Sudah tak lagi biasa ketika jurnalis didatangi, diintimidasi dan dipukul di dalam rumah. Sebab, meskipun kekerasan terhadap jurnalis masih marak di era Reformasi ini, rumah sudah menjadi tempat yang aman untuk berlindung. Kekerasan terhadap jurnalis malah sering terjadi saat berada di gelanggang peliputan.
Kejadian tak biasa itulah membuat publik kaget saat Nurkholis Lamaau, redaktur cermat, diancam dan dipukul oleh keluarga Wakil Wali Kota Tidore di rumah mertuanya.
Penganiayaan tersebut terjadi lantaran keluarga Ketua DPD PDIP Maluku Utara itu tak terima dengan tulisan Nurkholis, bertajuk “Hirup Debu Batu Bara Dapat Pahala” di cermat.co.id.
Salah satu adik kandung wakil wali kota menemui Nurkholis di rumah pada Rabu, 31 Agustus, dan meminta menghapus tulisan. Ia mengkhawatirkan artikel tersebut akan mengganggu kepentingan saudaranya di pemilihan kepala daerah pada 2024 mendatang. Karena diintimidasi, tulisan itu dihapus setelah Nurkholis meminta izin kepada pemimpin redaksi.
Keesokan paginya, salah satu ponakan wakil wali kota datang ke rumah, lalu mengancam dan aniaya Nurkholis. Kasus penganiayaan ini kemudian dibawa ke Polres Tidore untuk diproses secara hukum. Sayangnya, wakil wali kota yang diharap publik bertindak rasional, justru diduga turut mengancam dan diduga melakukan penganiayaan saat menemui Nurkholis di Mapolres.
Bagi mantan anggota DPRD Tikep ini, jurnalis tak boleh menulis opini, apalagi sampai menyudutkannya. Pernyataan itu menunjukkan Wawali tak begitu mengerti, bahwa di media massa, terutama media cetak dan siber, tertengger empat bentuk tulisan di sana, yakni artikel berita, karya sastra (cerpen dan puisi), resensi, juga opini. Dan, tulisan opini ini sering disumbang oleh jurnalis.
Umumnya, di media cetak, opini menjadi nama rubrik. Para penulis pun menggolongkan jenis tulisan tersebut bagian dari esai. Tulisan ilmiah populer ini disebut opini karena penulis cenderung menyajikan pandangan subjektif. Kendati begitu, pandangan ini juga disertakan dengan fakta, konsep, dan teori yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
Itu sebabnya, Muhidin M. Dahlan dalam bukunya Inilah Isai (2017), menyajikan karya-karya esais kondang seperti Gus Dur, Cak Nur, Arief Budiman, Daniel Dhakidae, Emha Ainun Nadjib, Ignas Kleden, Goenawan Mohamad, dan Sindhunata, sebagai contoh. Esai-esai itu diterbitkan di rubrik opini seperti di majalah Tempo, koran Kompas, Republika, dan Jawa Pos.
Arief Budiman, saat mengutip Ensiklopedi Britanika, mendefinisikan esai sebagai karangan yang sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan satu persoalan secara mudah dan sepintas lalu. Tepatnya, mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis.
Di sisi lain, menurut Kustadi Suhandang (2010), esai termasuk bagian dari kolom di media massa, yang kerap ditulis oleh pihak internal maupun eksternal media. Di internal media, kita akrab dengan kolom Goenawan Mohamad di majalah Tempo dalam rubrik Catatan Pinggir pada setiap edisi. Pun catatan Dahlan Iskan (Disway) di media-media Jawa Pos Group.
Sementara, kolom dari pihak eksternal tentang satu pokok masalah, kerap diisi oleh penulis yang biasanya sudah teruji kualitas tulisannya. Di media daring seperti kumparan, ruang tersebut disediakan lewat kumparanplus. Di sana, bertengger banyak tulisan kolumnis seperti Linda Christanty, AS Laksana, Mafud Ikhwan, Fauzi Sukri, dan lainnya.
Produk lain yang termasuk dalam golongan kolom, kata Suhandang, adalah tajuk rencana. Tulisan ini sebagai bentuk pandangan media secara lembaga. Biasanya ditulis oleh pemred, wapemred atau redaktur yang dipercaya, sebagai sikap respons atas berita utama yang diterbitkan dalam setiap edisi. Tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya termasuk paling familiar sepanjang sejarah media massa Indonesia.
Lalu, apakah opini termasuk dalam produk jurnalistik?
Opini bagian dari produk jurnalistik, setelah melalui seleksi redaksi, dan diterbitkan di media massa seperti koran, majalah, dan media siber. Lagi pula, selain memiliki fungsi informasi, media massa juga mempunyai fungsi kontrol sosial, hiburan dan edukasi. Itu sebabnya, opini dalam media massa diterbitkan untuk memberikan edukasi kepada publik. Bentuk edukasi tersebut seperti penjelasan ihwal suatu pokok masalah dalam perspektif bidang ilmu tertentu.
Karena itu, opini (tepatnya esai) Nurkholis yang ditayangkan di konten (Rubrik) perspektif cermat.co.id, tak bisa dilepas pisahkan dengan kerja-kerja jurnalistik. Sebagai jurnalis level redaktur, Nurkholis bisa menulis esai ataupun tajuk sebagai sikap media. Apalagi, ia menulis esai atas respons pernyataan pejabat yang berhubungan dengan debu batubara PLTU di Kelurahan Rum Balibunga, Kota Tidore Kepulauan.
Sebab selama ini, Nurkholis termasuk jurnalis yang konsisten mengawal isu debu batu bara dalam bentuk liputan pemberitaan. Ia bahkan selalu hadir dalam setiap pertemuan antar-warga dengan pemerintah saat membahas solusi masalah tersebut.
Konsistensi Nurkholis dalam pengawalan masalah debu PLT terbukti dalam beberapa hasil liputan yang dimuat di cermat partner kumparan. Artikel-artikel itu beberapa di antaranya:
“Menanti Hasil Uji Kualitas Udara di Kawasan PLTU Tidore” (7/8/2019); “PLTU Tidore, Janggal Sejak Awal?” (7/8/2019);
“Masalah Polusi Debu Batu Bara dari PLTU Tidore Selimuti Rumah Warga” (2/4/2022);
“DLH Malut Pertanyakan Pengelolaan Debu Batu Bara PLTU Tidore” (15/5/2022);
dan “Warga di Tidore Pasang Bendera Putih Tanda Menyerah dengan Debu Batu Bara PLTU” (12/5/2022).
Artikel karya Nurkholis adalah bagian dari sikap yang dikehendaki dalam prinsip jurnalisme: Keberpihakan kepada publik dalam mengontrol kerja-kerja kekuasaan. Itu juga yang menjadi alasan AJI Kota Terante didampingi AJI Indonesia memberi dukungan dan perlindungan melalui kerja-kerja advokasi ketika ia diintimidasi dan dipukul oleh keluarga pejabat.
Sayangnya, ketika publik dan jurnalis di daerah lain memberi dukungan atas proses hukum kasus kekerasan terhadap Nurkholis, sebagian jurnalis di Tidore justru mendukung Wakil Wali Kota Tidore, dengan alasan opini Nurkholis bukan produk jurnalistik. Sikap jurnalis ini menunjukkan tak banyak mengerti ihwal profesi yang mereka ditekuni.
Salah satu jurnalis, lewat akun Facebook Abank Bintang Togubu, menulis “Prahara Debu Batu Bara, Surga dan Kekerasan”. Dalam postingan tersebut, ia menilai kalimat wakil wali kota tentang “Hirup Debu Batubara” itu merupakan hasil potongan rekaman video yang kemudian ditafsirkan menjadi lelucon dalam bentuk opini. Dan itu menjadi bencana demokrasi.
Ia menyebut, oleh publik, Muhamad Sinen dianggap biang kerok masalah debu batu bara dan antikritik.
Bahkan, sehari setelah Nurkholis melaporkan kasus penganiayaan ke polisi, Abank mengupload fotonya dan beberapa jurnalis bersama wakil wali kota. Ia menulis, “Sikap jelas MENOLAK HOAKS dan menolak Ujaran Kebencian. Ini bukan soal kekuasaan, tetapi lebih kepada martabat manusia. Edisi Wartawan Liputan Tidore bersama Wakil Walikota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, Pemimpin Semua Golongan.”
Sikap keberpihakan sebagian jurnalis ke pejabat itu, jelas mencederai independensi jurnalis sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pers. Jika sudah begini, mereka seperti membunuh amanah publik yang diberikan kepada jurnalis: menyajikan pemberitaan yang berpihak pada kebenaran. Dan, jurnalis seperti ini tak lagi layak berdiri sebagai pilar demokrasi, sebab pikiran dan nuraninya telah mati.
—
Ghalim Umabaihi, redaktur cermat partner kumparan dan penulis buku Jurnalisme yang Tergadai