Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji mengecam keras majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio, Tidore, yang memtuskan bersalah 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur.
Dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis, 16 Oktober 2025, majelis hakim menjatuhkan hukuman lima bulan delapan hari penjara terhadap 11 terdakwa warga adat Maba Sanagaji.
Para pejuang lingkungan ini, dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana perintangan atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat, berdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
“Vonis terhadap masyarakat adat Maba Sangaji ini menambah jumlah serangan atas masyarakat adat dalam membela hak-hak mereka. Amnesty International Indonesia mencatat, selama periode 2019-2024, terdapat setidaknya serangan terhadap 111 korban dari masyarakat adat di Indonesia, termasuk di antaranya dalam bentuk kriminalisasi maupun intimidasi fisik,” ungkap tim koalisasi kepada cermat.
Diketahui, kriminalisasi warga adat Maba Sangaji ini bermula pada 18 Mei 2025, ketika 27 warga Maba Sangaji menggelar ritual adat sebagai bentuk protes terhadap aktivitas tambang nikel PT Position yang telah menggerogoti hutan adat, mencemari sungai, dan merusak kebun warga.
Ritual tersebut merupakan ekspresi budaya dan spiritual masyarakat adat, namun aparat kepolisian justru menangkap seluruh peserta dan membawa mereka ke Direktorat Kriminal Umum Polda Maluku Utara di Ternate.
Polisi menuduh para warga melakukan tindakan “premanisme” dan membawa senjata tajam. Dalam proses interogasi, para warga tidak didampingi penasihat hukum, sidik jari mereka diambil secara paksa, satu orang dipukul, dan dua orang dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan.
Mereka bahkan dipaksa menjalani tes urin secara non-prosedural. Sehari kemudian, 19 Mei 2025, sebanyak 16 warga dibebaskan, sementara 11 lainnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan hingga akhirnya divonis pada Kamis, 16 Oktober 2025.
Koalisi menilai proses hukum ini penuh kejanggalan dan bentuk nyata kriminalisasi terhadap rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya. Negara justru berdiri di pihak perusahaan, menggunakan hukum sebagai alat untuk menindas warga yang menolak tambang.
Vonis terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji, bagi koalisi, menjadi simbol betapa jauh keadilan berpihak pada modal, bukan pada manusia dan lingkungan.
Bagi masyarakat adat Maba Sangaji, hutan, sungai, dan tanah bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup.
Dengan demikian, protes terhadap tambang adalah bentuk pembelaan terhadap kehidupan, bukan tindakan kriminal. Namun, pengadilan justru mengirimkan pesan sebaliknya, bahwa menjaga alam dianggap kejahatan, sementara merusaknya dibenarkan atas nama pembangunan.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menegaskan bahwa Pasal 162 UU Minerba yang digunakan untuk menjerat warga adat telah lama dikritik karena bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia.
Pasal ini mengkriminalisasi masyarakat yang menolak tambang dan menghalangi mereka mengekspresikan haknya untuk menyampaikan pendapat secara damai. Vonis di PN Soasio itu menunjukkan bahwa pasal ini masih menjadi senjata untuk membungkam suara-suara kritis rakyat terhadap kepentingan korporasi tambang yang dibela negara.
Hukuman yang dijatuhkan tersebut bukan hanya ketidakadilan bagi sebelas warga Maba Sangaji, tetapi juga tamparan bagi kemanusiaan di Indonesia. Negara seharusnya melindungi, bukan menghukum rakyat yang menjaga hutan dan air di wilayah mereka.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai organisasi lingkungan, advokasi hukum dan HAM, serta pembela hak masyarakat adat menuntut:
1. Pembebasan tanpa syarat bagi seluruh warga adat Maba Sangaji dari segala bentuk hukuman dan tuduhan pidana.
2. Pemulihan nama baik dan hak-hak hukum sebelas warga yang dikriminalisasi.
3. Penghentian segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan tanah dan lingkungannya.
4. Peninjauan kembali Pasal 162 UU Minerba yang terbukti menjadi alat represi terhadap kebebasan berekspresi.
5. Tanggung jawab negara dan perusahaan tambang untuk memulihkan kerusakan lingkungan dan menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat Maba Sangaji.
Suara Amnesty International Indonesia
Sebelumnya, Amnesty Internasional Indonesia merespons tuntutan Jaksa Penuntut Umum berupa hukuman 5, 6, atau 7 bulan penjara bagi 11 warga adat Maba Sangaji di Pengadilan Negeri Soasio, Maluku Utara, dalam sidang yang digelar pada 8 Oktober 2025.
“Tuntutan ini ialah bentuk nyata kriminalisasi terhadap rakyat. Jaksa memberikan pesan bahwa menjaga hutan, sungai, dan alam sebagai sumber kehidupan disebut ‘kriminal. Dan sebaliknya, merambah dan merusak hutan disebut pembangunan,” tegas Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.
Alih-alih melindungi, kata ia, negara justru memperlakukan mereka sebagai penjahat. Menangkap paksa, juga mengintimidasi warga hanya karena menggelar ritual adat sebagai protes atas aktivitas penambangan nikel yang merusak alam.
Negara, melalui aparat dan sistem hukumnya, tampak berpihak pada korporasi tambang yang merusak lingkungan dan menggusur masyarakat adat dari tanah adat dan leluhur mereka. Kriminalisasi ini mencederai keadilan dan hak konstitusional masyarakat adat atas ruang hidupnya.
“Kami mendesak majelis hakim untuk membebaskan seluruh warga adat Maba Sangaji dari segala tuntutan. Pengadilan juga perlu memulihkan nama baik mereka, serta menuntut negara menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah dan kehidupannya,” desak Usman.
Namun, desakan ini sama sekali tak dihiraukan majelis hakim. Buktinya, tuntutan jaksa itu kemudian menjadi acuan bagi majemelis hakim dalam memvonis 11 warga adat Maba Sangaji.
