Oleh Hamid Basyaib
SETIAP kali datang ke rumah saya, biasanya sendirian, Ichan Loulembah mengeluarkan senjata utamanya. Lalu meja makan bergemeretak ketika ia meletakkan perangkat andalannya itu sekaligus: empat buah telepon seluler, lengkap dengan power bank dan kabel-kabel. Semuanya smartphone, benda berteknologi tinggi, yang bisa dimanfaatkan untuk aneka kebutuhan, bukan “stupidphone.” Jadi, buat apa ia membeli sampai empat, jika satu pun lebih dari cukup?
Penjelasannya mengejutkan. Sebelumnya ia hanya memakai dua HP, katanya. Ternyata itu kurang memadai untuk melayani kebutuhannya.
Ia memoderatori atau menjadi peserta 60-an grup WA, dengan puluhan tema dan kecenderungan minat para pesertanya — dari soal perhimpunan warga daerah dan urusan film dan musik, sampai isu-isu penting kenegaraan di bidang ekonomi, hukum, politik dan iptek.
Ia kewalahan menampung semuanya hanya dalam satu-dua HP. “Banyak pesan yang terlewat, nggak terbaca,” katanya. Dengan empat HP dia rasa cukup. Puluhan grup WA itu dikelompokkannya di ponsel-ponselnya, dengan aneka pertimbangan.
Untuk keperluan personal — ia mungkin menyimpan 5.000 nomor telepon — ia menggunakan ponsel tersendiri.
Semua itu mencerminkan cirinya yang paling menonjol: kegemarannya bergaul (dengan kalangan manapun); dan hasratnya yang selalu besar untuk menjalin pertemanan seluas-luasnya.
Berkat kerajinannya yang mencengangkan itu, ia membuat ribuan orang terhubung, lalu mereka membangun kehangatan pertemanan, dengan tingkat keintiman masing-masing. Mereka mungkin kawan-kawan yang sudah lama saling mengenal, tapi tidak pernah dekat. Atau hanya satu pihak yang mengenal seseorang yang terkenal. Atau mereka tidak pernah saling kenal sama sekali.
Semuanya diyakinkannya satu per satu bahwa kesediaan mereka berdialog pasti akan menimbulkan manfaat bersama; bahwa dengan cara itu mereka bisa saling memahami ide masing-masing, tanpa harus saling setuju tentang banyak hal — terutama tentang cara terbaik memajukan Indonesia.
Baginya, pertukaran ide di antara mereka, atau sekadar perbincangan ringan tentang isu-isu sepele, niscaya berguna. Manfaatnya melampaui penyimpulan atau persetujuan yang mungkin dicapai.
Karena itu ia tak pernah obsesif pada penyelesaian. Forum seperti WAG memang dibuatnya sebagai ajang berproses bagi para peserta dan dirinya sendiri. Proses inilah yang lebih bernilai dibanding hasil akhirnya.
*
Ia menekuni kerja konektor itu sejak era Blackberry, bahkan sejak masa mailing-list yahoogroup, yang juga ia bentuk dalam jumlah banyak. Salah satu mailing-list itu, misalnya, “Kahmi-Pro”, beranggotakan lebih dari seribu orang, termasuk seratusan mahasiswa kita yang sedang studi di luar negeri. Mailing-list yang dibentuknya sungguh berarti bagi mereka, para eks aktifis mahasiswa yang selalu ingin tahu peristiwa di Indonesia di menit pertama.
Mungkin karena latar-belakangnya sebagai sarjana sosiologi yang meminati komunikasi — ia alumnus Universitas Tadulako, Palu — maka ia sangat menyadari kekuatan teknologi seperti Whatsapp dan lain-lain sebagai forum pertukaran gagasan atau sekadar ajang silaturahmi kekeluargaan.
Dan ia selalu berusaha menjadi tuan rumah yang responsif. Pesan apapun yang dimuat di grup-grup itu, sebisa-bisanya ia ikut tanggapi.
*
Dengan keluwesannya bergaul, online dan offline, ia tak pernah sanggup menjadi politisi. Ia tak nyaman dengan keharusan tunduk dan “menyenangkan hati” para bos partai, yang ia rasakan semakin berwatak feodalistik. Ia dengan mudah diterima di partai politik mana pun. Begitu banyak kawannya yang tersebar di semua partai, termasuk para pimpinan mereka, akan dengan senang hati menerimanya.
Mereka mengerti kapasitas dan reputasinya yang tinggi, dan keterampilan politiknya yang nyaris naluriah karena terasa sejak ia mahasiswa tahun pertama dan aktif (kemudian ketua cabang Palu) di Himpunan Mahasiswa Islam.
Tapi ia mencebur ke arena politik formal dengan memilih status independen. Ia bertarung di pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (2004-09) dari Sulawesi Tengah. Ia sukses, meski telah puluhan tahun meninggalkan kampung halamannya itu. Sekali lagi ia membuktikan keampuhan jaringannya.
Tapi ia kecewa. Setelah lima tahun memperjuangkan eksistensi DPD sebagai kekuatan parlementer, ia harus realistis dan mengakui bahwa lembaga itu sekadar dekorasi demokrasi, hasil euforia Reformasi yang tak akan diberi gigi representasi rakyat oleh para pembuat undang-undang.
*
Terhadap senior-senior yang sangat dihormatinya di DPD, terutama Pak Ginandjar Kartasasmita dan Alm. Pak Sarwono Kusumaatmadja, ia menempatkan diri dengan patut sebagai junior yang menangani aspek-aspek teknis keparlemenan, sambil menyerap pengetahuan dan pengalaman mereka dengan penuh gairah.
Pada periode berikutnya, peluangnya terbuka lebar untuk terpilih lagi. Tapi ia menyimpulkan: ia harus mengakhiri kesia-siaan perjuangannya.
Ia ingin berperan dengan proporsional; bukan sekadar duduk resmi, memegang jabatan kenegaraan terhormat, dan menerima gaji buta tiap bulan. Ia selalu ingin mendorong meluasnya kemampuan teknokratis para politisi.
Ia ingin mereka tak hanya berhenti pada slogan-slogan nasionalistik yang akhirnya hampa-makna. Ia letih menyaksikan mereka yang hanya mampu membuat pernyataan umum dan garis-besar— semacam tameng untuk berlindung dari keharusan menguraikan detail.
Maka ia selalu gembira melihat satu-dua kawan atau juniornya di HMI atau kelompok lain yang terlihat menunjukkan pemahaman dan keahlian teknokratis, karena latar-belakang bisnis dan kemampuan teknis mereka di bidang ilmu masing-masing.
“Kita juga perlu terus-menerus mendorong terbentuknya peradaban politik yang kuat,” katanya selalu. “Dengan begitu, negeri kita bukan hanya maju, tapi juga tumbuh dengan demokratis, bermartabat, dimatangkan oleh wacana politik yang bermutu dan mencerdaskan publik.”
Ia sering mengeluh tentang inflasi kualitas dalam pernyataan-pernyataan para tokoh politik, yang tidak bermuatan visi masa depan apapun, dan hanya saling bersahutan di kotak sempit power game.
*
Selulus SMA di Bandung, ia pulang kampung, menamatkan kuliah, merantau ke Jakarta, dan dengan cepat menghidupkan kembali jejaring lamanya, para eks aktivis HMI dari banyak daerah yang berbondong mencari penghidupan dan memburu karir di ibukota.
Perjuangan untuk survival melemparnya ke sebuah pabrik peti mati—“banyak peti yang bergerak-gerak sendiri di malam hari”, katanya—sebelum ia menemui takdir profesionalnya sebagai penyiar di Trijaya FM. Aktifitas penyiaran sudah mulai digelutinya semasa ia remaja di kampungnya, dengan mendirikan “radio amatir” alias siaran radio gelap, sekadar sarana pergaulan dan menjalankan hobi memutar lagu-lagu pop terbaru.
Di Trijaya ia mengerahkan seluruh bakat komunikasinya, dengan modulasi vokal yang enak didengar dan artikulasi yang sangat baik. Pendengar siarannya tak akan bisa menebak kampung asalnya, karena artikulasinya yang tanpa aksen tak menunjukkan jejak wilayah manapun. Ia seratus persen Indonesia.
Ia memberi sumbangan penting dalam mematangkan semangat Reformasi di tahun-tahun menjelang 1998 melalui acara bincang pagi yang diasuhnya di radio itu. Setiap hari mulai pukul 7 ia rajin mengontak banyak narasumber, termasuk akademisi kita yang sedang belajar di luar negeri, untuk diajaknya berbincang tentang situasi mutakhir Indonesia. Ia selalu mampu merumuskan pertanyaan tajam dan provokatif dengan kalem dan seakan tanpa emosi.
Kadang keberaniannya menyentuh isu-isu politik yang sensitif mengejutkan, membuat pendengarnya kuatir akan keselamatan fisik maupun profesionalnya. Ia bisa dipecat setiap saat, sebagai karyawan yang berposisi nyaris nol berhadapan dengan para bos perusahaan, yang rentan ditekan penguasa. Ia mengaku sering gentar juga dalam menjalankan tugas jurnalistik yang sangat dicintainya itu.
“Tapi bos-bos saya mendukung dan melindungi saya,” katanya. Ia sendiri kadang heran dengan sikap protektif mereka, yang diketahui bersahabat dengan keluarga Cendana—sasaran utama kritiknya, meski dengan cara yang tak selalu langsung.
Sejak berhenti dari radio itu, ia terus berusaha kembali ke dunia broadcasting. Semua kesibukan lain—termasuk menjadi anggota DPD, beberapa posisi pengawas atau penyanyun di sejumlah lembaga atau menjalankan bisnis konsultasi—seakan hanya transisi, selingan untuk persiapannya kembali mengarungi gelombang radio. Hampir sepuluh tahun ia membina “Perspektif Indonesia”, perbincangan offline di tempat umum, yang disiarkan di beberapa puluh stasiun radio di seluruh Indonesia.
*
Setahun lalu ia berhasil meyakinkan investor untuk mendirikan “Good Radio”, serentak dengan media online (ini obsesinya yang lain). Sebelumnya ia beberapa kali gagal dalam upaya ini. Tapi ia terus maju—di tengah komentar banyak kawan bahwa ia mengidap optimisme naif karena masih saja menggandrungi radio, media yang sudah ditinggalkan banyak pendengar.
Ia justeru menunjukkan bahwa di era digital ini membangun bisnis radio lebih mudah, dengan kualitas suara jauh lebih baik dan jangkauan siaran global. Ia mempelajari siaran-siaran radio di seluruh dunia untuk rujukan bagi radio barunya. Tiga pekan lalu ia mampir ke rumah saya dan menunjukkan cara terbaik menangkap siaran-siaran itu dengan aplikasi internet di layar TV.
“Siaran radio di seluruh dunia juga makin meriah dengan memanfaatkan teknologi digital, termasuk Spotify,” katanya. “Dan orang masih mendengarkannya—misalnya di dalam mobil di tengah kemacetan.” Siaran radio, tambahnya, bisa diakses dengan mudah dan murah, dan mampu memberi informasi yang ringkas dan gamblang, selain menyajikan lagu-lagu. Ia selalu punya alasan yang masuk akal untuk pilihannya tentang sesuatu.
*
Saya harus stop reportase ini di sini, Chan. Kalau kau, seperti biasa, mau memuat tulisan ini di media online milikmu dan kawan-kawan, tolong beri catatan: laporan ini ditulis dengan menangis.
—
“Penulisnya benar-benar merasa kehilangan. Ia belum kunjung percaya bahwa Muhammad Ichsan Loulembah, 57 tahun lebih 3 bulan, sahabatnya selama tiga puluh tahun, dan selalu menyajikan persahabatan hangat yang menyenangkan, tiba-tiba pindah ke tempat lain,” tutur Katamsi Ginano.