Kebijakan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, kembali menjadi sorotan. Kali ini, keputusan untuk mengangkat mantan narapidana korupsi, Abjan Sofyan, sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD) Maluku Utara menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kota Ternate.
Jainudin Ali, salah satu fungsionaris Majelis Daerah KAHMI Ternate, menyebut keputusan Gubernur Sherly sebagai bentuk inkonsistensi etika politik dan pengabaian terhadap semangat reformasi birokrasi yang bersih dari unsur pelanggaran hukum.
“Sejak awal, Ibu Gubernur selalu menggaungkan komitmennya untuk menjaga ekosistem pemerintahan yang bersih dari kasus hukum. Tapi kenyataannya, ia justru mengangkat orang yang berstatus mantan narapidana. Ini bukan sekadar soal Abjan Sofyan sebagai individu, tapi menyangkut prinsip dan etika pemerintahan,” ujar Jainudin, Senin, 14 April 2025.
Abjan Sofyan, mantan pejabat Kabupaten Pulau Morotai, pernah divonis dalam kasus korupsi dana APBD Halmahera Barat tahun 2007–2009 yang merugikan negara sebesar Rp11,8 miliar. Meski sudah bebas, rekam jejak hukumnya masih menjadi catatan serius yang mestinya diperhitungkan oleh seorang kepala daerah.
“Tidak etis seorang mantan napi diberikan posisi strategis dalam struktur pemerintahan provinsi. Masih banyak figur lain di Maluku Utara yang punya rekam jejak bersih dan integritas tinggi. Kenapa harus memilih sosok yang sudah punya catatan hukum?” tegas Jainudin.
Ia menambahkan, langkah Sherly Tjoanda ini menunjukkan bahwa gubernur tidak benar-benar mempertimbangkan aspek moral dan etika dalam pengambilan kebijakan strategis. Padahal, lanjut Jainudin, pesan moral yang sering disampaikan gubernur kepada birokrat tentang pentingnya bersih dari kasus hukum, justru bertentangan dengan kebijakan yang ia ambil sendiri.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri dan Badan Kepegawaian Negara telah menegaskan larangan bagi kepala daerah untuk mengangkat individu non-ASN sebagai tenaga ahli atau staf khusus dalam pemerintahan. Namun, larangan itu tampaknya tidak digubris oleh Gubernur Sherly.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini soal citra pemerintahan yang kehilangan pijakan moral. Kami di KAHMI Ternate sangat menyesalkan keputusan ini,” tandas Jainudin.
“Dengan penunjukan ini, tentu saja publik Maluku Utara mempertanyakan konsistensi Gubernur Sherly dalam membangun pemerintahan yang berintegritas,” tutup Jainudin.