Melihat Proses Salat Idulfitri dan Sketsa Toleransi di Kesultanan Ternate

Perangkat berbaju serba hitam dari Soa Tabanga, salah satu soa Non-muslim di Kesultanan Ternate. Foto: Muhammad Ilham Yahya/cermat

Pagi itu langit cerah, udara sejuk menenangkan jiwa. Orangtua, anak-anak mulai berbondong-bondong menuju ke Kedaton Kesultanan Ternate. Ada yang ingin menyaksikan prosesi Kabasaran Uci, salah satu tradisi yang mengakar lama di Kesultanan Ternate.

Sabtu 22 April 2023, gema takbir mulai berkumandang di seantero kota, pertanda akan di gelarnya salat Idulfitri 1444 Hijriyah.

Perangkat Bobato Akhirat Sigi Heku, Cim, dan Sigi Lamo tiba untuk mengambil Salawat di Kadaton. Foto: Muhammad Ilham Yahya/cermat

Tradisi yang sangat dinanti-nanti oleh masyarakat ini selalu dilakukan 4 kali dalam 1 tahun, yakni pada malam Qunut, malam lailatulqadar, Salat Idulfitri dan Idul Adha.

Jo Hukum Soasio Kesultanan Ternate, Gunawan Yusup Rajim mengatakan, tradisi ini sudah ratusan tahun terjaga dan telah menjadi kebiasaan yang rutin dilakukan setiap tahunnya oleh Kesultanan Ternate.

“Dalam Kabasaran Uci terdapat Jou Kolano di dalamnya. Jadi yang disebut kabasaran itu terletak pada dua payung dan pusaka-pusaka kesultanan yang dibawa turun mengiringi Sultan ke Sigi Lamo atau masjid Besar,” kata Gunawan.

12 anak laki-laki atau Ngungare Ici yang dipimpin Murinyo Kie saat membawa pusaka-pusaka Kabasaran Kolano. Foto : Muhammad Ilham Yahya/ cermat

Pusaka-pusaka Kesultanan kemudian dibawakan oleh 12 anak laki-laki atau Ngungare Ici yang dipimpin oleh Murinyo Kie, saat membawa Kabasarang Kolano dalam prosesi Kabasaran Uci.

Tampak semua perangkat adat Kesultanan Ternate mulai mempersiapkan perlengkapan yang nanti digunakan dalam prosesi tersebut.

Waktu menujukan pukul 7.30 WIT, tampak para perangkat Bobato Akhirat (Para Imam dan perangkat keagaman) Heku, Cim, dan Sigi Lamo mulai berdatangan untuk solawat di Kadaton.

Terdengar bunyi tatabuang yang ditabu untuk menyambut para Bobato yang datang. Tatabuang berupa gamelan yang dibunyikan pada waktu-waktu tertentu, yakni malam pertama Ramadan, Qunut, Lailatulqadar, Salat Ied, hinga Idul Adha.

Tatabuang atau bisa disebut Cikamumu yang dimainkam oleh Soa Jawa dalam prosesi Kabasaran Uci. Foto: Muhammad Ilham Yahya/cermat

“Pertugas memainkan tatabuang ini dari Soa Jawa atau Komunitas orang Jawa di Ternate, karena dari sejarahnya seperangkat gamalen ini diberikan oleh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Gersik kepada Sultan Zainal Abidin untuk dibawa pulang ke Ternate,” ungkap Gunawan.

Baca Juga:  Melihat Orang Daruba, Morotai, Bersihkan Perkuburan Sambut Ramadan

Sultan kemudian dipikul menggunakan doi-doi (tandu) dan dikawal oleh Kimalaha Doi-doi, Madjid Husain menuju Sigi Lamo atau Mesjid Besar Kesultanan.

Sesampainya di Sigi Lamo Sultan kemudian Melaksanakan Salat Ied yang diimami oleh Jo Kalem Kesultanan Ternate, Hidayatusalam Sehan.

Wujud toleransi yang Tetap Terjaga

Telah begitu lama tolerensi di Kesultanan Ternate terjaga, hal itu bisa dilihat dengan hadirnya perangkat adat yang menggunakan baju serba hitam dan ikat kepala hitam yang turut serta mengawal prosesi Kabasaran Uci.

Mereka adalah Bala atau rakyat yang nonmuslim, mereka bermukim di Soa Tabanga atau kampung Tabanga yang berada di sebelah barat Kadaton Kesultanan Ternate.

Sultan Ternate ke-49 di arak menggunakan Doi-doi atau tandu menuju Sigi Lamo dalam prosesi Kabasaran Uci. Foto: Muhammad Ilham Yahya/cermat

“Ketika Sultan dan perangkatnya melaksanakan salat, mereka ini yang bertugas untuk mengawal. Hal ini sudah beratus tahun terjaga sampai saat ini,” kata Jo Hukum Soasio.

“Ini merupakan bentuk toleransi yang bisa dijadikan contoh untuk umat beragama di tempat lain,” tambahnya.

Nyong Ali (49 tahun), yang dilantik sebagai Kapita Tabanga sejak tahun 2008 silam mengatakan, Jabatan Kapita Tabanga merupakan bagian dari Heku atau Satuan Angkatan perang Kesultanan Ternate, yang membawahi 12 Soa atau perkampungan.

“Saya sendiri membawahi dia bala atau taro yang masing-masing beragama muslim dan nonmuslim yang berada di Soa Tabanga. Hal ini adalah bagian dari warisan turun temurun yang kami jaga sampai generasi sekarang,” katanya.

Stevi, salah satu bala dari Soa Tabanga mengatakan, tidak ada paksaan atau apapun itu, “Ini adalah bagian dari identitas kami yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari Kesultanan Ternate. Ada sebuah pengakun tentang Jou Ma Dubo atau Allah yang Esa, yang sedari dulu dijaga oleh para moyang-moyang kami, untuk itu kami generasi sekarang tetap menjaga dan melestarikannya” kata stevi.

Baca Juga:  Kolonialisme di Ternate
Penulis: Muhammad Ilham YahyaEditor: Faris Bobero