Solusi Efektif Social Distancing
Covid-19, dari sumber dan fakta ketersebarannya, dapat disebut virus “import” dari kota-kota di luar negeri, mewabah ke kota-kota besar di Indonesia, ke kota-kota kecil dan seterusnya. Preventif terbaik adalah mengunci desa dan kelurahan (selanjutnya saya persamakan dengan sebutan kampung), yang jauh atau relatif jauh dari kota, masih steril atau relatif steril.
***
Di Provinsi Maluku Utara terdapat 1.110 desa dan kelurahan. 1.002 desa tersebar di dalam 8 Kabupaten dan 1 kota, yakni Tidore Kepulauan. 118 kelurahan tersebar di dalam dua kota; di Ternate 78 kelurahan, dan di Tidore Kepulauan 40 kelurahan.
Jumlah desa terbanyak adalah di Halmahera Utara, 254 desa. Menyusul Halmahera Selatan 249 desa, Halmahera Barat 169 desa, Halmahera Timur 102 desa, Pulau Morotai 88 desa, Kepulauan Sula 78 desa, Pulau Taliabu 71 desa, Kabupaten Halmahera Tengah 61 desa, dan Kota Tidore Kepulauan 49 desa.
Mengefektifkan pengendalian sebaran vCov-19, hemat saya, dapat dilakukan dengan memperhatikan 3 karakteristik utama kampung-kampung di Maluku Utara, yakni: 1). Posisi Geografis, 2). Tingkat Kemajemukan atau sebaliknya Homogenitas;, dan 3). Tingkat Kepatuhan Masyarakat.
Karakteristik Geografis
Pemetaan karakteristik geografis kampung di setiap kabupaten/kota, akan tampak kampung-kampung yang jauh, sedang dan yang dekat dengan perkotaan atau ibu kota-ibukota kabupaten, pusat perekonomian dan jasa, pemerintahan, pelabuhan, bandara, atau kegiatan tertentu yang mengonsentrasikan banyak manusia.
Ini memudahkan penentu kebijakan mengindentifikasi kampung-kampung berdasarkan jarak jangkauan, ketersediaan sarana prasarana transportasi, sebagai faktor pendukung interaksi spasial dan mobilitas manusia.
Kampung-kampung yang jauh, jika tidak menyebutnya terosilir, karena minimnya sarana dan prasarana transportasi dan kondisi perairan yang kurang ramah, dapat disebut “aman” atau “relatif aman”. Keminiman atau ketidadaan interaksi fisikal antara mereka dengan warga perkotaan baik bagi efektifitas social distancing.
Kampung-kampung seperti ini sepatutnya segera “dikunci” dari mobilitas keluar-masuk manusia. Setidaknya mobilitasnya terawasi.
Kebijakan kunci kampung mesti diikuti pula analisa mengantisipasi penyediaan dan distribusi kebutuhan masyarakat yang tidak tersedia di kampung-kampung tersebut.
Kabupaten dengan jumlah desa terbanyak seperti Halmahera Utara (254 desa) dan Halmahera Selatan (249 desa), jika saran solutif ini diberlakukan, maka lebih dari 50 persen kampung pada kedua kabupaten ini dapat ditetapkan dengan status steril, relatif steril atau terkendali.
Kampung-kampung di Halmahera Utara yang menjadi fokus pengendalian adalah yang terbuka oleh akses darat lintas Halmahera, akses laut dari Maba Utara dan Subaim, Halmahera Timur, dan dari Daruba, Pulau Morotai, pun akses udara insidentil di Bandara Kao dan Galela.
Berikut kampung-kampung di pusat kota Tobelo dan sekitarnya yang padat dan relatif kompleks. Sementara kampung-kampung di Kecamatan Kao Barat, Galela Barat, Galela Utara, Loloda Utara dan Kecamatan Loloda Kepulauan. Mestinya segera dipastikan statusnya dan dikunci.
Kampung-kampung di Halmahera Selatan yang terbuka dan aksesibilitas tinggi adalah Labuha, sebagai ibukota, pusat pemerintahan, perekonomian dan jasa, termasuk bandara. Babang dan Kupal dengan keberadaan pelabuhan utama. Beberapa kampung di pesisir Gane Barat, Kayoa juga beberapa pulau di sekitar, hingga Obi sebagai pelabuhan tujuan atau transit. Selain itu, kampung-kampung sepanjang pesisir Gane Timur sampai ke Saketa di Gane Barat.
Kampung-kampung tersebut butuh kosentrasi pengendaliannya. Sementara kampung-kampung di sebagian Kecamatan Bacan Timur, Bacan Timur Tengah, Bacan Timur Selatan, Bacan Barat, Bacan Selatan, MandioIi Utara, Mandioli Selatan, Gane Barat Utara, Gane Barat Selatan, Gane Timur Tengah, Kepulauan Joronga, Sebagian Obi, Obi Selatan, Obi Timur, semestinya segera dianalisis,ditetapkan statusnya dan dikunci.
Jika kebijakan kunci kampung dilakukan, maka lebih 50-60% kampung di Halmahera Selatan berstatus terkendali. Ini bisa dan patut dilakukan di semua kabupaten kota di Maluku Utara.
Karakteristik Kemajemukan
Tingkat kemajemukan atau sebaliknya homogenitas kampung, adalah kondisi sosiologis yang menuntut pendekatan pengendalian yang berbeda. Pendekatan seragam bukan saja tidak efektif, tapi akan kontra produktif.
Pendekatan rigid, pengawasan berlebihan, patroli berkala, barangkali sesuai untuk kampung-kampung majemuk, padat, dan kompleks. Tetapi tidak untuk kampung homogen, permukimannya tertata, dan tipologi masyarakatnya sederhana.
Treatment seragam pada kondisi sosiologis berbeda dapat menimbulkan kegaduhan, memicu kepanikan, bahkan antipati. Dalam kajian psikologi massa, antipati terhadap kebijakan, tindakan aparatur yang tidak sesuai, dinilai over acting, akan diekspresikan warga dengan sikap tak acuh, bahkan tidak patuh.
Tingkat Kepatuhan Masyarakat
Pengelolaan karakteristik kedua erat kaitannya dengan karakteritik ketiga: kepatuhan masyarakat. Kunci efektivitas pengendalian sebaran vCov-19 adalah kepatuhan dan disiplin masayarakat terhadap protokol standar yang ditetapkan pemerintah.
Kemampuan memetakan dan menganalisis kondisi sosiologis kampung-kampung antara lain heterogen atau homogen, efektifitas peran kelembagaan formal dan informal, penghargaan warganya terhadap nilai-nilai semisal saling menghormati, saling mendengar, solidaritas, empati, akan membantu penentu kebijakan memutuskan kampung-kampung mana yang bisa segera diefektifkan “gerakan sadar vCov-19” berbasiskan modal sosial.
Jika kebijakan ini dapat dilakukan sesegera mungkin, maka ada 4 manfaat: 1) Memastikan sejumlah kampung berstatus “terkendali” hanya dengan mengandalkan modal sosial; 2) Kampung-kampung terkendali akan jadi contoh baik bagi kampung-kampung lain yang belum terkendali; 3) Energi pemerintah daerah dan aparat keamanan dapat difokuskan menangani, mengendalikan, mengawasi kampung-kampung dengan tingkat kepatuhan rendah, 4) Pengendalian menjadi lebih praktis, efektif dan efisien.
Fakta bahwa kampung-kampung di pusat Kota Ternate, Tidore dan juga di beberapa ibukota kecamatan di Maluku Utara masih ada yang baik atau relatif baik tingkat kepatuhan dan beberapa modal sosial lainnya yang berkontribusi pada pengendalian vCov-19, ini sejatinya keyakinan bahwa pada sebagian besar kampung di kabupaten lainnya, kepatuhan masyarakat sama baiknya, setidaknya dapat dikondisikan.
Simulasi Ternate sebagai Model
Saya mengajak kita melihat bagaimana ketiga pendekatan ini disimulasikan untuk Kota Ternate. Di kota ini terdapat 78 kelurahan, dan inilah kota terpadat, termajemuk dan teramai, di Provinsi Maluku Utara.
Kota ini tujuan sekaligus kota transit. Setiap hari ada ribuan manusia keluar masuk dari dan ke 9 kabupaten/kota di Maluku Utara, juga dari dan ke berbagai daerah atau wilayah di Indonesia.
Dengan pemetaan posisi geografis secara otomatis terpilah 3 kecamatan di luar Pulau Ternate, yakni Kecamatan Pulau Hiri, Pulau Moti dan Kecamatan Pulau Batang Dua. Sebut saja ketiga kecamatan ini kluster I daerah “relatif paling aman” di Kota Ternate. Di dalam ketiga kecamatan terdapat 18 kampung (kelurahan).
Selanjutnya, terpilah Kecamatan Pulau Ternate dan Kecamatan Ternate Barat, sebagai kecamatan di luar pusat kota, atau di luar kawasan padat penduduk, dan di luar pusat perdagangan dan jasa, bandara, pelabuhan, dan seterusnya.
Kedua kecamatan dapat di sebut Kluster II daerah yang “relatif aman” dalam wilayah Kota Ternate. Di dalam kedua kecamatan ini terdapat 13 kampung (kelurahan).
Nah, sudah 31 kampung (40%) dari total 78 kampung di Kota Ternate terkelompokkan dalam kluster dengan dasar asumsi posisi geografisnya yang akan memudahkan para penentu kebijakan menyusun rencana pengendalian efektif.
18 kampung dalam Kluster I hanya memiliki akses “satu pintu” melalui laut. Pulau Hiri hanya terkoneksi dengan Pulau Ternate dan secara insidentil dengan beberapa kampung di Halmahera Barat dan beberapa kampung di Pulau Tidore. Pulau Moti terinterkoneksi dengan Ternate dan Pulau Makeang dalam transportasi regulernya, dan Pulau Batang Dua terinterkoneksi dengan Ternate dan Pelabuhan Bitung, baik transportasi reguler maupun aktivitas usaha perikanan.
Sementara 13 kampung dalam Kluster II hanya memiliki akses “satu pintu” melalui jalan darat “Ternate Ring Road”, dan beberapa kampung dengan interkoneksi ke Pulau Hiri.
Satu-satunya kampung majemuk adalah Jambula, karena ada perguruan tinggi, kos-kosan mahasiwa, beberapa toko, warung makan, laundry, café dan warung internet. Lantas beberapa kampung atau kawasan yang menjadi pusat keramaian adalah Pantai Sulamadaha, Jikomalamo, Tobololo, dan Tolire.
Hanya kampung-kampung tersebut yang butuh kebijakan pengendaian spesifik, selebihnya cukup memastikan protokol standar dipatuhi – sekali lagi dengan memaksimalkan gerakan “sadar bahaya vCov-19”, memfasilitas musyawarah antarwarga, mendorong inisiatif dan kemandirian warga, dan segera memastikan kondisinya untuk menetapkan statusnya, dan dikunci.
Pemerintah Kota Ternate tinggal berfokus pada 47 kampung tersisa.17 kampung di Ternate Selatan, 15 kampung di Ternate Tengah dan 14 kampung di Ternate Utara.
Dari 47 kampung masih bisa di bagi lagi, antara kampung-kampung di pesisir dan dataran rendah dan kampung-kampung di ketinggian. Kampung-kampung di ketinggian relatif kurang ramai dilintasi kendaraan umum, interkasi warga dari luar kampung pun relatif terbatas.
Di Ternate Selatan ada Tobona, Jati dan Perumnas.Di Ternate Tengah ada Marikurubu, Moya, sebagian kampung Salahuddin dan sebagian kampung Maliaro. Di Ternate Utara ada Tubo, Tobenga, dan sebagian Tubuleu. 9 kampung dalam Kluster III ini patut segera didorong musyawarah antarwarganya, segera dipastikan statusnya, lantas dikunci, atau dikunci terbatas.
Jika pemerintah mengimbau dan kampung-kampung dalam kluster I, II dan III memulai maka saya percaya, beberapa kampung seperti Tanah Tinggi, Toboko, Takoma, Kota Baru, Tanah Raja, Kadaton Tidore-Muhajirin, Kampung Pisang, Santiong, Kalumpang, dan banyak lagi akan melakukan hal yang sama, mungkin dalam kesempatan pertama.
Pemerintah daerah dan instansi terkait berkurang banyak urusannya, mereka bisa berkosentrasi mengendalikan dan mengawasi bandara, pelabuhan —pemeriksaan dan pengawasan para pendatang dari daerah zona merah di Bandara Ternate hingga hari ini masih sangat ala kadar, juga di pelabuhan, dan pusat-pusat keramaian. Kita pantas khawatir. Jika Ternate terkendali maka sebagian besar Maluku Utara terkendali. Jika Ternate terus status quo dampaknya bisa merembet ke mana-mana.
Berikutnya pemerintah daerah dan instansi terkait bisa fokus mengendalikan kampung-kampung majemuk, padat, kompleks, terdapat pasar, terminal, pelabuhan, hotel, penginapan, kos-kosan, seperti Gamalama, Kampung Makassar Timur, Bastiong Talangame, Bastiong Karance, Kota Baru, Dufa-dufa. Juga, kampung-kampung yang majemuk oleh pendatang kalangan mahasiswa dari berbagai wilayah dan daerah, seperti di Gambesi, Sasa, Fitu, Jambula, Akehuda, Dufa-dufa, dan Sangaji Utara, perlu diberi perhatian.
Selebihnya Pemerintah Daerah Provinsi bersama Pemerintah Daerah Kota Ternate patut untuk segera mengupayakan tempat isolasi bagi warga Maluku Utara dari luar daerah yang transit di Ternate. Mereka ODP dan dalam situasi begini mustahil menumpang tinggal di rumah saudara atau teman. Mereka juga tidak boleh langsung pulang ke kampung halamannya, karena kampungnya telah “kunci”. Mereka harus ditampung di suatu tempat selama 14 hari masa inkubasi atau sampai pihak otoritas membolehkan mereka pulang kampung.
Beberapa Tawaran Metode Atau Cara
Sosial distancing, artinya jaga jarak interaksi. Jarak geografis tentu lebih efektif menjaga interaksi orang yang tinggal di dalam satu pulau, satu kecamatan, satu kampung, satu RT/RW dengan orang-orang dari luar wilayah atau lingkungan mereka.
Pemerintah daerah segera terbitkan imbauan resmi, diikuti kebijakan menilai dan memastikan “status aman” atau “stertil, kurang steril dan tidak seteril”terhadap masing-masing kampung di dalam satu kluster atau kecamatan. Langkah konkritnya:
Pertama, mengefektifkan Lurah/Kepala Desa dan perangkatnya, Babinsa, Babinkamtibmas, Tenaga Puskesmas/Pustu, Posyandu, dan tokoh adat, tokoh masyarakat, agamawan untuk memastikan/mendata secara akurat, warga setempat yang baru datang dari luar daerah dalam 2 minggu terakhir.Jika tidak ada, kampung ini boleh ditetapkan “bebas ODP” atau steril.
Kedua, indentifikasi warga yang karena satu dan lain hal sering berkunjung di pusat kota atau kawasan padat dan ramai di Ternate, atau di ibu kota kabupaten lainnya. Ingatkan mereka bahwa mereka termasuk warga yang potensial tertular atau menularkan virus ini. Bila tidak ada urusan penting jangan lagi ke sana. Jika ada yang pentingmereka mesti patuhi protokol standar.
Ketiga, jika mungkin segera adakan tes massal semua warga kampung dalam satu kluster, kecamatan atau wilayah untuk mendapatkan gambaran kesehatan mereka. Jika meyakinkan steril, maka kunci. Itu sama dengan telah mengunci atau mengisolasi satu kecamatan.
Kempat, mendorong kampung “sadar bahaya vCov-19” dan “kampung terkendali”. Lurah/Kepala Desa, Babinsa, Babinkamtibas, tokoh adat-masyarakat dan agamawan, didorng bermusyawarah untuk kesepakatan dan komitemen “Jaga Kampung”, dengan upaya antara lain: 1) Bentuk kelompok Jaga Kampung, cukup 2-3 kelompok dan setiap kelompok beranggotakan 2-3 orang. Beri mereka pemahaman tentang bahaya Cov-19, lengkapi mereka dengan masker, hand sanitizer dan jumbo tempat air murah dan sabun cair untuk menyuci tangan. (Boleh meniru Siskamling di masa Orba); 2) Batasi jam aktifitas warga, menutup akses jalan lingkungan, gang, setapak, sisakan jalan utama, akses ke RSU atau ke instalasi vital ;3) Mengawasi warga yang keluar-masuk. Bila tidak penting jangan keluar. Bila harus keluar patuhi protokol standar. Jika kembali, cuci tangan, wajah, hidung, kumuran sebelum masuk ke rumah; 4) Keluarga sekampung yang di luar daerah, di luar kampung atau telah berdomisili pada kampung-kampung di pusat kota, kampung padat penduduk, tidak boleh berkunjung ke kampung, kecuali sangat penting dan harus mematuhi protokol standar.
Jika lebih 50% kampung di Maluku Utara dipastikan steril (kode hijau) dan terkunci, maka jelas ada pembedanya dengan kampung kode kuning dan kode merah. Warga tidak ada kekhawatiran. Mereka tinggal saling mengingatkan jaga kesehatan, jaga kampung, jaga interaksi dengan orang-orang di luar sana. Mereka dapat menjalani hidup seperti biasa, beribadah secara berjamaah.
Simulasi Ternate mewakili kota padat dan kompleks, dan uraian deskriptif Halmahera Utara dan Halmahera Selatan mewakili kabupaten dengan wilayah terluas dan jumlah kampung terbanyak. Semoga ini dapat menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan Kunci Kampung, solusi efektif social distancing.
—
#garasigenta_ternate 6 April 2020