Memotret Jejak Kebangsaan di Pulau Hiri 

Telaah Sosio-Historis [1]

Tampak Pulau Hiri dari Kota Ternate. Foto: IG Sufri Qcun

Oleh: Wawan Ilyas*

 

ORANG-ORANG Hiri sejak lama terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketika para sejarawan menulis kisah-kisah heroik raja-raja dari abad berganti abad, atau tokoh nasionalis maupun religius yang memberi kontribusi terhadap bangsa, dalam kurun begitu lama, hampir tak ditemukan kecenderungan dasar menelusuri jejak-jejak kontribusi warga lokal di pelosok negeri yang spirit kehidupan mereka diabdikan seluruhnya demi kemerdekaan.

Sejarah ditulis sebagai pemenang para raja, jenderal atau siapa yang berkuasa. Bukan sebagai perjuangan hidup mati “orang-orang kecil” di medan pertempuran. Dalam konteks itu, Indonesia tidaklah menjadi suatu bangsa besar yang dikenal dalam sejarahnya tanpa melihat jejak kesejarahan komunitas kebangsaan di seluruh pelosok Nusantara

Masyarakat Hiri sebagai Bangsa

Sejak pertengahan tahun 1500-an, ketika imperialisme Eropa (Portugis) hadir di tanah Maluku, orang-orang Hiri telah berperan aktif menjaga ketahanan negeri. Masyarakat Hiri menjadi garda utama pasukan laut negara maritim kesultanan Ternate. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah Datu Sjah, tercatat 400 pasukan dari Hiri dilibatkan ke dalam struktur barikade laut melawan armada imperialisme Eropa [2]

Kesultanan Ternate sebagai negara maritim terbesar Indonesia Timur, dan komunitas kebangsaan orang Hiri telah menjadi bagian integral pasukan utama, dan pelestari adat serta budaya di dalamnya [3]. Selain utama di bidang angkatan laut, masyarakat Hiri merawat hirarki kultural paling tinggi dalam suatu kesatuan politik masyarakat adat kesultanan Ternate. Secara kultural, terdapat lima Soa (kampung/kesatuan) di Pulau Hiri, sementara di Ternate hanya ada empat Soa.

Dalam makna kesatuan politik-pemerintahan, Soa artinya kampung yang dipimpin seorang Fanyira. Tetapi pada makna kultural, Soa adalah pendekan dari dua kata: “sonyinga” dan “asal” (sonyinga asal/mengingat asal [4]). Bila diartikan harfianya, Soa adalah akronim masyarakat bersejarah dan warisan budaya yang mengajarkan kita, untuk selalu mencintai identitas asal, merawat adat dan budaya setempat, serta saling menghargai antar sesama dalam kehidupan masyarakat. Dalam pemaknaan kultural Soa itu juga, arti sebuah bangsa (nation) melekat, dimana bangsa merupakan sekumpulan perasaan, imajinasi dan kehendak untuk hidup bersama menurut nilai-nilai kultural yang dianut dalam komunitas tertentu [5]

Masyarakat Hiri adalah potret komunitas kebangsaan yang memiliki sejarah, memori kolektif, nilai-nilai budaya, asal-usul kekerabatan, kesatuan politik (Soa), dan tentu kehendak untuk diakui (recognition) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara [6].

Sebagai bangsa, persinggungan internasional masyarakat Hiri dalam sejarah Indonesia ikut melenyapkan Jepang dari bumi Maluku Utara. Semasa pendudukan Jepang 1943-1945, sekelompok pemuda Hiri direkrut oleh pasukan Sekutu ke dalam barisan Hulpthroepen (tentara bantuan) yang dibentuk melalui Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) di Morotai tahun 1944.

Pembentukan gabungan pasukan militer ini bertujuan menjalankan misi rahasia negara-negara Sekutu mengasingkan Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah dan keluarganya dari Ternate ke Australia. Douglas MacArthur, pemimpin utama Sekutu dalam Perang Pasifik (Perang Asia Timur Raya) menginstruksikan penggabungan ini yang melibatkan intelijen Belanda, Perwira Amerika dan kolonel Australia serta pasukan Hulpthroepen [7] melawan Jepang, yang saat itu datang ke Nusantara membawa ideologi Fasisme Eropa [8]. Yang menarik dari operasi ini, MacArthur yang berkedudukan di Morotai, memilih Pulau Hiri sebagai Pulau transit misi rahasia tersebut.

Pulau transit artinya, sebelum pasukan mendarat di Ternate dari Morotai, mereka terlebih dulu berlabuh di Pulau Hiri, tepat di Pantai Sake Madaha (sekarang lokasi PLN Pulau Hiri di kelurahan Faudu). Unit khusus gabungan militer itu berlayar menumpangi armada perang Torpedo milik Amerika Serikat jenis MBT 367 dan 178 [9]. Mengapa harus Pulau Hiri?

Secara geostrategi, Pulau Hiri memungkinkan karena beberapa alasan. Pertama, dari Morotai, Pulau ini berada pada wilayah diluar pusat komando Jepang yang terletak di Utara Halmahera, karena Hiri berdiri kokoh dekat bagian Barat Halmahera. Posisi ini memberi kemudahan berlayar dan bebas dari pantauan pasukan Jepang. Kedua, secara kultural, Pulau Hiri merupakan tempat bermukim loyalis Sultan yang sama-sama berkeinginan mengenyahkan Jepang dari tanah Maluku Utara. Hal itu ikut memberi kemudahan akses dan membuka ruang komunikasi tentara Sekutu dengan Sultan Ternate. Ini jadi jawaban mengapa seluruh pasukan Hulpthroepen berasal dari rakyat yang mendiami Pulau Ternate, Pulau Hiri dan Pulau Halmahera bagian Barat. Ketiga, Hiri satu-satunya Pulau terdekat di bagian Barat Pulau Ternate yang jauh dari pos militer Jepang di jantung Kota Ternate.

Sejauh ini, tidak ada tulisan serius tentang sejarah kebangsaan pra-kemerdekaan di Pulau kecil bagian Timur Nusantara ini, selain sejumlah catatan pendek yang menyinggung sambil lalu tanpa penjejakan lebih dalam peran orang Hiri.

Kesulitan menemukan dokumen-dokumen resmi sejarah di satu sisi membuka peluang akademisi menyusuri lorong-lorong sejarah dari fondasi ilmu sosial. Pendekatan ilmu sosial dalam memahami sejarah sangatlah penting, seiring penulisan historiografi Indonesia yang membuka kesempatan luas terhadap cakupan sejarah lokal dengan sumber “oral history/sejarah lisan [10].”

Melalui metode ini, ingatan sejarah warga lokal yang menjadi saksi sebuah peristiwa besar dapat dimanfaatkan sebagai “batu lompatan” menjejaki relasi, dinamika, dan makna peristiwa sejarah. Tentu, cara-cara ini dilakukan dengan kadar yang masuk akal dan bisa dipertimbangkan sebagai kaidah sejarah lokal. Saya menemui seorang saksi sejarah revolusi 1945 berusia 103 tahun di Tomajiko, Pulau Hiri. Beliau menuturkan secara lisan menggunakan bahasa Ternate memori kelam kehidupan pada saat pendudukan Jepang;

Japang ge ana kejam. Ana kajahatang gou-gou. Ngom Sira GE ahu baso sengsara ne. Nage ana kalo salah, Japang mansibu tola. Japang na gulaha ge oho mai susah, pakeang mai susah. Waktu nage ge, mancia firi toma banga dofu. Manyika fai guru kara mahiku toma guru [11].”

Baca Juga:  Baju Dinas ASN dalam Lintasan Sejarah

Artinya: “Jajahan Jepang itu kejam. Mereka benar-benar jahat. Dulu kehidupan kami sangat sulit. Jika seseorang bersalah, Jepang akan membunuh dengan pasukan mereka (manseibu). Akibat ulah jepang, kami susah mendapat pasokan makanan. Pakaian juga susah. Waktu itu, banyak orang lari ke hutan/kebun, sebagian menggali tanah, bersembunyi dalam lubang.”

Lubang yang dimaksud dalam kisah itu adalah Lofra [12]. Masa pendudukan Jepang telah merubah struktur dan polarisasi masyarakat secara menyeluruh. Organisasi perkumpulan dibatasi, distribusi pangan harus melalui izin Jepang, hasil panen harus dibagi 30 persen kepada Jepang [13]. Teror fisik dan psikis menjadi penyakit mematikan bagi kebebasan warga lokal.

Ketika Abdu Basil dan sebagian pasukan Hulpthroepen dalam masa kepelatihan militer di Morotai, polisi militer Jepang (manseibu) mendatangi desa Tomajiko dan berencana menangkap istri dan anak-anak Abdul Basir untuk dibawakan ke lokasi eksekusi di Ternate [14].

Informasi mengenai kedatangan Jepang diketahui oleh masyarakat desa Faudu, desa kelahiran Abdul Basir. Sesegera dengan gagah berani dilandasi jiwa perlawanan, puluhan orang Faudu datang ke desa Tomajiko membawa senjata tradisional: pedang dan salawaku. Mereka akan melindungi seluruh keluarga Abdul Basir dari upaya penahanan Jepang. Alija Tata mengisahkan ketegangan ini sebagai berikut;

Mancia Faudu ana barani gou-gou. Kama gulfino ua. Waktu ge ana tete ne dia Morotai. Japang hado kane sari coho mafuheka se mangofa gasa sidara. Mancia Faudu ise habar ge si ana ino nau sema nyagi gugu peda simoi. Ana tego ge Toma Sigi Mangara ge, Japang hida ana ge Japang gulfino. Coho Abdul Basir mafuheka se mangofa dadi ua. Ana japang kureho sidara.

Artinya: “Orang Faudu itu mereka sangat berani. Tidak ada rasa takut. Saat itu Abdul Basir sedang berada di Morotai, lalu pasukan Jepang datang ke desa ini (Tomajiko) hendak menangkap istri dan anak-anak beliau. Begitu informasi ini diketahui orang Faudu, mereka segera datang berkumpul di depan Masjid Tomajiko memegang pedang. Ketika tentara Jepang melihat loyalis Sultan timbul rasa takut dalam diri mereka. Operasi penangkapan keluarga Abdul Basir dibatalkan. Mereka (Jepang) kemudian kembali ke Ternate tanpa membawa kegagalan.”

Penggalan kisah itu sebetulnya menerangkan tentang sebuah bangsa yang tak mau dijajah. Ada identitas yang dibela dengan keberanian, ada kekerabatan yang dipertahankan, ada kedaulatan yang tak boleh direbut. Pada masa yang kelam itu, orang-orang Hidup dalam labirin teror dan ketidakpastian. Dan karena nilai yang telah tertanam selama ratusan tahun bersama kesultanan, maka menjadi masuk akal mengapa loyalis Sultan dari Hiri ikut berjuang mati-matian selama masa perang pendudukan Jepang.

Pernah Asia Timur Raya sebagai etalase Perang Dunia II bermula dari upaya Jepang melancarkan hegemoni politik di wilayah Asia membawa ideologi Fasisme yang dibantu Jerman dan Italia. Jepang melepaskan serangan bom di Pearl Harbor, pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Hawai pada tanggal 7 Desember 1941 [15]. Pada hari berikutnya, Amerika mendeklarasikan perang dengan Jepang. Sekutu Jepang (Jerman dan Italia) kemudian menyatakan perang dengan Amerika.

Perselisihan negara-negara besar itu berdampak luas hingga ke tanah Maluku Utara, ke Pulau Hiri yang menewaskan Abdul Basir. Bagaimanapun itu, kisah kebangsaan ini perlu diceritakan dengan langgam yang khas sejarah lokal masyarakat Pulau Hiri sebagai suatu bangsa. Saat ini, jejak kebangsaan orang Hiri dalam Perang Dunia II terlukis dalam sebuah naskah klasik beraksara Arab-Ternate, atau dikenal sebagai huruf Pegon. Tulisan berhuruf Arab, namun bunyi bacaaan berbahasa Ternate.

Satu langkah dokumentasi sejarah yang dilakukan warga lokal bernama Hasan Sehe dari desa Faudu. Tete Cang memberi judul tulisan itu; “Tamsil Kejadian Ternate [16].” Dan naskah tergolong epik, jadi salah satu bentuk “cultural narative” untuk mengungkap perihal sejarah dan jejak kebangsaan di Pulau Hiri, karena ditulis langsung oleh pelaku sejarah yang juga orang Hiri. Dalam konteks ini, ketiadaan arsip atau dokumen resmi dari negara selama ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan cerita pada fase kehidupan yang kelam itu di Pulau Hiri. Justru, catatan-catatan epik ini adalah “medium” awal membaca betapa luasnya keterlibatan warga lokal dalam sejarah pembentukan negara modern di Indonesia.

Melihat Hiri dari Ragam Sudut

Membicarakan sejarah bangsa orang Hiri berarti melacak identitas sosial, politik, agama, pendidikan dan budaya di Pulau Hiri. Studi tentang masyarakat di Pulau ini sudah sepantasnya didesain dari pelbagai perspektif keilmuan. Geologi, Arkeologi, Sosiologi, Antropologi, Sastra, Linguistik, pendidikan agama, biologi, kehutanan, kelautan, dan masih banyak disiplin yang mempelajari manusia dan lingkungan masa lalu, masa kini dan kemungkinan masa depan. Fakta kemajemukan dan polarisasi masyarakat Hiri saat ini sebenarnya sebagai jalan kemungkinan untuk dijejaki dengan keberagaman perspektif di atas.

Seiring cita-cita bersama menjadikan Pulau Hiri sebagai destinasi wisata sejarah, budaya, alam dan sebagainya, maka perlu direncanakan langkah-langkah yang terukur menjadi penting. Yang utama adalah mendesain Pulau Hiri secara luas dengan dasar nilai-nilai edukatif. Dinamika kehidupan orang Hiri tidak lepas dari dua kekuatan struktur hingga sekarang. Satu sisi berasal dari institusi kesultanan Islam Ternate, dan lembaga pemerintahan modern di sisi lainnya. Kedua struktur itu memainkan peranan masing-masing dengan unit-unit kerja nya sendiri. Namun, seperti ditunjukkan sosiolog Maluku Utara, Herman Usman, bahwa relasi dan proses dua kuasa di satu kota ini justru bukan tanpa masalah. Struktur kesultanan Islam ternyata semakin “memudar” seiring begitu kuatnya tekanan dan hegemoni struktur negara modern [17]. Ini di tandai dengan tidak teraksentuasinya nilai-nilai kesultanan dalam kebijakan pembangunan daerah.

Baca Juga:  Satu Orang Dua Status: Sultan dan Gubernur

Pulau Hiri kaya akan sejarah. Di bidang sosial-keagamaan, terdapat lembaga Pangaji yang mencerminkan identitas dan praktek keagamaan masyarakat pesisir. Melalui Pangaji, kita boleh pahami ternyata ada budaya literasi di Pulau Hiri sejak dulu. Menggambarkan proses pendidikan suatu bangsa secara tradisional dengan keutamaan “lefo” dan manuskrip lainnya yang disimpan para tetuah [18].

Studi pangaji akan membuka jejaring luas cara-cara pengawetan ajaran dan praktek Islam yang khas kesultanan Ternate. Hari ini, pendidikan pangaji tidak lagi menjadi pedoman sejalan kemunculan metode pendidikan modern yang dibawa oleh institusi pendidikan negara modern. Kita kehilangan pendidikan kebudayaan paling mendasar.

Pada masa Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah, pendirian pangaji di Pulau Hiri dilakukan secara masif. Dibuktikan dengan kehadiran seorang Muballig Arab bernama Habib Thoha Bin Muhammad Albaar. Saat ini keramatnya ada di Dorari Isa. Habib itu datang ke Pulau Hiri atas perintah sang Sultan untuk menyerukan pendidikan agama dan pengawetan tradisi pangaji [19]. Dalam lanskap sejarah ini, ada struktur tradisional kesultanan yang ikut mengintervensi gerakan pembangunan pangaji. Sebuah kebijakan kebudayaan yang hampir tak ditemukan di kesultanan maupun pemerintah saat ini. Apa yang yang kita saksikan dalam sejarah pangaji itu merupakan “jejak langkah” sebuah bangsa dalam merawat kehidupan sosial-keagamaan dalam suatu wilayah.

Selain pangaji, terdapat situs-situs megalitik Islam yang ditemukan dalam sebaran Jere/karamat di Pulau Hiri. Studi tentang Jere dapat memahami kehidupan masyarakat Hiri masa lalu, terutama berkaitan bentuk-bentuk penyiaran Islam, bagaimana proses migrasi masyarakat Islam ke Pulau Hiri, serta bagaimana tradisi keislaman di kesultanan Ternate pada masa tertentu. Praktek menjiarahi Jere, di satu sisi memuat nilai sosial dalam menjaga keseimbangan lingkungan yang menjadi unsur inheren kehidupan masyarakat tempatan. Sayangnya, saat ini kita belum menemukan penelitian serius bidang Arkeologi maupun disiplin serumpun yang mengisahkan mengenai Jere khususnya di Pulau Hiri. Adalah tugas kita memahami dan memulai “bergerak” untuk suatu tujuan yang manusiawi bagi generasi masa depan Pulau Hiri.

Penutup

Masyarakat Hiri adalah tipe masyarakat multikultur. Terlibat dalam perjuangan kebangsaan jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Pulau Hiri berisi wawasan dan warisan sejarah dunia dan identitas kebangsaan Indonesia. Ada kekayaaan yang butuh digali, dipelajari sedalam mungkin. Semua itu membutuhkan kerja sama banyak orang, banyak lembaga dan tentu perencanaan pembangunan yang terukur. Masyarakat Hiri adalah bangsa bersejarah yang bernasib sama dengan kebanyakan masyarakat Indonesia. Dikucilkan sejarahnya oleh elit-elit sendiri, dilucuti kedaulatannya oleh bangsa sendiri. Dan, hanya “bernilai” jika tiba momen politik praktis. Suatu bangsa tidak seharusnya diperlakukan seperti itu.


Catatan kaki

[1] tulisan ini pernah dipresentasekan pada kegiatan “Seminar Sejarah Pulau Hiri” yang dilakukan oleh mahasiswa KKN Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Pulau Hiri pada tanggal 10 Agustus 2024.

[2] Baca: “Riwayat Pengusiran Sultan Baabullah Terhadap Portugis di Nusantara”. Dokumen Pengusulan Sultan Baabullah sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia 2020.

[3] Simbolisasi dari struktur ini tergambarkan melalui posisi perahu kora-kora disetiap ritual “kololoi Kie mote ngolo (tradisi keliling gunung Gamalama lewat jalur laut) yang dilakukan di kesultanan Ternate. Perahu kora-kora Soa Dorari Isa di posisi paling depan (dijuluki kaso mahema), perahu Juanga yang memuat Sultan berada di belakang perahu Dorari Isa. Soa Mado mengapit perahu Sultan di sisi kanan, Soa Togolobe di samping kiri. Di belakang juanga Sultan ada koran-koran Soa Faudu, kalau dibelakang Soa Faudu ada kora-kora Tomajiko. Semua posisi kora-kora dari lima Soa itu memiliki fungsi dan tugas masing-masing pada saat menjalankan misi peperangan di jalur laut.

[4] disadur dari percakapan bersama satu tokoh adat di Kota Ternate pada bulan Ramadhan 1445 Hijriah.

[5] pemahaman mengenai “bangsa” bisa dilihat dalam Benedict Anderson, “Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang.” 2008. Insist Press dan Pustaka Pelajar

[6] dari segi etnisitas, masyarakat Pulau Hiri adalah hasil migrasi dari keturunan pelbagai etnis Maluku Utara. Di Soa Tomajiko, terdapat keturunan dari Mangoli bermarga Umasangaji, di Faudu ada keturunan Makian dan Sula. Di Togolobe ada Idammadehe dari Jailolo. Di Dorari Isa ada orang keturunan dari Tidore marga Marasabesy dan juga menjalin relasi kekerabatan sangat erat dengan masyarakat Payo, Bobo dan Syaria di Halmahera Barat. Sedangkan menurut cerita rakyat setempat, muasal orang Mado adalah terdapat orang-orang keturunan Arab (mereka menyebutnya bogadad, yang sepadan dengan Baghdad di Irak). Karamat Mado dipercaya sebagai makam orang Auliya, penyiar Islam dari Arab itu. Dengan adanya keterangan ini, dapat berarti bahwa masyarakat Hiri adalah tipe masyarakat multikultur yang meng-imajinasi-kan nilai-nilai kolektif dalam satu kesatuan politik dibawah lembaga kesultanan Islam Ternate.

[7] Jika Jepang merekrut bekas tentara KNIL menjadi tentara bantuan mereka yang disebut Heiho (Hasyim, 2019), maka Sekutu menamakan pasukan mereka sebagai Hulpthroepen.

[8] Baca: “Abdul Basir, Sultan Djabir dan MacArthur; Memoar Luka Perang Dunia II di Pulau Hiri”. Artikel dalam Cermat.co.id.

[9] baca Historia.id. Sultan Ternate diselamatkan Jendral MacArthur

[10] Henk Schulte, dkk [editor]. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Yayasan Obor Indonesia.

[11] percakapan bersama saksi sejarah 1945, Alija Tata, awal Juli 2024 di rumah beliau samping Masjid Nurul Aminin, Tomajiko Pulau Hiri. Beliau adalah anak menantu Abdul Basir, tokokh kunci pasukan Hulpthroepen asal Hiri, yang tertembak dalam pertempuran di Pulau Hiri melawan Jepang tanggal 10 April 1945.

[12] Lofra merupakan lubang persembunyian warga pada masa pendudukan Jepang. Saat ini terdapat satu bekas Lofra di pulau Hiri, tepat dibelakang Masjid Togolobe. Menurut informasi lapangan, Lofra tersebut digali pada saat momen penyelamatan Sultan Iskandar Muhammad Djabir ke Pulau Hiri oleh tentara Sekutu dan pasukan Hulpthroepen.

[13] Rustam Hasyim. Kesultanan Ternate pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Jurnal ilmu budaya. Volume 11, No. 2 Tahun 2023.

[14 istri Abdul Basir bernama Bansa Usman. Sedangkan anak-anak mereka adalah Abatu A. Basir, Onci A. Basir dan Djafar A. Basir

[15] baca encyclopedia.ushmm.org. World War II in the Pacific. Akses 9 Agustus 2024.

[16] naskah klasik ini saya peroleh dari seorang ahli waris naskah bernama Hi. Harun N. Tomahir, di kelurahan Sangaji Utara, Kota Ternate.

[17] Herman Usman. “Satu Kota Dua Kuasa”. 2015. Disertasi S3 di Universitas Indonesia. Belum dipublikasi.

[18] pada tahun 1990-an akhir, saya masih dapat melihat langsung kemahiran seorang Khalifa di Pulau Hiri menulis aksara Pegon. Khalifa itu bernama Radjab Abdullah. Kami bisa menyapa beliau dengan nama Tete Jabu. Beliau salah satu alumni pangaji yang dihormati karena kemahiran tersebut. Saat ini, kita sudah sulit menemukan orang yang mahir menulis aksara Pegon seiring memudarnya lembaga pendidikan Islam tradisional Islam Pangaji di wilayah bersejarah ini.

[18] baca; ” Monumen Kebudayaan yangCatatan kaki

[1] Versi awal tulisan ini pernah dipresentasekan pada kegiatan “Seminar Sejarah Pulau Hiri” yang dilakukan oleh mahasiswa KKN Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Pulau Hiri pada tanggal 10 Agustus 2024.

[2] Baca: “Riwayat Pengusiran Sultan Baabullah Terhadap Portugis di Nusantara”. Dokumen Pengusulan Sultan Baabullah sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia 2020.

[3] Simbolisasi dari struktur ini tergambarkan melalui posisi perahu kora-kora disetiap ritual “kololoi Kie mote ngolo (tradisi keliling gunung Gamalama lewat jalur laut) yang dilakukan di kesultanan Ternate. Perahu kora-kora Soa Dorari Isa di posisi paling depan (dijuluki kaso mahema), perahu Juanga yang memuat Sultan berada di belakang perahu Dorari Isa. Soa Mado mengapit perahu Sultan di sisi kanan, Soa Togolobe di samping kiri. Di belakang juanga Sultan ada kora-kora Soa Faudu, lalu dibelakang Soa Faudu ada kora-kora Tomajiko. Semua posisi kora-kora dari lima Soa itu memiliki fungsi dan tugas masing-masing pada saat menjalankan misi peperangan di jalur laut.

[4] disadur dari percakapan bersama satu tokoh adat di Kota Ternate pada bulan Ramadhan 1445 Hijriah.

[5] pemahaman mengenai “bangsa” bisa dilihat dalam Benedict Anderson, “Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang.” 2008. Insist Press dan Pustaka Pelajar

[6] dari segi etnisitas, masyarakat Pulau Hiri adalah hasil migrasi dari keturunan pelbagai etnis Maluku Utara. Di Soa Tomajiko, terdapat keturunan dari Mangoli bermarga Umasangaji, di Faudu ada keturunan Makian dan Sula. Di Togolobe ada Idammadehe dari Jailolo. Di Dorari Isa ada orang keturunan dari Tidore marga Marasabesy dan juga menjalin relasi kekerabatan sangat erat dengan masyarakat Payo, Bobo dan Syaria di Halmahera Barat. Sedangkan menurut cerita rakyat setempat, muasal orang Mado adalah terdapat orang-orang keturunan Arab (mereka menyebutnya bogadad, yang sepadan dengan Baghdad di Irak). Karamat Mado dipercaya sebagai makam orang Auliya, penyiar Islam dari Arab itu. Dengan adanya keterangan ini, dapat berarti bahwa masyarakat Hiri adalah tipe masyarakat multikultur yang meng-imajinasi-kan nilai-nilai kolektif dalam satu kesatuan politik dibawah lembaga kesultanan Islam Ternate.

[7] Jika Jepang merekrut bekas tentara KNIL menjadi tentara bantuan mereka yang disebut Heiho (Hasyim, 2019), maka Sekutu menamakan pasukan mereka sebagai Hulpthroepen.

[8] Baca: “Abdul Basir, Sultan Djabir dan MacArthur; Memoar Luka Perang Dunia II di Pulau Hiri”. Artikel dalam Cermat.co.id.

[9] baca Historia.id. Sultan Ternate diselamatkan Jendral MacArthur

[10] Henk Schulte, dkk [editor]. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Yayasan Obor Indonesia.

[11] percakapan bersama saksi sejarah 1945, Alija Tata, awal Juli 2024 di rumah beliau samping Masjid Nurul Aminin, Tomajiko Pulau Hiri. Beliau adalah anak menantu Abdul Basir, tokokh kunci pasukan Hulpthroepen asal Hiri, yang tertembak dalam pertempuran di Pulau Hiri melawan Jepang tanggal 10 April 1945.

[12] Lofra merupakan lubang persembunyian warga pada masa pendudukan Jepang. Saat ini terdapat satu bekas Lofra di pulau Hiri, tepat dibelakang Masjid Togolobe. Menurut informasi lapangan, Lofra tersebut digali pada saat momen penyelamatan Sultan Iskandar Muhammad Djabir ke Pulau Hiri oleh tentara Sekutu dan pasukan Hulpthroepen.

[13] Rustam Hasyim. Kesultanan Ternate pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Jurnal ilmu budaya. Volume 11, No. 2 Tahun 2023.

[14 istri Abdul Basir bernama Bansa Usman. Sedangkan anak-anak mereka adalah Abatu A. Basir, Onci A. Basir dan Djafar A. Basir

[15] baca encyclopedia.ushmm.org. World War II in the Pacific. Akses 9 Agustus 2024.

[16] naskah klasik ini saya peroleh dari seorang ahli waris naskah bernama Hi. Harun N. Tomahir, di kelurahan Sangaji Utara, Kota Ternate.

[17] pada tahun 1990-an akhir, saya masih dapat melihat langsung kemahiran seorang Khalifa di Pulau Hiri menulis aksara Pegon. Khalifa itu bernama Radjab Abdullah. Kami bisa menyapa beliau dengan nama Tete Jabu. Beliau salah satu alumni pangaji yang dihormati karena kemahiran tersebut. Saat ini, kita sudah sulit menemukan orang yang mahir menulis aksara Pegon seiring memudarnya lembaga pendidikan Islam tradisional Islam Pangaji di wilayah bersejarah ini.

[19] baca; ” Monumen Kebudayaan yang Terancam Punah”. Laporan Riset Yayasan Pustaka Pangaji Kie Raha, 2022. Terancam Punah”. Laporan Riset Yayasan Pustaka Pangaji Kie Raha, 2022.

—–

*Penulis merupakan pemuda Pulau Hiri, Kota Ternate