Konflik antara masyarakat adat di Desa Todoli, Kecamatan Lede, Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara, dengan pihak PT BMI kembali terjadi.
Persoalan hak penguasaan lahan, pengelolaan lingkungan, hingga kontribusi dari aspek ekonomi menjadi motif yang menyulut konflik berkepanjangan tersebut.
Sultan Ternate, Hidayat Sjah, kepada cermat pada Jumat 19 Mei 2023, menilai ada komunikasi yang terputus antara warga adat, pihak perusahaan, dan pemerintah daerah.
“Padahal kalau ada komunikasi yang konstruktif, masing-masing pihak saling memahami, tentu tidak akan menimbulkan masalah seperti ini,” katanya.
Sultan Hidayat pun berharap pihak-pihak yang berkonflik bersedia ke Kota Ternate untuk berdialog. “Kita harus cari solusinya bagaimana. Saya juga sudah berkonsultasi dengan Polda soal ini,” katanya.
Karena menurut Sultan Ternate ke 49 itu, persoalan seperti ini pernah terjadi di Kecamatan Kao, Kabupaten Halmahera Utara. “Jadi bagi saya ini bukan masalah baru,” ucapnya.
Kala itu, Presiden Direktur PT Nusa Halmahera Mineral (NHM), Haji Romo Nitiyudo Wachjo yang akrab disapa Haji Robert, mengundang sang sultan ke Jakarta.
“Dari situ ada kesepakatan atas kontribusi-kontribusi yang nilai dan porsinya ditetapkan oleh pihak perusahaan. Alhamdulillah aman-aman saja,” ucap Hidayat.
Sultan Hidayat pun teringat dengan aspirasinya soal hak ulayat yang ia sampaikan ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kedaton Kesultanan Ternate pada Rabu 28 September 2022.
“Jadi saat itu presiden tanya, oh iya gimana? Saya bilang, tanah ulayat kan hak kami yang melalui negara perusahaan berinvestasi. Tapi belum berkonstribusi ke kesultanan,” ucapnya ke presiden kala itu.
Mendengar permohonan itu, Presiden Jokowi pun memanggil asisten pribadinya. “Pak Presiden langsung bilang, dicatat ya permintaan pak sultan ini,” kata Sultan Hidayat menirukan ucapan Presiden Jokowi.
“Presiden bilang ini perintah saya, teruskan ke Pak Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi. Artinya, Presiden saja menghormati hak ulayat tanah adat. Pertanyaannya, perusahaan sudah menjalankan perintah presiden belum?” bebernya.
Tunduk di Bawah Aturan Negara
Dalam konflik tersebut, beredar surat yang ditulis oleh para perangkat adat di wilayah Taliabu soal kewenangan Kesultanan Ternate atas setiap investasi yang masuk.
“Bahwa setiap usaha yang mendapatkan izin dan atau tidak dari lembaga adat dinyatakan tidak sah, ini juga perlu saya luruskan,” ucapnya.
Menurutnya, adat bukan lembaga yang berkompeten dalam menentukan setiap izin usaha. “Kita harus patuh terhadap aturan dan hukum-hukum yang dibuat negara,” tegasnya.
Ia bilang, ayahnya mendiang Sultan Ternate ke 48, Mudaffar Sjah, saat membangun usaha pabrik sagu di Halmahera Utara pun mengajukan izin ke pemerintah.
“Artinya, kita tunduk di bawah aturan dan hukum-hukum yang dibuat negara. Jadi lembaga adat juga tidak boleh main kelola, gali, jual, tidak boleh,” tuturnya.
Tapi, sambung Sultan Hidayat, negara dalam hal ini pemerintah daerah maupun pusat, harus hadir dan bertindak sebagai panglima.
“Tugas negara adalah melindungi masyarakat, khususnya masyarakat adat yang hak ulayatnya masih diakui oleh negara. Pemerintah tidak boleh lepas tangan,” tegasnya.
Karena sebelum Indonesia merdeka dan menyatu dalam bingkai NKRI, Kesultanan Ternate dulunya adalah sebuah negara yang berdaulat. “Ada perangkat, basis kultur, serta hukum-hukumnya,” katanya.
Maka, hak masyarakat adat wajib dihormati. “Di sini, pemerintah daerah harus menjadi mitra bagi kesultanan. Apa salahnya bangun kerja sama,” ucapnya.
“Karena saya melihat, masyarakat mengadu ke pemda tidak diakomodir, ke perusahaan juga mungkin disepelehkan, jadi mau ke mana lagi kalau bukan kesultanannya,” tukasnya.
Kesultanan Ternate Bukan Ormas
Keterlibatan lembaga adat dalam konflik lahan di Pulau Taliabu pun merembet ke persoalan legalitas, terutama dari aspek administrasi.
Kabarnya, Badan Kesbangpol Pemda Taliabu meminta lembaga adat Kesultanan Ternate di wilayah Taliabu membuat akta notaris.
“Sepertinya pemda kurang paham. Ini yang saya sayangkan. Lembaga adat bukan organisasi masyarakat yang muncul setelah Indonesia merdeka,” tegasnya.
Kesultanan Ternate, kata Sultan Hidayat, sudah ada sejak 800 tahun silam sebelum Indonesia merdeka. “Jadi SK yang kami buat saat mereka dikukuhkan sudah cukup, masa kita harus bikin akta notaris,” cetusnya.
Menurutnya, sikap para sultan mengikuti ide Soekarno dengan menyerahkan wilayah kekuasaannya dan memilih bergabung ke dalam NKRI, bertujuan agar kelak ada berbaikan serta perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.
“Jadi sederhanannya, perusahaan harus berkontribusi terhadap warga sekitar dan pemerintah tidak boleh lepas tangan. Karena pemerintah adalah mitra kesultanan,” ucapnya.
“Cara mengatasinya bagaimana? Bangun dialog. Apa salahnya sih berbagi. Buktinya, NHM bisa. Aman-aman saja. Kenapa yang ini tidak bisa, ada apa?,” pungkasnya.
_________
Penulis: Nurkholis Lamaau