wadah paling potensial. Itu berarti, media ikut bertanggung jawab atas dominasi kekuasaan yang ia bela.

Sebab, media tidak lagi bertindak sebagai penjaga kewarasan publik. Tapi justru membangkitkan sentimen daripada penguatan nalar publik.

Media yang menyadari tanggung jawab sebagai lembaga kontrol, akan berupaya menyeimbangkan kepentingan komersial dan sosial lembaga medianya.

Dalam konteks komersial, institusi media mempekerjakan jurnalis sebagai karyawan. Karena itu, jurnalis tunduk pada sistem kerja dan manajemen yang berlaku di perusahaannya.

Di sini, jurnalis dituntut mampu menerjemahkan secara cermat orientasi ideologi dan kepentingan ekonomi politik perusahaan media tempatnya bekerja.

Tapi praktik jurnalisme kerap terjebak dalam lingkaran kepentingan ekonomi politik media. Akibatnya, produksi jurnalistik tidak mampu merefleksikan realitas sosial secara objektif.

Media justru berada dalam tekanan untuk merelevansikan teks yang diproduksi dengan kekuatan kekuasaan yang melingkupi.

Kontrak kerja sama antara pemerintahan dengan media dipandang sebatas corong keberpihakan yang disebut ‘mitra’. Informasi kemudian tersalur dari atas ke bawah (top-down).

Padahal, duit daerah yang dialokasikan untuk kontrak media bersumber dari pajak rakyat. Itu berarti, rakyat lewat kekuasaan mensubsidi media untuk mengontrol kerja-kerja kekuasaan itu sendiri.

Sebab, kelemahan publik dalam menghadapi kekuasaan tidak sepenuhnya karena publik. Ini juga akibat ketidakhadiran media dalam pembangkitan kesadaran publik dalam relasi bernegara.

Baca Juga:  Tauhid-Nasri Resmi Terima Rekomendasi NasDem di Pilwako Ternate 2024

Peran media sebagai sarana kontrol dan pencerahan untuk mendukung civil society justru berfungsi sebaliknya. Rakyat diposisikan sebagai elemen paling tidak berdaya.

Benar apa yang disampaikan Gramsci. Kelompok dominan tidak hanya bisa mempertahankan dominasi karena kekuasaan melalui penggunaan kekuatan. Tapi juga dimungkinkan oleh sikap masyarakat yang cenderung menerimanya.

Penerimaan itu melalui proses yang terpaksa. Kecenderungan ini adalah akibat dari gagalnya kekuasaan mengimplementasikan pendidikan politik.

Hal ini disebabkan lemahnya kontrol media terhadap kelompok dominan yang jauh lebih kuat dan berkuasa. Itu sama halnya media mengkhianati tugas mulia yang dibebankan kepadanya.

Pada akhirnya, keberadaan media yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas eskalasi kekuasaan politik dan bisnis dapat bertahan dalam waktu yang lama.