Oleh: Taufiq Fredrik Pasiak*
DI awal 1990-an, saya hanyalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang mencari arah di tengah riuh perubahan zaman. masuk HMI, menjadi aktivis, dan kemudian mengampu modul NIK (_Nilai Identitas Kader_. Kini NDP) sebagai instruktur—10 tahun lebih saya berkutat dengan istilah-istilah seperti _kepercayaan, kemanusiaan, individu dan masyarakat, keadilan sosial dan ekonomi_, dan sebagainya.
Di sela-sela mendalami dan mencermati NIK ini, saya belajar (sebagai pembanding saja), antara lain, tentang Antonio Gramsci; filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik. Ia menjadi anggota pendiri dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini. Belajar dari buku lusuh hasil pinjaman atau ‘curian’ di perpustakaan, fotokopian buram, buku pinjaman, atau artikel-artikel pendek tulisan pakar waktu itu.
_Teori Gramsci_—yang hadir seperti bisikan dari lorong sunyi intelektual—menjadi pembanding saat kami bicara soal kemanusiaan dan keadilan dalam modul NIK. Kini, akses terhadap buku-bukunya jauh lebih mudah.
Salah satu yang paling saya ingat dari Gramsci adalah gagasannya tentang _Blok Historis_. Ia menulisnya dalam _Prison Notebooks_ (ada versi Indonesia terbitan Pustaka Pelajar, 2013), bukan sebagai konsep deskriptif, tapi sebagai strategi hegemoni total.
Blok historis bukan sekadar aliansi antara elite ekonomi dan politik, tetapi penyatuan struktur ekonomi dengan suprastruktur ideologis—antara kekuasaan material dan sistem makna yang menopangnya. Yang menarik bagi saya, saat ini kita sedang menyaksikan terbentuknya blok historis baru: aliansi berbahaya antara (1) pemilik modal, (2) tokoh agama, dan (3) selebriti, yang bekerja melalui satu saluran utama: media sosial.
Ketiganya membentuk gaya dominasi baru—di mana kekuasaan tidak hanya mengatur, tapi juga membujuk, membentuk, dan menanamkan cara berpikir publik.
Dengan bantuan Neurosains dan Psikologi Politik, kita kini memahami bahwa hegemoni bukan hanya persoalan narasi, tapi juga persoalan struktur otak dan perilaku kolektif. Pesan hegemonik yang dibungkus dengan emosi—rasa takut, aman, harapan, atau janji keselamatan—mengaktifkan sistem limbik dan menurunkan kerja prefrontal cortex yang bertugas pada refleksi kritis.
Di sinilah posisi tokoh agama menjadi sangat krusial.
Di negeri seperti Indonesia, di mana mayoritas masyarakat tunduk secara doktriner terhadap pemuka agama. Keterlibatan tokoh agama dalam aliansi hegemonik ini bukan hanya memperkuat kekuasaan secara simbolik, tapi juga menanamkan “kebenaran emosional” langsung ke dalam sistem biologis rakyat.
Ini bukan lagi pengaruh ideologis. Ini sudah menjadi ‘pembentukan realitas dalam otak’.
Kasus pagar laut di pesisir utara Tangerang adalah bukti konkret. Proyek ini tidak hanya menimbulkan dampak lingkungan dan sosial, tetapi juga memperlihatkan dengan gamblang bagaimana modal, tokoh agama, dan kepentingan politik bersatu dalam satu narasi besar: “pembangunan demi rakyat.” Tokoh agama, misalnya, menyampaikan bahwa proyek tersebut merupakan bagian dari maslahat umat dan sebaiknya tidak ditolak (_Tribun Tangerang_, 6 Januari 2025) karena ‘_memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, dengan cara menghidupkan tanah yang terlantar’_.
Narasi ini bekerja secara halus tapi dalam, membungkus eksploitasi dengan kesucian, dan melucuti daya kritis masyarakat secara kolektif. Narasi seperti ini berbahaya karena menggunakan otoritas moral untuk mendukung agenda kapitalistik.
Dalam kacamata Neurosains, ini adalah bentuk manipulasi afektif yang bekerja secara sistemik. Ketika pesan keagamaan dipakai untuk menyampaikan proyek kekuasaan, maka otak masyarakat meresponsnya bukan sebagai informasi netral, melainkan sebagai *perintah yang membentuk keyakinan*. Jangan heran, ketika proyek itu merugikan, rakyat tetap membelanya. Inilah kekuatan hegemonik yang tak terlihat tapi terasa.
Inilah wajah baru dari blok historis kita: pemilik modal membangun pagar laut, tokoh agama memberi restu spiritual, selebriti mengemas narasi di media sosial (_Bangka Pos_, 14 Januari 2025), dan rakyat ikut bertepuk tangan sambil perlahan kehilangan ruang hidupnya.
Semua berjalan tanpa paksaan, tanpa kekerasan. Karena ini menjadi bentuk kuasa paling canggih dalam sejarah manusia: _membuat rakyat jatuh cinta pada yang menindasnya_. *Kapital* mengatur arah, *agama* menenangkan kegelisahan, *popularitas* menutupi kecurigaan. Dan semua itu menyusup bukan hanya dalam kebijakan, tapi dalam emosi, dalam bahasa sehari-hari, dalam kemasan anggun media sosial.
Saya mengamati dengan jelas: ada aliansi baru yang sedang dibentuk—lebih cair, lebih licin, lebih halus. Ini bukan koalisi formal, tapi konsensus simbolik antara pemilik modal, tokoh agama, dan selebriti, yang bersama-sama menciptakan lanskap emosi kolektif yang patuh tapi penuh harapan. Mereka tidak duduk di ruang sidang bersama, tapi hadir bersama dalam ruang persepsi publik: satu menyuplai dana dan pembangunan, satu membungkusnya dengan doa dan moralitas, satu lagi menjualnya dalam format yang bisa dibagikan dan dicintai.
Hemat saya, ini blok historis versi zaman digital—di mana kekuasaan bekerja bukan lagi dengan paksaan, tapi dengan membangun keterikatan emosional yang halus. Bukan lewat ancaman atau senjata, tapi lewat rasa: rasa aman, rasa percaya, rasa bangga—semuanya dikemas dalam bahasa yang akrab, disebar lewat media yang kita sukai, dan disampaikan oleh tokoh yang kita kagumi.
Kekuasaan jenis ini merangkul, bukan menekan—tapi justru karena itu, ia lebih dalam pengaruhnya. Ia tidak perlu menakut-nakuti. Ia hanya perlu membuat orang merasa sedang melakukan hal yang benar, padahal sedang diarahkan untuk menerima hal yang tidak adil. Cara ini merasuk dengan mudah ke dalam sel-sel saraf di sistem limbik kita.
Kita juga belajar bahwa seperti semua konstruksi sosial, blok historis bukan sesuatu yang abadi. Ia bisa retak, terguncang, bahkan runtuh—jika kesadaran kolektif rakyat bergerak keluar dari orbit yang sudah diprogramkan.
Gramsci menyebut bahwa hegemoni harus terus dipelihara, karena ia tidak pernah sepenuhnya stabil. Dan di celah inilah peluang muncul: ketika seorang petani mulai mempertanyakan siapa yang mengambil tanahnya, ketika guru mulai meragukan kurikulum yang ia ajarkan, ketika anak muda tak lagi puas dengan narasi media sosial.
Dalam istilah Neurosains, inilah saatnya prefrontal cortex kembali bekerja, melawan dominasi impulsif sistem limbik, dan membuka ruang refleksi kolektif.
Gramsci menaruh harapan pada intelektual organik—mereka yang lahir dari denyut rakyat, bukan dari ruang akademik tanpa cela. Dalam era digital, tugas ini menjadi lebih berat, karena medan tempurnya tak lagi di kelas atau koran, tapi di lini masa, ruang diskusi daring, dan video berdurasi 30 detik. Tapi di sanalah perlawanan dimulai: bukan dari teriakan, tapi dari pertanyaan yang tepat. Bukan dari kekerasan, tapi dari keberanian berpikir jernih. Tugas intelektual hari ini adalah membongkar logika yang menopang hegemoni, dan membantu rakyat membangun ulang nalar yang telah dibajak.
_Guys_, jangan kau bilang kita sedang kekurangan teori. Sejatinya, kita sedang kekurangan keberanian untuk membaca ulang kenyataan dengan lensa yang benar. Teori Gramsci tidak hanya bicara tentang bagaimana kekuasaan bekerja, tetapi bagaimana ia bisa dilawan. Neurosains dan psikologi politik melengkapi itu—dengan menunjukkan bahwa dominasi tidak akan runtuh hanya dengan argumen, tapi dengan intervensi ke dalam cara manusia memaknai, merasa, dan percaya. Tugas kita hari ini adalah membangun ulang ruang batin publik—dengan narasi, pendidikan kritis, dan kehadiran penuh makna.
Saya menulis ini bukan sebagai orang yang kebal dari hegemoni, tapi sebagai seseorang yang terus belajar membaca ulang hidup—termasuk keyakinan saya sendiri. Di era ketika kebenaran dipotong-potong oleh algoritma dan rasa keadilan dibungkam dengan jargon pembangunan, kita tak bisa hanya berdiri sebagai penonton yang tahu. Kita perlu bergerak, pelan tapi pasti—menyalakan satu demi satu ruang berpikir, ruang merasa, ruang bertanya. Karena seperti kata Gramsci, “Krisis muncul ketika yang lama belum mati, dan yang baru belum bisa lahir.” Penulis Amerika Nancy Fraser menggunakan pernyataan Gramsci ini menjadi judul bukunya (Verso Books, 2019)… (1) _bersambung_
_(Ide tulisan disusun di Casa Vacanze – Sonia Vatican Area Apartment, Via Gregorio VII, 232 – di tepi tembok Vatikan, Roma. Diselesaikan di Warung Indomie belakang kampus UPN Veteran Jakarta.)_
—–
*Penulis merupakan Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta